الوصف
تحذير الساجد من اتخاذ القبور مساجد: كتاب مهم؛ حيث فيه التحذير من اتخاذ القبور على المساجد، أو وضع الصور فيها، ولعنٍ من فعل ذلك، وأنه من شرار الخلق عند الله كائنًا من كان.
ترجمات أخرى 2
Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta'alla, kami memuji -Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada -Nya, kami berlindung kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah Shubhanahu wa ta'alla beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah Shubhanahu wa ta'alla sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasannya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta'alla semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi bahwasannya nabi Muhammad Salallhu 'alaihi wa sallam adalah seorang hamba dan utusan -Nya.
قال الله تعالى: { يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ} ( سورة آل عمران : 102 )
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada -Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam". (QS ali-'Imran: 102).
قال الله تعالى : { يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا ٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا } ( سورة النساء : 1) .
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama -Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu". (QS an-Nisaa': 1).
قال الله تعالى : {يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَقُولُواْ قَوۡلٗا سَدِيدٗا ٧٠ يُصۡلِحۡ لَكُمۡ أَعۡمَٰلَكُمۡ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ فَازَ فَوۡزًا عَظِيمًا } ( سورة الأحزاب: 70-71) .
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul -Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar". (QS al-Ahzaab: 70-71).
Amma ba'du: Pada akhir tahun 1377 H, saya pernah menulis sebuah risalah dan telah tercetak, dengan judul "Tahdziru Saajid man itakhaadza al-Qubuur Masaajid" (Peringatan keras untuk para pengagung kuburan).
Di mana, selama ini, naskah asli dari cetakan tersebut masih tetap berada di tangan saya. Tatkala terlintas sebuah faidah di benak saya yang saya kira sesuai dengan tema pembahasan yang ada di dalam kitab ini maka langsung segera menambahkannya, dengan harapan bisa saya satukan pada cetakan yang akan datang, sebagai tambahan dan perbaikan isi kitab ini. Hingga akhirnya saya mendapatkan banyak tambahan penting untuk risalah ini.
Manakala al-Ustadz yang mulia Zuhair asy-Syuwaisy pemilik Maktab al-Islami meminta saya supaya mengajukan naskah tersebut kepadanya untuk di perbaharui cetakannya, naskah itu justru hilang. Sehingga ketika saya sudah merasa lelah mencarinya, langsung saya mengirimkan naskah lain kepadanya yang saya pinjam dari teman-teman saya untuk dicetak seperti apa adanya, seperti di katakan oleh sebuah pepatah: "Sesuatu yang tidak bisa di jumpai semuanya, bukan berarti di tinggalkan semuanya".
Dan tatkala saudara saya al-Ustadz Zuhair asy-Syuwaisy telah mempersiapkan segalanya untuk mencetak baru kitab ini, berkat anugerah Allah Ta'ala serta kemurahan -Nya, saya menemukan catatan-catatan tersebut, sehingga saya segera mengirimkan kepadanya, setelah sebelumnya saya ringkas dan saya susun sesuai pembahasan untuk bisa di satukan pada cetakan yang kedua.
Karena penulisan risalah tersebut berlangsung pada kondisi khusus dan situasi tertentu, sehingga menuntut saya menggunakan gaya penyajian yang khusus dan berbeda pula, sebagaimana dengan gaya penyajian ilmiah murni yang bisa saya berlakukan pada setiap buku saya, yaitu pembahasan yang tenang dan disertai dengan argumen yang kuat. Itu semua saya lakukan di karenakan tulisan ini di tulis sebagai sanggahan terhadap orang-orang yang tidak tertarik pada seruan kami untuk kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah, berdasarkan manhaj salafus sholeh, serta para Imam yang empat dan selain mereka dari kalangan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Di mana mereka mendahului kami dengan menulis buku dan memberi reaksi, yang saya kira sangat ilmiah dan dengan gaya bahasa yang tenang, sehingga saya pun perlu menyambutnya dengan lebih baik lagi. Namun kenyataannya tidak demikian, justru tulisan tersebut jauh dari pembahasan ilmiah, dan malah di penuhi dengan cercaan dan hinaan serta tuduhan yang belum pernah terdengar sebelumnya. Oleh karena itu, kami tidak bisa berdiam diri dan membiarkan mereka menyeberluaskan risalah mereka ketengah-tengah masyarakat, tanpa adanya tulisan yang bisa menyingkap kedok mereka yang menutupi kebodohan dan propaganda:
قال الله تعالى :{ لِّيَهۡلِكَ مَنۡ هَلَكَ عَنۢ بَيِّنَةٖ وَيَحۡيَىٰ مَنۡ حَيَّ عَنۢ بَيِّنَةٖۗ } ( سورة الأنفال : 42) .
"Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula)". (QS al-Anfaal: 42).
Oleh karena itu harus ada penolakan serta penentangan terhadap mereka.
Namun demikian, saya tidak membalas permusuhan dan tindakan mengada-ada mereka dengan cara yang sama. Adapun risalah ini, dengan karakternya yang ilmiah, secara langsung memberikan penolakan terhadap mereka. Yang bisa jadi sebagian gaya bahasanya di anggap keras oleh sebagian orang yang merasa keberatan kalau tindakan orang-orang yang menyimpang dan mengada-ada itu di kritik, bahkan menginginkan agar mereka di biarkan saja tanpa memperhatikan kebodohan dan tuduhan mereka kepada orang-orang yang tidak sepantasnya di tuduh, seraya mengklaim bahwa mendiamkan mereka merupakan bagian dari toleransi yang termasuk di dalam firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى:{ وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلۡجَٰهِلُونَ قَالُواْ سَلَٰمٗا }(سورة الفرقان: 63)
"Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan". (QS al-Furqaan: 63).
Mereka lupa atau melupakan bahwa sikapnya tersebut pada dasarnya sedang membantu orang-orang semacam itu untuk terus berada di atas kesesatanya serta menyesatkan orang lain, sedangkan Allah Azza wa jalla berfirman:
قال الله تعالى : { وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ } ( سورة المائدة : 2)
"Dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran". (QS al-Maaidah: 2).
Tidak ada jenis dosa dan pelanggaran yang lebih besar daripada menuduh saudaranya sesama muslim dengan sesuatu yang tidak pernah di lakukannya, akan tetapi justru yang dia lakukan adalah sebaliknya? Kalau sekiranya sebagian orang-orang itu mendapatkan permusuhan tidak separah yang menimpa kami pun, pasti mereka dengan cepat melakukan penolakan dan akan membantah orang tersebut, sambil mengucapkan:
Ketahulilah, jangan sampai ada orang yang bersikap kasar kepada kami
Sehingga kami harus bersikap kasar kepadanya, seperti orang-orang bodoh
Maka saya katakan, dengan keadaan yang seperti itu, saya menyangka kalau cetakan terbaru dari buku ini, masih sama dengan metode cetakan yang sebelumnya yang tidak ada tambahan faidah baru yang perlu di sebutkan di sini, oleh karena itu, harus ada perubahan yang perlu di hilangkan dari sebagian ta'liq, serta merubah sedikit bahasa, di sesuaikan dengan cetakan terbaru, namun tidak mengurangi nilai ilmiahnya, serta pembahasan-pembahasan yang penting lainnya.
Dan pada muqodimah cetakan pertama, saya telah menyebutkan bahwa tema risalah ini terfokus pada dua perkara yang sangat penting sekali, yaitu:
Yang pertama: Hukum membangung masjid di atas kuburan.
Yang kedua: Hukum sholat di atas masjid-masjid yang di bangun di atas kubur.
