Description
Buku ini menjelaskan prinsip-prinsip dasar aqidah ahlussunnah wal jamaah yang harus diyakini dan diketahui oleh setiap muslim agar mereka selamat dalam kehidupan dunia dan akhirat serta mengantarkan mereka kedalam surga Allah swt…
Terjemahan lainnya 2
KEISTIMEWAAN AQIDAH ISLAM [1]
(AQIDAH AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH)
Oleh :
Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd
Aqidah Islam yang tercermin di dalam aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah
memiliki sejumlah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh aqidah manapun.
Hal itu tidak mengherankan, karena aqidah tersebut diambil dari wahyu
yang tidak tersentuh kebati lan dari arah manapun datangnya.
Hal itu karena aqidah Islam berpegang pada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ Salafush shalih. Jadi, aqidah Islam diambil dari sumber yang jernih dan jauh dari kekeruhan hawa nafsu dan syahwat.
Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh berbagai madzhab, millah dan ideology lainnya di luar aqidah Islam (aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah).
Orang-orang Yahudi dan Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.
Kaum sufi mengambil ajarannya dari kasyaf (terbukanya tabir antara
makhluk dengan Tuhan), ilham, hadas (tebakan), dan mimpi.
Kaum Rafidlah mengambil ajarannya dari asumsi mereka di dalam al-jafr (tulisan tangan Ali bin Abi Thalib _) dan perkataan imam-imam mereka.[2]
Para Ahli kalam mengambil ajarannya dari akal (rasio).
Sementara itu para penganut madzhab-madzhab pemikiran dan aliran-aliran sesat lainnya, seperti Komunisme dan Sekularisme, mendasarkan pokok-pokok mereka pada sampah pikiran orang-orang sesat dan pola pikir orangorang kafir dan atheis yang menjadikan hawa nafsu dan syahwat mereka sebagai sumber hukum bagi hamba-hamba Allah.[3]
Sedangkan aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah –alhamdulillah- selamat dan bersih dari kebohongan dan kepalsuan semacam itu.
Hal itu karena aqidah bersifat ghaib, dan yang ghaib tersebut bertumpu pada penyerahan diri. Islam tidak akan berdiri tegak melainkan di atas pondasi penyerahan diri dan kepasrahan.
Jadi, iman kepada yang ghaib merupakan salah satu sifat terpenting bagi orang-orang mukmin yang dipuji oleh Allah Ta’ala.
Firman-Nya,
“Alif laam miin. Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi
mereka yang bertaqwa. Yaitu, mereka yang beriman kepada yang ghaib,yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al-Baqarah: 1-3)
Sebab, akal tidak mampu memahami yang ghaib dan tidak mampu secara mandiri mengetahui syariat secara rinci, karena kelemahan dan keterbatasannya. Sebagaimana pendengaran manusia yang terbatas penglihatannya yang terbatas, dan kekuatan yang terbatas, maka akalnya pun terbatas. Sehingga tidak ada pilihan lain selain beriman kepada yang ghaib dan berserah diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan aqidah-aqidah lainnya tidak berserah diri kepada Allah dan Rasul-Nya, melainkan tunduk kepada rasio, akal, dan hawa nafsu. Padahal, sumber kerusakan umat dan agama tidak lain adalah karena mendahulukan aqli daripada naqli, mendahulukan rasio daripada wahyu, dan mendahulukan hawa nafsu daripada petunjuk.[4]
Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah sesuai dengan fitrah yang sehat dan selaras dengan akal yang murni. Akal murni yang bebas dari pengaruh syahwat dan syubuhat tidak akan bertentangan dengan nash yang shahih dan bebas dari cacat.
Sedangkan aqidah-aqidah lainnya adalah halusinasi dan asumsi-asumsi yang membutakan fitrah dan membodohkan akal.
Oleh karena itu, jikalau diandaikan bahwa seseorang bisa melepaskan diri
dari segala macam aqidah dan hatinya menjadi kosong dari kebenaran dan
kebatilan, kemudian ia mengamati semua jenis aqidah –yang benar maupun
yang salah- dengan adil, fair, dan pemahaman yang benar, niscaya ia akan
melihat kebenaran dengan jelas dan mengetahui bahwasanya orang yang
menganggap sama antara aqidah yang benar dan yang tidak benar adalah
seperti orang yang menganggap sama antara malam dan siang. [5]
4. Sanadnya Bersambung kepada Rasulullah _, Para Tabi’in, dan Imam-Imam Agama, baik dalam Bentuk Ucapan, Perbuatan, maupun Keyakinan (I’tiqad)
Keistimewaan ini merupakan salah satu karakteristik Ahli Sunnah yang diakui oleh banyak seterunya, seperti Syi’ah dan lain-lain. Sehingga –alhamdulillahtidak ada satu pun di antara pokok-pokok Ahli Sunnah wal Jama’ah yang tidak memiliki dasar atau landasan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau riwayat dari generasi Salafush shalih.
Berbeda dengan aqidah-aqidah lainnya yang bersifat bid’ah dan tidak
memiliki landasan dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun riwayat dari generasi Salafush shalih.
Aqidah Islam adalah aqidah yang mudah dan jelas, sejelas matahari di
tengah hari. Tidak ada kekaburan, kerumitan, kerancuan, maupun
kebengkokan di dalamnya. Karena, lafazh-lafazhnya begitu jelas dan maknamaknanya demikian terang, sehingga bisa dipahami oleh orang berilmu maupun orang awam, anak kecil maupun orang tua. Karena Rasulullah _
membawakannya dalam kondisi yang putih bersih, malam harinya seperti
siang harinya. Tidak ada yang menyimpang darinya selain orang yang binasa.
Salah satu contoh kejelasannya adalah sebuah kitab yang sangat populer di
dalam Hadis tentang Jibril.[6] Hadis ini memaparkan pokok-pokok ajaran Islam dengan sangat mudah, ringan, jelas dan terang.
Dalil-dalil lain seperti itu sangat banyak jumlahnya. Begitu pasti, nyata, dan
jelas. Maknanya merasuk ke dalam pemahaman dengan penglihatan awal
dan pandangan pertama. Semua orang bisa memahaminya. Karena dalil-dalilAl-Qur’an dan As-Sunnah bagaikan makanan yang dimanfaatkan oleh setiap manusia, bahkan seperti air yang bermanfaat bagi anak-anak, bayi, orang yang kuat maupun orang yang lemah.
Dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah demikian nikmat dan jelas, sehingga bisa memuaskan dan menenangkan jiwa, serta menanamkan keyakinan yang benar dan tegas di dalam hati.
Tidakkah anda memikirkan bahwa yang mampu memulai pasti lebih mampu untuk mengembalikan lagi.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan Dia-lah yang memulai penciptaan kemudian mengembalikannya
kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya.” (QS. Ar-Ruum: 27)
Manajemen di sebuah tempat saja tidak mungkin bisa berjalan dengan tertib bilamana ditangani oleh banyak manajer. Bagaimana pula dengan alam semesta?