Di mana saya mengedepankan permasalahan ini, di karenakan sebagian orang banyak yang telah masuk pada kedua perkara tersebut tanpa di dasari dengan ilmu. Mereka menyatakan bahwa tidak pernah ada seorang alim pun yang menyebut masalah tersebut sebelumnya, di dukung lagi oleh kebanyakan kaum muslimin yang tidak mempunyai pengetahuan akan hal tersebut, yang pada intinya mereka sedang dalam kelalaian pada ilmu tersebut serta melupakannya, mereka bodoh terhadap kebenaran, di tambah lagi dengan sikap diamnya para ulama atas perbuatan mereka, -Kecuali yang di kehendaki Allah Shubhanahu wa ta'alla, dan jumlah mereka hanya sedikit -, di karenakan mereka takut terhadap masyarakat umum, atau karena ingin mempertahankan status dan kedudukan mereka di tengah-tengah masyarakat, dan mereka melupakan terhadap firman Allah Ta'ala Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi:
قال الله تعالى : { إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ } (سورة البقرة : 159) .
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) serta petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu adalah orang-orang yang dilaknat oleh Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat melaknatinya". (QS al-Baqarah: 159).
Dan juga sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((من كتم علماً ألجمه الله يوم القيامة بلجام من نار ) ]رواه ابن حبان و الحاكم [.
"Barangsiapa yang menyembunyikan ilmu, maka Allah akan mengenakan tali kekang padanya dari api neraka di hari kiamat nanti". HR Ibnu Hibban no: 296, al-Hakim 1/102.
Berawal dari sikap diam seperti itu akhirnya membuahkan kebodohan, yang mengantarkan kebanyakan manusia untuk berani melakukan perbuatan yang telah di haramkan oleh Allah Ta'ala bahkan mengerjakan perbuatan yang pelakunya akan mendapat laknat dari -Nya, sebagaimana akan datang penjelasannya. Duhai sekiranya kalau perkaranya berhenti sampai di sini! Bahkan, sebagian di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan cara mendirikan masjid di atas kuburan. Sehingga anda dapat menyaksikan sebagian orang yang suka berbuat baik dan memakmurkan masjid menginfakkan harta yang cukup banyak untuk membangun masjid, tetapi di dalam masjid tersebut ia juga menyiapkan liang lahat untuk menjadi makamnya kelak, saat meninggal dunia, dengan memberi wasiat kepada kerabatnya supaya di kubur di masjid tersebut ketika meninggal!
Contoh konkretnya mengenai hal tersebut yang pernah saya ketahui -dan saya berharap mudah-mudahan itu yang terakhir- adalah masjid yang ada tepat di jalan di kota Baghdad dari arah barat sekitaran Damaskus, yang lebih di kenal dengan nama masjid "Ba'ira", yang di dalamnya terdapat makam pendirinya ba'ira. Dan kami mendapat kabar, bahwa pihak kementerian wakaf telah melarang pemakamannya di masjid tersbut, akan tetapi kami tidak tahu persis sebab sebenarnya yang akhirnya membolehkan Ba'ira di makamkan di dalam masjid tersebut, bahkan di kiblatnya. Kami hanya bisa mengatakan: Innaa lillahi wa innaa ilahi roji'un, dan Allahlah Dzat yang dapat menolong dan menyelamatkan kita dari kemunkaran seperti ini dan yang semisalnya.
Belum lama ini ada seorang mufti dari penganut Syafi'iyah yang meninggal dunia, lalu para mpengikutnya bermaksud untuk memakamkannya di salah satu masjid kuno di sebelah timur Damaskus, akan tetapi kementerian wakaf melarangnya, sehingga dia tidak jadi di kuburkan di sana. Maka kami ucapkan beribu terima kasih kepada pihak kementerian wakaf atas sikap baiknya tersebut serta kepedulian yang tinggi terhadap umat dengan melarang pemakaman di dalam masjid, dengan harapan mudah-mudahan tujuan yang mendorong keputusan larangan semacam ini adalah untuk mencari ridho Allah Azza wa jalla serta dalam rangka mengikuti syari'at -Nya, bukan hanya sebagai slogan-slogan yang terpampang, karena sebab politik, sosial atau yang lainnya.