Allah Ta’ala berfirman,
“Sekiranya di langit dan di bumi itu ada tuhan-tuhan selain Allah, tentulah
keduanya itu telah rusak binasa.” (QS. Al-Anbiya’: 22)
Yang hendak menciptakan pastilah mengetahui dahulu kemudian
menciptakan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui; sedangkan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. Al-Mulk: 14)
Dalil-dalil semacam itu bagaikan air yang digunakan oleh Allah untuk
menciptakan segala sesuatu yang hidup.[7]
Di dalam aqidah Islam sama sekali tidak ada tempat untuk hal-hal semacam itu. Bagaimana tidak? Aqidah Islam adalah wahyu yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan dari arah manapun datangnya.
Sebab, kebenaran itu tidak mungkin rancu, paradoks, maupun kabur,
melainkan serupa satu sama lain dan saling menguatkan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Andaikata Al-Qur'an itu berasal dari selain Allah, niscaya mereka
mendapat banyak pertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisaa’: 82)
Sedangkan kebatilan justru sebaliknya. Anda menemukan bahwa bagian yang satu membatalkan bagian yang lain, dan para pendukungnya benar-benar paradoks.
Bahkan anda bisa menemukan salah seorang dari mereka mengalami paradoks dengan dirinya sendiri, dan ucapan-ucapannya tampak serampangan.[8]
Jadi, aqidah Ahli Sunnah bebas dari semua itu. Sedangkan aqidah-aqidah
lainnya, jangan ditanya kerancuan, paradoks, dan kekaburan yang ada di
dalamnya. Kaum Rafidlah, misalnya, mereka mengatakan bahwa para imam
mereka mengetahui apa-apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Tidakada sesuatu pun yang tersembunyi dari mereka. Mereka tahu kapan mereka akan mati, dan mereka tidak akan mati kecuali dengan persetujuan
mereka.[9]
Salah satu pokok agama mereka (kaum Syi’ah Rafidlah) adalah berlebihlebihan
terhadap para imam. Mereka menyebut para imam itu memiliki
sifat-sifat yang bahkan tidak dimiliki oleh para Nabi. Tapi kita melihat pokok agama mereka yang lain ternyata bertolak belakang dengan klaim tersebut.
Karena, salah satu prinsip agama mereka adalah “taqiyah” (menghindar).
Jika mereka ditanya, “Mengapa imam-imam anda bersembunyi? Mengapa
mereka tidak menyuarakan kebenaran?” Maka mereka akan menjawab,
“Taqiyah” (menghindar).” Jika mereka ditanya, “Taqiyah (menghindar) dari
siapa?” Mereka menjawab, “Dari musuh-musuh.” Musuh yang mana?
Bukankah anda mengklaim bahwa para imam itu tahu kapan mereka akan
mati, dan mereka tidak akan mati kecuali dengan persetujuan mereka?!
Hal yang sama juga tentang kaum sufi. Betapa banyak paradoks
(pertentangan) di dalam keyakinan mereka. Salah satu contohnya adalah
bahwa sebagian dari mereka berkeyakinan bahwa Nabi _ adalah makhluk
pertama. Bahkan, menurut mereka, seluruh alam semesta ini diciptakan dari cahayanya (nuur Muhammad _). [10]
Kendati pun demikian, mereka terlihat selalu mengadakan perayaan maulid
(hari kelahiran) Nabi _. Jika mereka ditanya, “Perayaan apa yang anda
adakan?” Mereka menjawab, “Perayaan maulid Nabi _ yang dilahirkan pada
tahun gajah.” Lihatlah paradoks ini. Anda tidak perlu heran terlalu jauh,
karena paradoks adalah perilaku dari setiap kebatilan dan pembuatnya.
Pun, tentang madzhab-madzhab pemikiran sesat lainnya. Komunisme –
misalnya- yang dibangun berdasarkan atheisme dan pengingkaran terhadap
semua agama. Mereka menyatakan bahwa tuhan tidak ada dan seluruh
kehidupan adalah materi. Ternyata ketika penindasan Hitler terhadap Rusia
semakin kuat pasca Perang Dunia Kedua, maka Stalin si durjana
memerintahkan untuk membuka tempat-tempat ibadah dan menundukkan
diri kepada Allah Ta’ala.
Di dalam aqidah Islam terdapat hal-hal yang memusingkan akal dan sulit dipahami, seperti perkara-perkara ghaib: siksa kubur, nikmat kubur, shirath (jembatan), haudl (telaga), Surga, Neraka, dan bagaimana bentuk sifat-sifat Allah Ta’ala.
Akal mengalami kebingunan dalam memahami hakikat dan bentuk perkaraperkara tersebut. Akan tetapi, akal tidak meni lainya mustahil (impossible), melainkan pasrah, tunduk, dan patuh. Karena, perkara-perkara tersebut berasal dari wahyu yang diturunkan, yang tidak berbicara dari hawa nafsu dan tidak dimasuki kebatilan dari arah manapun datangnya.[11]
Sedangkan aqidah-aqidah lainnya berisi kemustahilan-kemustahilan yang
secara aksioma dinyatakan mustahil oleh akal. Misalnya, aqidah-aqidah
Yahudi yang sudah diubah. Orang-orang Yahudi beranggapan bahwa mereka adalah bangsa pilihan Allah. Menurut mereka, Allah telah memilih mereka sebagai pilihan dan menjadikan bangsa-bangsa lainnya sebagai keledaikeledai yang bisa ditunggangi oleh bangsa Yahudi.
Lihatlah omong kosong di atas yang dinilai mustahil oleh akal. Sebab,
bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Bijaksana menjadi rasialis, berpihak
kepada salah satu etnis, dan menelantarkan etnis-etnis lainnya?!
Adapun umat Nashrani, mereka mengatakan bahwa Allah adalah oknum
ketiga dari tiga oknum (trinitas). Menurut mereka, dengan nama bapa, anak
dan ruhul qudus adalah tuhan yang satu. Bagaimana mungkin tiga oknum
menjadi satu? Ini adalah kemustahilan yang tidak bisa digambarkan.
Termasuk keyakinan mereka tentang “Perjamuan Tuhan”, sertifikat
pengampunan dosa, dan lain-lain yang dini lai mustahil oleh akal.[12]
Oleh sebab itu, sebagian cerdik pandai mengatakan bahwa semua ucapan manusia bisa dimengerti kecuali ucapan umat Nashrani. Hal itu karena orang yang membuatnya tidak bisa memahami apa yang mereka katakan.
Mereka berbicara berdasarkan kebodohan. Mereka menggabungkan dua hal yang paradoks di dalam pembicaraan mereka. Karena itu, ada sebagian orang yang mengatakan, “Seandainya ada 10 orang Nashrani berkumpul, niscaya mereka akan terbagi menjadi 11 pendapat.” Dan ada pula yang mengatakan, “Seandainya anda bertanya kepada seorang pria Nashrani, istrinya dan anaknya tentang tauhid mereka, niscaya si pria akan mengatakan sesuatu, si wanita mengatakan sesuatu yang lain dan si anak mengatakan pendapat yang lain lagi.[13]
Jikalau kita mengamati dengan seksama aqidah-aqidah yang diyakini oleh
aliran-aliran sesat, maka kita akan menemukan bahwa di dalamnya banyak
terdapat kemustahilan. Kaum Rafidlah, misalnya, berpendapat bahwa Al-
Qur’anul Karim yang ada di tangan umat Islam dan telah dijamin untuk
dilindungi oleh Allah adalah Al-Qur’an yang tidak lengkap dan telah diubah.
Menurut mereka, Al-Qur’an yang lengkap bersama dengan imam yang sedang ditunggu akan muncul di akhir zaman dari sebuah terowongan di Samura.
Pertama-tama, lihatlah khurafat terowongan itu; kemudian, simaklah
statemen mereka, bahwa Al-Qur’an yang lengkap bersama dengan imam
yang sedang ditunggu akan muncul di akhir zaman.[14]
Lalu, apa gunanya Al-Qur’an yang tidak akan muncul kepada manusia kecuali di akhir zaman nanti? Kemudian, sesuaikah dengan kebijaksaan, kasih sayang dan keadi lan Allah bilamana manusia hidup tanpa petunjuk dan wahyu hingga ketika akhir zaman tiba maka Allah akan menurunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi mereka?!
Sedangkan kaum Nushairiyah memiliki reputasi tertinggi dalam kebohongan ini.
Semua firqah mereka menyembah Ali bin Abi Thalib _.
Kendati pun demikian mereka sangat menghormati pembunuhnya,
Abdurrahman bin Muljam. Karena mereka beranggapan bahwa si pembunuh itu telah membebaskan lahut dari nasut.[15]
Mereka juga berangapan bahwa tempat tinggal Ali bin Abi Thalib _ adalah
awan. Jika ada awan yang melintasi mereka, maka mereka akan berkata,
“Assalamu’alaika, ya Abal Hasan (Salam sejahtera untukmu, wahai Abul
Hasan).” Mereka juga mengatakan bahwa petir adalah suaranya dan ki lat
adalah cemetinya.
Sebagian dari mereka beranggapan bahwa Ali tinggal di bulan. Golongan ini
disebut Firqah Qomariyah. Mereka berpendapat bahwa Ali tinggal di bulan,
pada bagian kehitaman di bulan tersebut. Oleh karena itu, mereka
mengkultuskan bulan dan menyembah Ali yang berada di sana.
Subhanallah! Lalu, apa gerangan bagian kehitaman yang ada di bulan itu
sebelum Ali diciptakan?!
Sebagian lainnya beranggapan bahwa Ali berada di matahari. Oleh karena
itu, mereka menghadap ke arah matahari sewaktu beribadah. Golongan
mereka disebut dengan Firqah Syamsiyah.[16]
Jika kita mengamati aqidah kaum Baha’iyah, maka kita akan melihatnya
penuh dengan keanehan, dan setiap orang yang berakal tidak punya pilihan
lain selain memvonisnya sebagai aqidah yang sesat dan mustahil.
Ambillah contoh tentang kiblat kaum Baha’iyah. Ketika mengerjakan shalat,
mereka menghadap ke arah pemimpin mereka, Al-Baha’ Al-Mazandarani. Hal itu ditegaskan sendiri oleh sang pemimpin. Kiblat itu berubah-ubah seiring dengan perpindahan dan pergerakan sang pemimpin. Ketika ia berada di Teheran, maka penjara Teheran adalah kiblat mereka. Dan ketika ia berada di Baghdad, maka kiblat mereka adalah Baghdad. Pun ketika ia di Akka, maka kiblat mereka di Akka. Begitulah seterusnya…
Adakah seseorang yang pernah melihat permainan seperti ini? Kemudian,
bagaimana cara kaum Baha’iyah mengetahui kiblat mereka sewaktu Al-Baha’–sang pemimpin- berada di perjalanan pada waktu alat komunikasi nirkabel dan televisi belum ada? [17]
Jadi, alhamdulillah, aqidah Ahli Sunnah bebas dari itu semua.
Aqidah Islam bersifat umum, universal, dan berlaku untuk segala zaman, tempat, umat, dan keadaan. Ia berlaku bagi generasi awal maupun
belakangan, bangsa Arab maupun non Arab. Bahkan, segala urusan tidak bisa berjalan tanpa aqidah Islam.
Aqidah Islam adalah aqidah yang kokoh, stabil, dan kekal. Aqidah Islam
sangat kokoh ketika menghadapi bertubi-tubi pukulan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, dan lain-lain. Setiap kali mereka menganggap bahwa tulangnya sudah rapuh, baranya sudah redup, dan apinya sudah padam, ternyata ia kembali muda, terang, dan jernih. Aqidah Islam akan tetap kokoh sampai hari Kiamat dan senantiasa dilindungi oleh Allah. Ia ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya dan dari satu angkatan ke angkatan berikutnya tanpa mengalami perubahan, penggantian, penambahan, maupun pengurangan. [18]
Bagaimana tidak, sedangkan Allah lah yang langsung menangani pemeliharaan dan eksistensinya, dan tidak menyerahkan hal itu kepada
salah satu makhluk-Nya?
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya Kami lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguh-nya
Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Dia juga berfirman,
“Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, namun
Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu
membencinya.” (QS. Ash-Shaff: 8)
Salah satu contoh yang menunjukkan kekokohan dan keberlanjutan aqidah
Islam adalah bahwa pendapat-pendapat Ahli Sunnah tentang sifat-sifat
Allah, takdir, syafaat, dan lain-lain, semuanya masih terpelihara, sebagaimana diriwayatkan dari generasi Salaf.
Ini sangat berbeda dengan millah-millah yang lain, golongan-golongan yang
sesat, dan paham-paham yang destruktif. Kaum Yahudi dan Nashrani telah
melakukan penggantian, pengubahan, dan manipulasi terhadap kitab suci
mereka. Sedangkan firqah-firqah lainnya jarang sekali mampu bertahan
dengan memegang teguh sebuah pokok.
Aqidah-aqidah tersbut tidak mempunyai sifat kekal dan berkelanjutan.
Betapapun besar dan bagusnya aqidah-aqidah tersebut ternyata tidak
mampu bertahan dalam waktu yang lama setelah melewati banyak
perubahan dan berbagai macam perkembangan. Tidak lama setelah
batangnya mengeras dan durinya menguat, tiba-tiba ia mulai hilang dan
lenyap. Karena, aqidah-aqidah atau paham-paham tersebut adalah produk
manusia yang memiliki keterbatasan dalam hal pengetahuan dan kebijaksanaan. Tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu dengan lebih jelas ketimbang fakta komunisme yang pernah menggemparkan dan menghebohkan dunia.
Tidak lama setelah komunisme mencapai puncak kejayaannya, tiba-tiba
ikatannya terlepas dan susunannya berguguran di tangan para penganutnyasendiri.
Barangsiapa menganut aqidah Islam lalu pengetahuannya tentang aqidah itu meningkat, pengamalannya terhadap konsekuensi aqidah pun meningkat, dan aktifitasnya untuk mengajak manusia ke dalamnya juga meningkat, maka Allah akan mengangkat derajatnya, menaikkan pamornya, dan menyebarluaskan kemuliaannya di tengah khalayak, baik dalam skala
individu maupun kelompok.
Hal itu karena aqidah yang benar merupakan hal terbaik yang didapatkan
oleh hati dan dipahami oleh akal. Aqidah yang benar akan membuahkan
pengetahuan yang bermanfaat dan akhlak yang luhur. Orang yang
memilikinya akan mencapai puncak keutamaannya, sempurna kemuliaannya, dan tinggi derajatnya di tengah-tengah manusia.