Dan semoga itu merupakan permulaan yang indah dalam rangka menyucikan masjid dari berbagai bentuk bid'ah dan kemunkaran yang beraneka ragam.
Apalagi dalam hal ini bapak menteri wakaf, Fadhilatus Syaikh al-Baquri mempunyai sikap yang terpuji, di dalam memerangi berbagai jenis kemunkaran tersebut, lebih khusus lagi sikapnya yang tegas melarang membangun masjid di atas kubur, dan dalam masalah ini, beliau mempunyai ucapan yang sangat baik, yang insya Allah akan kami nukil selengkapnya pada pembahasan tersendiri.
Dan sungguh sangat di sayangkan sekali oleh setiap muslim yang sejati, bahwa kebanyakan masjid-masjid yang ada di negeri Suriah serta negeri lainnya, tidak kosong dari adanya kuburan di dalamnya atau bahkan di dapati lebih dari satu kuburan, seakan-akan Allah Ta'ala telah memerintahkan perbuatan semacam itu serta tidak melaknat sang pelakunya! Betapa mulianya apa yang di lakukan oleh kementerian wakaf kalau sekiranya berusaha dengan kekuasaanya untuk membersihkan masjid-masjid ini dari kemungkaran tersebut.
Dan saya yakin, bukan termasuk sikap bijak kalau menghadirkan suatu wacana umum secara tiba-tiba tentang permasalahan ini, tanpa mensosialisasikanya terlebih dahulu sebelum pembahasan di mulai, yaitu permasalahan yang menjelaskan bahwa yang namanya kuburan dan masjid tidak mungkin bisa dijadikan satu dalam suatu bangunan di dalam agama Islam, sebagaimana yang telah di katakan oleh para ulama besar, seperti yang akan datang nukilannya. Bahwa bersatunya masjid dan kuburan menjadi satu akan mengakibatkan hilangnya nilai ikhlas di dalam meng Esakan Allah Shubhanahu wa ta'alla serta ibadah kepada -Nya Tabaraka wa ta'ala, sedangkan keikhlasan ini merupakan bentuk realisasi dari tujuan di bangunnya masjid, hal itu sebagaimana yang telah di firmankan oleh Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : { وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا } ( سورة الجن : 18) .
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah". (QS al-Jinn: 18).
Saya yakin bahwa menjelaskan permasalahan ini merupakan kewajiban yang tidak mungkin bisa kita abaikan, dan saya berharap semoga menjadi orang yang di beri taufik oleh Allah Ta'ala untuk mengerjakan kewajiban ini di dalam risalah ini. Di mana saya telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir tentang larangan yang berkaitan dengan masalah ini, kemudian saya sertakan pendapat para ulama yang kapabel dari madhzab yang berbeda yang menunjukan tentang masalah ini, sehingga pada kenyataannya hal itu sebagai saksi bahwa para imam semoga Allah meridhoi mereka, mereka adalah orang-orang yang sangat bersemangat sekali untuk mengikuti sunah serta mendakwahkan kepada manusia supaya mau mengikuti sunnah tersebut, dan memperingatkan umat agar tidak menyelisihi sunnah. Akan tetapi Maha Benar Allah Shubhanahu wa ta'alla lagi Maha Agung berfirman:
قال الله تعالى: {فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا }( سورة مريم : 59) .
"Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan". (QS Maryam: 59).
Dalam risalah ini terkandung beberapa bab, berikut di antaranya:
Bab pertama: Hadits-hadits yang menjelaskan larangan menjadikan kuburan sebagai masjid.
Bab kedua: Makna menjadikan kuburan sebagai masjid.
Bab ketiga: Menjadikan kuburan sebagai masjid merupakan salah satu dosa dari beberapa dosa besar.
Bab keempat: Kerancuan-kerancuan yang ada serta bantahanya.
Bab kelima: Hikmah di haramkanya membangun masjid di atas kuburan.
Bab keenam: Di benci sholat di dalam masjid yang di bangun di atas kuburan.