Keutamaan sejati yang tidak tertandingi oleh keutamaan manapun dan
kemuliaan tertinggi yang tidak bisa dicapai oleh kemuliaan manapun,
sesungguhnya wujudnya adalah upaya mencapai kesempurnaan dan
komitmen untuk menghiasi diri dengan keutamaan dan membersihkan diri
dari kenistaan.
Kemuliaan seperti itulah yang bisa mengangkat hati, menyucikan jiwa,
menjernihkan pandangan mata, dan mengantarkan pemiliknya kepada
tujuan tertinggi dan tempat terhormat. Dan kemuliaan itulah yang bisa
mengangkat umat ke puncak kejayaan dan kemuliaan. Sehingga, kehidupan
yang baik bisa diraih di dunia dan kebahagiaan yang kekal bisa dirasakan di Akhirat. Dasar dan pondasi kemuliaan itu adalah aqidah yang benar yang
dibangun di atas pondasi iman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab
suci-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk, berikut
pekerjaan-pekerjaan hati yang berporos pada kembali kepada Allah dan
tertariknya seluruh dorongan hati kepada-Nya, disertai pelaksanaan
terhadap syariat-syariat yang lahir, serta pemenuhan hak-hak seluruh
makhluk. [19]
Allah Ta’ala berfirman,
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orangorang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Semua itu tidak mungkin terjadi kecuali pada orang-orang yang memiliki aqidah yang benar. Merekalah orang-orang yang menang, selamat, dan mendapatkan pertolongan. Sabda Rasulullah SAW,
“Senantiasa ada sekelompok orang dari umatku yang membela kebenaran.
Mereka tidak terpengaruh oleh orang yang melecehkan mereka. Sampai
datang keputusan Allah, sementara mereka seperti itu.” (HR. Muslim, kitab
Al-Imaroh, 3/1524).
Barangsiapa menganut aqidah yang benar, maka Allah akan memuliakannya, Dan barangsiapa meninggalkannya, maka Allah akan menistakannya. Hal itu karena penyimpangan aqidah akan berdampak paling signifikan dalam merusak eksistensi umat, memecah-belah kesatuannya, dan membuat musuh-musuh menguasai mereka.
Kemudian umat yang melenceng dari aqidahnya yang benar dan menyimpang dari minhaj agamanya yang lurus, mereka tidak lama lagi akan segera jatuh dari ketinggiannya, meluncur dari puncak kejayaannya, dan mendekati titik nadir kehancuran dan kebinasaannya.
Akibatnya, ia ditimpa kekerdilan sesudah kebesaran, kemalasan sesudah kerja keras, kehinaan sesudahkejayaan, kejatuhan sesudah ketinggian, kebodohan sesudah pengetahuan,perpecahan sesudah persatuan, dan pengangguran sesudah keaktifan.
Hal itu bisa diketahui oleh setiap orang yang membaca sejarah. Manakala
umat Islam menyimpang dari ajaran agamanya, maka terjadilah apa yang
terjadi, sebagaimana yang terjadi di Andalusia dan lain-lain. [20]
Apa yang membuat Andalusia melayang? Dan apa yang mendorong umat
Nashrani menguasainya dan menistakan warganya? Apa pula yang membuatbangsa Tartar yang demikian perkasa mampu melakukan serangan sporadisterhadap wilayah teritorial Islam, sehingga mengakibatkan jatuhnya korbanjiwa yang hampir mendekati angka dua juta jiwa dan menyebabkanruntuhnya singgasana khilafah Islamiyah? Dan apa pula yang menuntun umatIslam mundur ke belakang dari pentas peradaban akhir-akhir ini, sehinggamenjadi beban bagi orang lain dan menjadi mangsa yang sangat mudah bagimusuh-musuhnya yang telah berhasil menguasai mereka, menghalalkandaerah terlarangnya dan menjarah kekayaannya?
Peristiwa-peristiwa itu disebabkan sejumlah faktor, namun yang terutama
dan terpenting adalah “penyimpangan aqidah”.
Karena As-Sunnah adalah bahtera keselamatan. Maka barangsiapa berpegang teguh padanya, niscaya akan selamat dan sentosa. Dan barangsiapa meninggalkannya, niscaya akan tenggelam dan celaka. [21]
Umat Islam di berbagai belahan dunia tidak akan bersatu dan memiliki
kalimat yang sama kecuali dengan berpegang teguh pada aqidah mereka dan mengikuti aqidah tersebut. Sebaliknya, mereka tidak akan berselisih dan berpecah belah melainkan karena kejauhan mereka dari aqidah itu dan
penyimpangan mereka dari jalannya.
Ini adalah fakta yang diketahui dengan benar oleh musuh-musuh Islam pada masa lalu dan pada masa kini. Karena itu, mereka telah –dan terus-menerusmelakukan serangan dahsyat yang bertujuan melemahkan aqidah yang tertanam di dalam jiwa umat Islam. Sehingga mereka akan dilanda
perpecahan (friksi) di antara sesamanya dan barisan mareka dipenuhi
dengan perselisihan. Walhasil, mereka akan mudah dikalahkan. Jihad
maupun dakwah mereka pun akan mudah dipatahkan.
Aqidah Islam adalah aqidah yang istimewa, dan pemeluknya pun adalah orang-orang yang istimewa. Karena, jalan mereka adalah lurus dan tujuan mereka jelas.
Karena, manhajnya satu. Prinsipnya jelas, tetap, dan tidak berubah-ubah. Sehingga, pemeluknya pun selamat dari tindakan mengikuti hawa nafsu dan tindakan serampangan dalam membagi wala’ (loyalitas) dan bara’ (berlepas diri), cinta dan kebencian. Hal itu karena aqidah yang benar memberinya tolok ukur yang detil dan tidak pernah salah. Walhasil, pemeluknya pasti selamat dari cerai-berai, tersesat jalan, dan kehancuran. Mereka mengetahui siapa yang harus dijadikan sebagai teman dan siapa yang harus diposisikan sebagai musuh. Ia juga tahu apa yang menjadi hak dan kewajibannya.
Tidak ada kecemasan di dalam jiwa dan tidak ada kegalauan di dalam
pikiran. Sebab, aqidah ini bisa menyambungkan seorang mukmin dengan
Penciptanya. Sehingga ia merasa rela menjadikan-Nya sebagai Rabb Yang
Maha Mengatur dan sebagai Hakim Yang Maha Menetapkan hukum. Walhasil, hatinya merasa tenang dengan ketentuan-Nya, dadanya lapang menerima keputusan-Nya, dan pikirannya terang dengan mengenal-Nya.
Pemeluk aqidah Islam selamat dari penyimpangan di dalam beribadah
kepada Allah, sehingga ia tidak pernah menyembah dan berharap kepada
selain Allah. Berbeda dengan para penganut aqidah lainnya; sebagian dari
mereka melakukan penyimpangan dalam masalah ibadah. Anda bisa
menemukan mereka menyembah kuburan dan menyampaikan kurban atau
nadzar kepadanya, seperti yang dilakukan oleh kaum Rafidlah dan kalangan
sufi.
Di kalangan sebagian aliran sesat dan paham yang destruktif, anda bisa
menemukan orang yang menyerahkan kepemimpinannya kepada setan dan
mengikuti apa yang dibisikkan setan kepada para pemimpin kekufuran dan
para dedengkot kesesatan.
Aqidah ini memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap hal-hal
tersebut. Karena, manusia dikendalikan dan diarahkan oleh aqidah (ideologi) mereka.
Sesungguhnya penyimpangan di dalam perilaku, akhlak, dan mu’amalah
merupakan akibat dari penyimpangan di dalam aqidah. Karena perilaku –
pada ghalibnya- adalah buah dari aqidah yang diyakini oleh seseorang dan
efek dari agama yang dianutnya.
Aqidah Islam memerintahkan kepada para penganutnya agar mengerjakan
segala macam kebajikan dan melarangnya dari segala macam keburukan. Ia
memerintahkan berbuat adi l dan berjalan lurus, serta melarang berbuat
zhalim dan menyimpang.
Hal inilah yang –insya Allah- akan dipaparkan dengan jelas pada pembahasan tentang karakteristik Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Di manapun ada peluang untuk mendapatkan i lmu yang bermanfaat dan
mengerjakan amal shalih, mereka selalu bergegas mendatanginya dengan
harapan mendapatkan pahala. Sebaliknya, di manapun ada peluang dosa,
mereka akan segera menjauhinya karena takut akan siksa. Walhasil, kondisi masyarakat menjadi stabil karena salah satu pondasi aqidah adalah iman kepada hari Kebangkitan dan balasan atas segala amal perbuatan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat dengan apa yang
dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Al-An’am: 132)
Umat (yang memeluk aqidah Islam) akan mengorbankan apa saja untuk memperkokoh agamanya dan memperkuat pilar-pilarnya. Mereka tidak
mempedulikan apa pun yang menimpa mereka dalam rangka
memperjuangkan hal itu. Dan mereka tidak akan gentar menghadapi orangorang yang suka menteror maupun orang-orang yang suka melecehkan.
Hal itu karena orang mukmin mengetahui bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hak, benar, petunjuk dan rahmat, sehingga di dalam jiwanya terbangun rasa hormat kepada keduanya dan kesiapan untuk mengamalkannya.
Itulah hubungan yang sangat mulia, karena kebaikan yang sepenuhnya baik adalah mengikuti dan menelusuri jejak mereka. Maka tepat sekali apa yang dikatakan oleh seorang penyair,
Segala kebaikan ada di dalam mengikuti kaum Salaf
Dan segala keburukan ada di dalam pengada-adaan (bid’ah) kaum khalaf.
Di bawah naungan aqidah Islam akan tercipta keamanan dan kehidupan yang mulia. Hal itu karena ia berdiri di atas pondasi iman kepada Allah dan kewajiban untuk mengkhususkan ibadah kepada Allah semata, tanpa
beribadah kepada yang lain. Tidak ada keraguan bahwa hal itu merupakan
faktor penyebab terciptanya keamanan, kebaikan, dan kebahagiaan di dunia dan Akhirat. Sebab, keamanan adalah kawan seiring iman. Sehingga
manakala iman tidak ada, keamanan pun tidak ada.
Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka
dengan kezhaliman, mereka itulah yang mendapatkan keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. Al-
An’am: 82)
Jadi, orang-orang yang bertaqwa dan beriman memi liki keamanan dan
petunjuk yang sempurna di masa kini (dunia) dan di masa mendatang
(Akhirat). Sedangkan orang-orang yang suka berbuat syirik dan maksiat
adalah orang-orang yang selalu diliputi ketakutan. Mereka adalah orang yang paling pantas mendapatkannya. Karena, mereka lah orang-orang yang setiap saat diancam dengan hukuman dan siksaan.[22]
Aqidah Islam memerintahkan kepada setiap manusia agar hatinya selalu diliputi cahaya tawakkal kepada Allah.
Tawakkal, menurut istilah syara’ berarti menghadapkan hati kepada Allah
sewaktu bekerja seraya memohon bantuan kepada-Nya dan bersandar hanya kepada-Nya. Itulah esensi dan hakikat tawakkal.
Tawakkal terwujud dengan melaksanakan sebab-sebab (usaha) yang
diperintahkan. Barangsiapa mengabaikannya, maka tawakkalnya tidak sah.
Jadi, tawakkal tidak mengajak kepada pengangguran atau mengurangi
pekerjaan.
Bahkan, tawakkal memiliki pengaruh yang besar dalam memacu semangat
orang-orang besar untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar yang semula mereka kira kemampuan mereka dan sarana-sarana pendukung yang ada tidak mampu menggapainya. Karena tawakkal merupakan suatu sarana yang paling kuat dalam menggapai apa yang diinginkan dan menolak apa yang tidak diinginkan.
Bahkan, secara mutlak, tawakkal adalah sarana yang paling efektif untuk tujuan itu. Karena, bersandarnya hati kepada kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah akan mengikis habis kuman-kuman frustasi dan bibit-bibit kemalasan, lalu mengencangkan punggung harapan dengan bisa menjadi bekal bagi setiap orang untuk menerobos ombak samudera yang dalam dan menantang binatang buas yang ganas di dalam habitatnya.
Tawakkal yang paling agung adalah tawakkal kepada Allah dalam mencari
hidayah (petunjuk), memurnikan tauhid, mengikuti Rasulullah _, memerangi Ahli kebati lan, dan menggapai apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, seperti iman, yakin, ilmu, dan dakwah. Ini adalah tawakkal para Rasul dan, para pengikutnya yang utama.
Tekad yang kuat dan benar yang dibarengi dengan tawakkal kepada Allah
Penguasa segala sesuatu pastilah akan berakhir dengan kebenaran dan
keberuntungan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159)
Kaum manapun yang bisa menggabungkan antara mengambil sebab-sebab
(ikhtiar) dengan tawakkal yang kuat kepada Allah pasti memiliki bekal yang
cukup untuk hidup mulia dan bahagia. [23]
Aqidah yang benar akan mengantarkan penganutnya kepada kejayaan dan kemuliaan, serta keberanian secara lisan maupun perbuatan.
Jika seseorang merasa yakin bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Memberi Manfaat, Maha Mendatangkan bahaya, Maha Memberi dan Maha Menahan, bahwa orang yang merasa mulia dengan-Nya adalah orang yang mulia, sedangkan orang yang berlindung kepada selain Dia adalah orang yang hina, dan bahwa semua makhluk butuh kepada Allah, sedangkan mereka tidak bisa memberi manfaat ataupun mendatangkan bahaya, maka hal itu akan memberinya kekuatan dengan izin Allah.
Membuatnya senantiasa berlindung kepada-Nya, tidak
takut kepada selain-Nya, dan tidak berharap melainkan dari kemurahan-Nya.
Apabila seseorang menyadari bahwa apa yang ditakdirkan mengenainya
tidaklah akan meleset darinya, dan apa yang meleset ditakdirkan darinya
tidaklah akan mengenainya, maka jiwanya akan tenang. Hatinya akan
tenteram dan berserah diri kepada Allah dalam segala hal.