Bab ketujuh: Penjelasan bahwa hukum-hukum yang telah lewat mencakup seluruh masjid yang ada, kecuali masjid Nabawi.
Bab-bab di atas memuat juga beberapa sub judul, yang terkandung di dalamnya faidah-faidah penting yang sangat bermanfaat sekali insya Allah.
Dan saya memberikan judul risalah ini dengan: "Tahdziru Saajid man Itakhadza al-Qubuura Masaajid".
Akhirnya saya senantiasa memohon kepada Allah Ta'ala, mudah-mudahan kaum muslimin mendapatkan manfaat yang lebih banyak lagi dari cetakan yang sebelumnya. Dan semoga Allah Shubhanahu wa ta'alla menerima semua amalan saya ini dengan sebaik-baiknya, selain itu, mudah-mudahan pihak penerbit pun mendapatkan balasan kebaikan.
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه الذي لم يقم منه : (( لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )) قالت : فلولا ذاك أبرز قبره غير أنه خُشي أن يتخذ مسجداً
[رواه البخاري ومسلم ] .
"Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda tatkala sakit yang beliau tidak bisa bangkit darinya, beliau berkata: "Allah telah melaknat orang-orang Yahudi serta Nashrani yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid".
Aisyah berkata: "Kalau bukan karena takut akan laknat tersebut, niscaya kuburan beliau ditempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan di jadikan sebagai masjid". HR Bukhari no: 156, 198, 114 dan Muslim no: 67.
Dan semisal ucapan Aisyah ini adalah apa yang di riwayatkan dari ayahnya Abu Bakar radhiyallahu 'anhuma, yang di keluarkan oleh Ibnu Zanjawiyah dari Umar seorang mantan hamba sahaya Ghufrah, dirinya berkata: "Tatkala mereka (para sahabat) berselisih di mana akan mengubur jasad Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, maka ada yang mengucapkan: "Kita kubur beliau di mana beliau biasa mengerjakan sholat! Abu Bakar langsung mengatakan: "Kita berlindung kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla kalau sampai menjadikan beliau sebagai patung yang di sembah". Kemudian ada sahabat lain yang mengatakan: "Kita kubur saja beliau di Baqi', di mana beliau dulu biasa memakamkan sahabat-sahabatnya dari kalangan kaum Muhajirin di sana". Abu Bakar mengatakan: "Sesungguhnya kita tidak senang kalau makam beliau di bawa keluar ke Baqi', sehinggga manusia berlindung kepadanya yang hal itu menjadi hak Allah Shubhanahu wa ta'alla atas mereka, dan hak Allah Shubhanahu wa ta'alla itu harus lebih di dahulukan dari pada hak Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Kalau kita sampai membawanya keluar, berarti kita telah menelantarkan hak Allah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan jika kita menelantarkannya, berarti kita telah menelantarkan pemakaman Rasulallah". Para sahabat bertanya: "Lalu bagaimana pendapatmu wahai Abu Bakar? Beliau menjawab: "Saya pernah mendengar Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah Allah mencabut nyawa seorang nabipun melainkan ia di kubur di mana ia meninggal". Mereka mengatakan: "Sungguh demi Allah kami ridho dan puas dengan jawabanmu". Lalu kemudian mereka membikin garis di sekeliling tempat tidur beliau, lantas di angkat oleh Ali, al-Abbas, Fadhl serta keluarganya, sementara ada beberapa orang yang masuk membuat lubang tepat di bawah di mana tempat tidur beliau berada". [1]
Kedua: Dari hadits Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((قاتل الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)) ) رواه البخاري ومسلم )
"Semoga Allah membinasakan Yahudi, mereka menjadikan kuburan para nabinya sebagai masjid-masjid". HR Bukhari no: 422, Muslim no: 71.
Ketiga: Dari hadits Aisyah dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam tatkala mendekati ajal, beliau menutupi wajahnya dengan bajunya, ketika merasa sesak beliau buka kembali wajahnya, seraya mengatakan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لعنة الله على اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)) ) رواه البخاري ومسلم ).
"Laknat Allah atas Yahudi yang telah menjadikan kubur-kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid".
Berkata Aisyah: "Beliau memberi peringatan agar jangan sampai mengerjakan seperti apa yang di lakukan oleh orang-orang Yahudi". HR Bukhari no: 422, 386, Muslim no: 67.
Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan: "Seakan-akan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam sudah mengetahui bahwa dirinya akan pergi selama-lamanya, dengan sebab sakit yang beliau derita tersebut, sehingga beliau merasa takut jika kuburanya nanti di agungkan sebagaimana yang di lakukan oleh umat sebelum kita, maka beliau melaknat orang-orang Yahudi serta Nashrani sebagai isyarat bahwa perbuatan mereka adalah tercela demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka".
Saya berkata (Syaikh al-Albani): "Maksudnya adalah dari kalangan umat ini. Seperti dalam hadits yang keenam nanti, dengan jelas datang larangan atas mereka dari perbuatan tersebut. Maka perhatikanlah".
Keempat: Dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, beliau berkata: Tatkala Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam sakit maka sebagian istrinya ada yang menyebut-nyebut gereja yang pernah di lihatnya waktu hijrah di negeri Habasyah. Gereja itu di sebut dengan Maria. Adalah Umu Salamah dan Umu Habibah keduanya pernah ikut hijrah kenegeri Habasyah. Keduanya mengingat tentang keindahan serta gambar-gambar yang ada di dalamnya. Aisyah mengatakan: "Maka Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kepalanya seraya bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح بنوا على قبره مسجداً , ثم صوروا تلك الصور , أولئك شرار الخلق عند الله - يوم القيامة -)) ) رواه البخاري ومسلم والنسائي ) .
"Mereka adalah orang-orang yang apabila ada orang sholeh yang meninggal lantas mereka membangun masjid di atas kuburanya, kemudian mereka mengambar dengan gambar-gambar seperti itu. Mereka adalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat nanti". HR Bukhari no: 416, 422, Muslim no: 66, Nasa'i no: 115.
Berkata al-Hafidz Ibnu Rajab di dalam kitabnya "Fathul Bari": "Hadits ini menunjukan akan haramnya membangun masjid-masjid di atas kuburan orang-orang sholeh, serta mengambar foto-foto mereka di atasnya, sebagaimana yang di lakukan oleh kaum Nashrani. Tidak di ragukan lagi bahwa masing-masing dari kedua perbuatan tersebut adalah haram, melukis gambar manusia adalah haram, seperti halnya membangun masjid di atas kuburan itu sendiri juga di haramkan. Sebagaimana telah di tunjukan oleh nash-nash yang lain yang akan kami sampaikan lebih lanjut. Dia mengatakan bahwa gambar-gambar yang berada di gereja tersebut sebagaimana di sebutkan oleh Umu Habibah dan Umu Salamah itu letaknya di dinding atau yang lainnya, dan tidak memiliki bayangan. Dengan demikian, melukis gambar, seperti gambar para Nabi dan orang-orang sholeh dengan tujuan untuk mencari berkah dan syafa'at darinya maka hal itu di haramkan dalam Islam. Dan hal itu seperti yang telah di kabarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bahwa pelakunya merupakan makhluk yang paling jahat di sisi Allah Shubhanahu wa ta'alla pada hari kiamat kelak. Dan melukis gambar orang dengan tujuan untuk di teladani atau sebagai tempat rekreasi dan bersenang-senang adalah haram dan termasuk dosa besar yang pelakunya akan mendapat siksaan yang paling keras pada hari kiamat, karena ia termasuk orang yang dhalim yang menyerupai perbuatan Allah Ta'ala yang tidak mampu di lakukan oleh selain diri -Nya. Dan sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta'alla Maha Tinggi, yang tidak ada sesuatu pun yang setara dengan -Nya, baik dalam Dzat, sifat, maupun perbuatan -Nya".
Hal itu juga di sebutkan di dalam kitab al-Kawaa-kibud Darari jilid 65/82/2.