Jika seseorang berserah diri kepada Allah, maka ia akan mendapatkan
keamanan, dan rasa takut kepada makhluk akan hilang dari hatinya. Karena ia telah meletakkan jiwanya di dalam brankas yang kuat dan
menyembunyikannya di dalam sudut yang kokoh, sehingga tidak bisa
dijamah oleh tangan-tangan musuh yang jahil dan usil.
Dengan demikian, ia terbebas dari perbudakan sesama makhluk. Ia tidak
menggantungkan hatinya kepada makhluk manapun dalam upaya
mendatangkan keuntungan dan menolak bahaya, melainkan hanya Allah
sajalah yang menjadi pelindung dan penolong baginya. Ia meminta pertolongan dan bantuan kepada-Nya, sehingga ia mendapatkan kecukupan
dari Tuhan dan kemudahan dalam segala urusan yang tidak didapatkan oleh orang yang tidak memiliki aqidah ini. Ia juga mendapatkan kekuatan hati yang tidak bisa digapai oleh orang yang tidak mencapai derajatnya. [24]
Aqidah Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang benar. Melainkan mendukung, menganjurkan, dan menyerukannya kepada manusia. Karena ilmu pengetahuan yang bermanfaat yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an
dan As-Sunnah -adalah semua ilmu pengetahuan yang mengantarkan kepada tujuan-tujuan luhur dan membuahkan buah-buah yang bermanfaat, baik dalam konteks dunia maupun Akhirat. Jadi segala sesuatu yang bisa menyucikan perbuatan, meningkatkan akhlak (moralitas), dan menunjukkan kepada jalan yang benar- adalah ilmu yang bermanfaat.
Syariat Islam yang sempurna dan universal telah memerintahkan untuk
mempelajari semua ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Seperti: Ilmu
Tauhid dan Ushuluddin, Ilmu Fiqih dan Hukum, Ilmu-Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Ekonomi, Ilmu Politik, Ilmu Perang, Ilmu Perindustrian, Ilmu Kedokteran[25], dan ilmu-ilmu lainnya yang berguna bagi individu maupun masyarakat.
Jadi, ilmu apa saja yang bermanfaat –baik dalam bidang agama maupun
dunia- diperintahkan, dianjurkan, dan didorong oleh syariat (Islam) untuk
dipelajari. Sehingga di dalamnya tergabung ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
alam, ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia. Bahkan syariat (Islam)
menjadikan ilmu dunia yang bermanfaat sebagai bagian dari ilmu agama.
Oleh karena itu, tidak mungkin terjadi kontradiksi antara fakta-fakta ilmiah
yang benar dengan teks-teks syar’i (Al-Qur’an dan As-Sunnah) yang benar
dan terang.
Apabila realitas menunjukkan sesuatu yang secara lahiriah terjadi
kontradiksi, maka boleh jadi realitas itu hanyalah klaim yang tidak memiliki
fakta, atau nash yang dimaksud tidak secara eksplisit menunjukkan
kontradiksi. Karena, nash yang eksplisit (sharih) dan fakta ilmiah adalah dua hal yang sama-sama qath’iy (pasti), sehingga tidak mungkin terjadi
kontradiksi antara dua hal yang sama-sama qath’iy.
Begitulah adanya. Dalam hal ini sebagian orang dari kalangan Ahli ghuluw
(orang-orang ekstrem) dan Ahli materi (kaum materialis) telah keliru. Orang-orang ekstrem membatasi diri dengan sebagian ilmu agama hingga sedemikian rupa.
Sedangkan kaum materialis membatasi diri dengan sebagian ilmu alam dan
menolak ilmu-ilmu lainnya. Akibatnya, mereka menjadi atheis dan kafir.
Akal mereka kacau-balau. Akhlak mereka rusak. Hasil ilmu pengetahuan
mereka menjadi produk yang kering, tidak bisa memberikan nutrisi kepada
akhlak, dan tidak bisa menyucikan akal maupun ruh. Walhasil, bahayanya
lebih besar daripada manfaatnya, dan keburukannya lebih banyak ketimbang kebaikannya. Karena ia tidak dibangun di atas pondasi agama yang benar dan tidak memi liki keterkaitan dengannya. [26]
Tidak ada aspek yang lebih diunggulkan atas aspek lainnya, dan tidak ada
kepentingan merampas kepentingan lainnya. Segala sesuatunya berjalan
dengan sangat cermat, harmonis, dan seimbang. Kendati Islam memberikan
perhatian yang besar kepada aspek penyucian jiwa dan peningkatannya ke
derajat keberuntungan, namun ia tidak mengabaikan hak-hak indera
(tubuh). Islam memberikan perhiasan dan kenikmatan kepada tubuh secara
adil. Salah satu buktinya adalah Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang beriman untuk mengerjakan apa-apa yang diperintahkan kepada para Rasul.
Allah memerintahkan kepada mereka untuk menyembah-Nya, mengerjakan
amal shalih yang diridhai-Nya, mengkonsumsi makanan yang baik, dan
mengeksplorasi apa-apa yang disediakan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya di dalam kehidupan ini. Kemudian Allah mendorong orang-orang yang
melaksanakan agama yang benar dan aqidah yang sahih menuju keluhuran,ketinggian, dan kemajuan yang benar.
Barangsiapa mengetahui sebagian dari karakter agama yang agung ini, maka ia akan mengetahui betapa besar karunia Allah kepada seluruh makhluk. Dan barangsiapa membuang hal itu ke balik punggungnya, maka ia akanterjerumus ke dalam kebatilan, kesesatan, kekecewaan, kerugian, dan belenggu. Karena, aqidah-aqidah lain yang bertentangan dengan aqidah
Islam –mulai dari kalangan Ahli khurafat dan kaum paganis hingga kepada
kalangan atheis dan materialis- semuanya menjadikan para penganutnya
seperti layaknya binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Manakala
agama yang benar meninggalkan hati, maka akhlak yang indah akan turut
meninggalkannya, dan tempatnya akan diisi oleh akhlak yang nista.
Akibatnya, mereka terjerembab ke dalam jurang yang paling rendah, dan konsentrasi terbesar mereka adalah menikmati kebahagiaan hidup yang sesaat. [27]
Aqidah Islam menghormati akal yang sehat, menghargai perannya,
mengangkat kedudukannya, tidak mengekangnya, dan tidak mengingkari
aktifitasnya.
Islam tidak merestui bilamana seorang muslim memadamkan cahaya akalnya dan memilih taqlid buta dalam masalah aqidah (dan lainnya) [28]
Islam justru meminta agar setiap muslim mengamati kerajaan langit dan
bumi, merenungkan dirinya sendiri dan tanda-tanda kekuasaan Allah yang
ada di sekitarnya. Tujuannya, supaya ia mengetahui rahasia-rahasia alam
semesta dan fakta-fakta kehidupan. Melalui media itu pula ia bisa sampai
pada banyak masalah aqidah yang berada di dalam batas-batas
kemampuannya.
Bahkan Islam menyampaikan kabar buruk kepada orang-orang yang telah
menggunakan akal mereka dan memilih mengikuti apa yang dilakukan oleh
leluhur mereka tanpa pemikiran, perenungan, dan pengetahuan.