Saya berkata: "Hal itu tidak ada bedanya antara menggambar dengan menggunakan alat photografi maupun hanya dengan tangan, karena perbedaanya hanya pada tekhnik pengerjaanya, sebagaimana yang telah saya jelaskan di dalam buku saya yang berjudul Aadaabuz Zifaaf halaman: 106-116, cetakan kedua terbitan Maktab Islami".
Kelima: Dari Jundub bin Abdillah al-Bajali, bahwasanya dia pernah mendengar Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang lima perkara sebelum beliau meninggal:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((قد كان لي فيكم إخوة وأصدقاء, وإني أبراء إلى الله أن يكون لي فيكم خليل, وإن الله عز وجل قد اتخذني خليلاً كما تخذ إبراهيم خليلاً, ولو كنت متخذا من أمتي خليلاً , لاتخذت أبا بكر خليلاً , ألا [ وإن ] من كان قبلكم [ كانوا ] يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد , ألا فلا تتخذوا القبور مساجد , فإني أنهاكم عن ذلك)) (رواه مسلم) .
"Aku memiliki beberapa saudara dan teman di antara kalian. Dan sesungguhnya saya berlindung kepada Allah dari mengambil kekasih di antara kalian. Dan sesungguhnya Allah Azza wa jalla telah menjadikan diriku sebagai kekasih sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Seandainya aku boleh mengambil kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Dan ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan makam Nabi-nabi mereka dan orang-orang sholeh di antara mereka sebagai masjid. Maka janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut". HR Muslim no: 67, 68.
Keenam: Dari al-Harits an-Najrani, dia bercerita, aku pernah mendengar Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam sebelum meninggal menyampaikan lima hal. Beliau bersabda:
عن الحارث النجرني قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ألا وإن من كان قبلكم كانوا يتخذون قبور أنبيائهم وصالحيهم مساجد , ألا فلا تتخذوا القبور مساجد إني أنهاكم عن ذلك )) (رواه إبن ابي شيبة) .
"Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka serta orang-orang sholeh sebagai masjid. Maka, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Karena sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut". HR Ibnu Abi Syaibah 11/82/2 dan 11/376.
Dan hadits hasan yang di riwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda ketika beliau sakit yang mengantarkan pada kematiannya: "Masuklah menghadapku, wahai sahabat-sahabatku". Maka mereka pun masuk, sedang beliau tertutupi selimut mu'afiri[2]. Lalu beliau membuka penutup tersebut seraya berkata:
عن أسامة بن زيد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )) (رواه الطياليسي وأحمد) .
"Allah telah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah". HR ath-Thayalisi dalam musnadnya 2/113. Ahmad 5/204.
Ketujuh: Dari Abu Ubaidah bin al-Jarrah, dia berkata, bahwa kalimat terakhir yang di ucapkan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah:
عن أبي عبيدة بن الجراح قال: آخر ما تكلم به النبي صلى الله عليه وسلم: (( أخرجوا يهود أهل الحجاز وأهل نجران من جزيرة العرب , واعلموا أن شرار الناس الذي اتخذوا (وفي رواية : يتخذون) قبور أنبيائهم مساجد )) (رواه وأحمد) .
"Keluarkanlah orang-orang Yahudi dari penduduk Hijaz dan Najran serta usirlah mereka dari semenanjung Arab. Ketahuilah bahwa seburuk-buruk manusia adalah orang-orang yang menjadikan -dalam riwayat lain: mengambil- kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid". HR Ahmad no: 1691 dan 1694.
Delapan: Dari Zaid bin Tsabit, bahwa Rasulallahu Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عن زيد بن ثابت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( لعن الله (وفي رواية : قاتل الله) اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )) (رواه وأحمد) .
"Allah melaknat -dan dalam riwayat lain di sebutkan: Allah memerangi- orang-orang Yahudi, karena mereka telah menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah". HR Ahmad 5/184 dan 186.