Kendati Islam memiliki pandangan seperti ini terhadap akal, akan tetapi
Islam juga membatasi bidang garap akal. Hal itu dilakukan dalam rangka
menjaga potensi akal agar tidak tercerai-berai atau berantakan di balik
perkara-perkara ghaib yang tidak mungkin diketahui dan ditemukan
hakikatnya oleh akal. Seperti masalah dzat Tuhan, ruh, Surga, Neraka dan
sebagainya. Karena akal memiliki bidang garap sendiri yang
memungkinkannya bekerja di sana. Jika ia mencoba melangkah keluar dari
bidang ini, maka ia akan tersesat dan bergentayangan di dalam kebingungan yang tidak bisa dikendalikannya.
Ruang lingkup akal adalah segala sesuatu yang tampak dan konkrit. Sedangkan perkara-perkara ghaib yang abstrak bukanlah bidang yang bisa dimasuki oleh akal. Akal juga tidak boleh keluar dari apa yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’i. [29]
Perasaan adalah sesuatu yang bersifat naluri (insting), dan setiap manusia
normal pasti memilikinya. Sedangkan aqidah Islam bukanlah aqidah yang
dingin dan beku, melainkan aqidah yang hidup. Ia mengakui perasaan
manusiawi dan menghargainya dengan sebaik-baiknya. Tetapi, pada saat
yang sama, ia tidak melepaskan kendali penuh kepadanya, melainkan
meluruskannya, mengangkat derajatnya, dan mengarahkannya ke arah yang benar. Sehingga menjadikannya sebagai sarana kebaikan dan pembangunan,
bukan menjadi gancu penghancuran dan perusakan.
Aqidah ini mengendalikan perasaan cinta, benci, dan perasaan-perasaan
lainnya, kemudian membuat pemilik perasaan-perasaan itu penuh
pertimbangan di dalam tindakan-tindakannya, bersikap bijaksana di dalam
perilaku dan interaksi sosialnya. Ia melakukan itu semua dengan bertitik
tolak pada kaidah bahwa Allah melihatnya, mengamatinya, dan akan
memperhitungkan apa yang pernah dilakukannya. Sehingga, ia tidak mau
mencintai kecuali karena Allah, tidak mau membenci kecuali karena Allah,
tidak mau memberi kecuali karena Allah, dan tidak mau menahan kecuali
karena Allah. Walhasi l, ia tidak akan terdorong oleh luapan rasa cinta atau
letupan amarah untuk melakukan perbuatan yang tercela, perilaku yang
tidak bisa diterima, atau tindakan yang melampaui batas-batas ketentuan Allah.
Tanpa aqidah ini, masyarakat akan berubah menjadi masyarakat Jahiliyah
yang marak dengan kekacauan, diliputi ketakutan dan kecemasan di
berbagai penjuru, dan para penghuni berubah menjadi liar dan buas. Yang
ada di benak mereka hanyalah membunuh, merampas, merusak, dan
menghacurkan. Semua itu pernah menjadi simbol yang sangat menonjol dan menjadi cirri khas masyarakat Jahiliyah sebelum aqidah Islam menetap di dalam hati pemelukya. [30]
Dengan aqidah ini Allah telah mempersatukan hati yang bercerai-berai dan kecenderungan yang bermacam-macam.
Dengan aqidah ini pula Allah membuat umat Islam menjadi kaya sesudah mengalami kemelaratan.
Dan dengan aqidah ini Allah mengajari mereka ilmu pengetahuan sesudah
terbelenggu kebodohan, membuka mata mereka sesudah mengalami
kebutaan. Kemudian Allah memberi mereka makan untuk menghindarkan
mereka dari kelaparan dan menjamin keamanan mereka dari ketakutan. [31]
[1] ) Dinukil dari Aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah : Mafhumuha Khashaishuha wa Khashaishu
Ahliha karya Syaikh Muhammad Ibrahim al-Hamd dan ditaqdim oleh al-Allamah Ibnu Bazz Rahimahullahu, Lihat Dakwah At-Tauhid karya Al-Harras, hal. 252-257; Rasa’il fi Al-Aqidah karya Syaikh Muhammad bin Utsaimin, hal. 43-44; Mabahits fi Aqidah Ahli Sunnah, hal. 29-34; dan Wujub Luzum Al-Jama’ah wa Tarki At-Tafarruq, DR. Jamal bin Ahmad bin Basyir Badi, hal. 286-287
[2] ) Lihat Ar-Rad Al-Kafi ‘Ala Mughalathati Ad-Duktur Ali Abdul Wahid Wafi karya Ihsan Ilahi Zhahir, hal. 211-216; Ushul Madzhab Asy-Syi ’ah Al-Imamiyah Al -Itsnay ‘Asyariyah karya DR.Nashir Al-Qifari, 2/586, 588-609; dan Mas’alah At-Taqrib Baina Ahli Sunnah wa Asy-Syi ’ah karya DR. Nashir Al-Qi fari, 1/247
[3] ) Tentang komunisme lihat Madzahib Fikriyah Mu’ashirah, Muhammad Quthub, hal. 409; Al-Kaid Al-Ahmar, Abdurrahman Habankah Al -Maidani; Asy-Syuyu’iyah fi Mawazin Al-Islam,
Labib As-Sa’id; dan Naqd Ushul Asy-Syuyu’iyah, Syaikh Shalih bin Sa’ad Al -Luhaidan. Tentang sekularisme lihat Al-Ilmaniyah DR. Safar bin Abdurrahman Al -Hawali, hal. 21-24,
132-134; dan Al-Ilmaniyah wa Tsimariha Al-Khabitsah, Syaikh Muhammad Syakir Asy-Syarif
[4] ) Lihat Al-Mahdi Haqiqah La Khurafah, Syaikh Muhammad bin Isma’il, hal. 14
[5] ) Lihat Al -Adillah wa Al-Qawathi ’ wa Al-Barahin fi Ibthali Ushul Al-Mulhidin, Syaikh Ibnu Sa’di,
hal. 309
[6] ) Lihat Shahih Muslim, Kitab Al-Iman, 1/36-38, no. 8
[7] ) 8 Lihat Tarjih Asalib Al-Qur’an ‘Ala Asalib Al-Yunan, Ibnul Wazir, hal. 21-22
[8] ) Lihat Al-Adillah wa Al-Qawathi ’ wa Al-Barahin, hal. 348
[9] ) 10 Al-Mujaz fi Al-Madzhib wa Al-Adyan Al-Mu’ashirah, DR. Nashir Al-Aql, Dr. Nashir Al-Qifari,
hal. 124; Aqidah Al-Imamiyah Inda Asy-Syi ’ah Al -Itsnay Asyariyah, DR. Ali As-Salus, hal. 80-
85; Aqidah Al-Imamah Inda Al-Ja’fariyah fi Dlau’I As-Sunnah, As-Salus, Badzlu Al-Majhud fi
Musyabahati Ar-Rafidlah li Al-Yahud, Abdullah Al-Jumaili, 2/456-467. Dan lihat Al-Khuthuth
Al-Aridlah, Muhibbuddin Al-Khathib, tahqiq: Muhammad Malullah, hal. 69, Asy-Syi ’ah wa As-
Sunnah, Ihsan Ilahi Dzahir, hal. 66, Asy-Syi ’ah Al-Imamiyah Al-Itsnay Asyariyah fi Mizan Al-
Islam, Rabi’ bin Muhammad As-Su’udi, hal. 190-193, dan Al-Khumaini wa Tafdlilu Al -A’immah
‘Ala Al-Anbiya’, Muhammad Malullah.
[10] ) 11 Lihat Hadzihi Hiya Ash-Shufiyah, Syaikh Abdurrahman Al -Wakil, hal. 74-75; dan Al -Fikr
Ash-Shufi fi Dlau’I Al-Kitab wa As-Sunnah, Syaikh Abdurrahman Abdul Khaliq, hal. 38
[11] ) Lihat Dar’u Ta’arudli Al-Aqli wa An-Naqli, 3/147, Al-Fi raq Baina Auliya’ Ar-Rahman wa
Auliya’ Asy-Syaithon, hal. 89; dan Ad-Durroh Al-Mukhtahsarah fi Mahasin Ad-Diin Al-Islami,
Ibnu Sa’di, hal. 40
[12] ) Perjamuan Tuhan termasuk salah satu keyakinan umat Nashrani yang sesat. Hakikatnya,
mereka beranggapan bahwa Yesus pernah mengumpulkan murid-muridnya pada malam hari
sebelum penyalibannya. Konon, ketika itu Yesus membagikan khamr (minuman keras) dan
roti kepada mereka. Yesus memotong-motong roti itu dan membagikannya kepada mereka
untuk dimakan. Karena –menurut mereka- khamr mengisyaratkan darah Yesus dan roti
mengisyaratkan jasadnya. Sehingga, barangsiapa memakan roti dan meminum khamr di
gereja pada hari Paskah, maka makanan dan minuman itu akan berubah wujud di dalam
dirinya. Jadi, seolah-olah ia memasukkan daging dan darah Yesus ke dalam perutnya, dan
dengan demikian ia telah larut di dalam ajaran-ajarannya.
Keyakinan ini merupakan suatu perkara yang pasti ditolak oleh akal. Karena, mana mungkin
bisa digambarkan bahwa roti dan khamr berubah wujud menjadi daging dan darah,
sementara orang-orang yang makan itu merasakan cita rasa roti dan khamr pada umumnya?!
Dikatakan bahwa jasad Yesus itu satu, sedangkan Perjamuan Tuhan berjumlah ribuan setiap
tahunnya dan tersebar di mana-mana. Lantas, mana mungkin jasad dan darahnya bisa
dibagikan kepada semua orang?!
Sedangkan serti fikat pengampunan dosa merupakan salah satu lelucon gereja dan ketololan
yang tidak akan sudi dilakukan oleh orang yang sedikit berakal sehat.
Hal itu semacam pembagian Surga dan memperjualbelikannya secara terbuka dengan
menulis serti fikat untuk para pembeli, yang berisi perjanjian bahwa pihak gereja menjamin
pihak pembeli akan mendapatkan ampunan atas dosa-dosanya yang telah lalu maupun yang
akan datang, dan dibebaskan dari segala bentuk kejahatan dan kesalahan yang lalu maupun
yang akan datang. Kemudian, apabila pihak pembeli sudah menerima sertifikat pengampunan dosa dan
memasukkannya ke dalam tasnya, maka sejak saat itu yang bersangkutan telah bebas
melakukan apa saja yang dilarang, dan dihalalkan baginya apa saja yang semula
diharamkan. Lihat Al-Ilmaniyah, hal. 99, 110-111, dan Muhadlarat fi An-Nashraniyah, Syaikh Muhammad
Abu Zahrah, hal. 114-115
[13] ) Al-Jawab Ash-Shahih li Man Baddala Diin Al -Masih, Ibnu Taimiyah, 2/155. Dan lihat Al- Hayara fi Ajwibati Al-Yahud wa An-Nashara, Ibnul Qayyim, hal. 321
[14] ) 15 Lihat Ar-Radd ‘Ala Ar-Rafidlah, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 31-32; dan At-
Tasyayyu’ wa Asy-Syi ’ah, Ahmad Al-Kasrawi, hal. 87
[15] ) Lihat Al-Harakat Al-Bathiniyah fi Al-Alam Al-Islami, DR. Muhammad bin Ahmad Al-Khathib,
hal. 365
[16] ) Lihat An-Nushairiyah, DR. Suhair Al-Fiil, 2/93-103
[17] ) Lihat Al -Baha’iyah Naqd wa Tahlil, Ihsan Ilahi Zhahi ﷺ, hal. 150; Aqidah Khatmi An-Nubuwwah, DR. Ahmad bin Sa’ad bin Hamdan, hal. 223; Al-Baha’iyah, Abdullah Al -Hamawi, hal. 31-38; Haqiqat Al-Babiyah wa Al-Baha’iyah, DR. Muhsin Abdul Hamid; dan Al-Baha’iyah, Muhibbuddin Al-Khathib, hal. 14-15
[18] ) Lihat Tsabat Al-Aqidah Al-Islamiyah Amama At-Tahaddiyat, Syaikh Abdullah Al-Ghunaiman
[19] ) Lihat Dzammu Al-Furqah wa Al-Ikhtilaf di Al-Kitab wa As-Sunnah, Syaikh Abdullah Al- Ghunaiman, hal. 15
[20] ) Lihat Tanzih Ad-Diin wa Hamalatihi wa Rijalihi, Ibnu Sa’di, hal. 444; Al-Adillah wa Al-Barahin, hal. 303; dan Al-Adhomah, Muhammad Al -Khadlir Husain, hal. 24
[21] ) 22 Lihat Naqdlu Al-Mathiq, Ibnu Taimiyah, hal. 48
[22] ) Lihat Fi Dhilli Asy-Syari ’ah Al-Islamiyah Yatahaqqaqu Al-Amnu wa Al -Hayat Al-Karimah li
Al-Muslimin, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, hal. 306
[23] ) Lihat Al-Fawaid, Ibnul Qayyim, hal. 129-130; Al-Hurriyah fi Al-Islam, hal. 33; dan Rosa’il Al - Ishlah, Muhammad Al-Khodlir Husain, 1/58,59,70
[24] ) Lihat Ar-Riyadl An-Nadlirah, Ibnu Sa’di, hal. 8
[25] ) Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Baz
[26] ) Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami ’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 20; Ad-Dala’il Al-
Qur’aniyah fi Anna Al-Ulum An-Nafi ’ah Dakhilah di Ad-Diin Al -Islami, Ibnu Sa’di, hal. 6; dan
Majmu’ Fatawa wa Rosa’il, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 3/77
[27] ) Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami ’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di, hal. 16; Ad-Durroh Al - Mukhtasharah fi Mahasin Ad-Diin Al-Islami, hal. 37-38; dan Al-Hurriyah fi Al-Islam, Syaikh Muhammad Al-Khodlir Husain, hal. 41
[28] ) Tambahan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
[29] ) Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syari f, hal. 4, 74-79
[30] ) Lihat Al-Aqidah Al-Islamiyah Baina Al-Aqli wa Al-‘Athifah, DR. Ahmad Syarif, hal. 4, 104-105
[31] ) Lihat Ad-Diin Ash-Shahih Yahullu Jami ’al Masyakil, Syaikh As-Sa’di