Dari Abu Hurairoh, dia bercerita, Rasulallah Shalallahu 'alihi wa sallam pernah bersabda:
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( اللهم لا تجعل قبري وثناً لعن الله قوماً اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد )) (رواه وأحمد) .
"Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kuburanku sebagai berhala. Allah melaknat kaum yang menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid". HR Ahmad no: 7352.
Sembilan: Dari Abdullah bin Mas'ud, dia berkata, saya mendengar Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
عن عبد الله بن مسعود قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (( إن من شرار الناس من تدركه الساعة وهم احياء , ومن يتخذ القبور مساجد)) (رواه إبن حبان و إبن الخزيمة ) .
"Sesungguhnya seburuk-buruk manusia adalah yang mendapati terjadinya hari kiamat dalam keadaan hidup. Dan orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid". HR Ibnu Hiban no: 340, 341. Ibnu Khuzaimah 1/92/2.
Sepuluh: Dari Ali bin Abi Thalib, dia berkata, "Abbas pernah bertemu denganku seraya berkata: "Wahai Ali, mari ikut kami mengunjungi Nabi Muhammad Shalalallhu 'alaihi wa sallam, mungkin ada suatu hal yang perlu kita tanyakan, kalau tidak beliau akan memberi wasiat kepada orang-orang melalui kita". Kemudian kami masuk menemui beliau, sedang beliau dalam keadaan berbaring karena sakit. Lalu beliau mengangkat kepalanya seraya bersabda:
عن علي بن أبي طالب قال : فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لعن الله اليهود اتخذوا قبور الأنبياء مساجد )) زاد في رواية : ((ثم قالها الثالثة)) (رواه إبن سعد).
"Allah melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan Nabi-nabi mereka sebagai masjid". Dalam sebuah riwayat di tambahkan: "Kemudian beliau mengatakannya sebanyak tiga kali". Tatkala kami melihat keadaan beliau, maka kami keluar tanpa menanyakan sesuatu pun pada beliau". HR Ibnu Sa'ad 4/28.
Sebelas: Dari Ummahatul Mukminin, bahwasanya para sahabat Rasulallahu Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bertanya: "Bagaimana kami harus membangun kuburan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, Apakah kami boleh menjadikannya sebagai masjid? Maka Abu Bakar menjawab: "Aku pernah mendengar Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فقال أبو بكر الصديق : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ((لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد)) (رواه إبن زنجويه).
"Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani. Mereka menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid". HR Ibnu Zanjawaih dalam Fadhaailush Shidiq.
Dari hadits-hadits yang telah lalu tampak jelas sekali bahayanya menjadikan kubur sebagai masjid, di tambah ancaman yang keras bagi orang yang melakukanya di sisi Allah Azza wa jalla kelak. Oleh karena itu, kita harus memahami arti di jadikan kubur sebagai masjid sehingga kita bisa menghindarinya. Maka saya katakan: "Yang mungkin bisa di pahami dari makna kalimat 'Menjadikan kubur sebagai masjid' ada tiga pengertian:
Pertama: Shalat di atas kuburan, dengan pengertian sujud di atasnya.
Kedua: Sujud dengan menghadap ke arahnya dan menjadikan sebagai kiblat sholat dan do'a.
Ketiga: Mendirikan masjid di atas kuburan dengan tujuan bisa mengerjakan sholat di dalamnya.
A. Pendapat para ulama tentang pengertian menjadikan kubur sebagai masjid.
Masing-masing pengertian di atas telah di kemukakan oleh para ulama, dan setiap pendapatnya juga di landasi dengan nash-nash yang jelas dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Adapun pengertian pertama, Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan di dalam kitabnya, az-Zawajir 1/121: "Menjadikan kubur sebagai masjid berarti sholat di atasnya atau menghadap ke arahnya".
Dan ucapannya beliau ini mengarahkan pada pengertian bahwa menjadikan kubur sebagai masjid itu mencakup dua pengertian, salah satunya adalah sholat di atas kuburan.
Di dalam kitab Subulus Salaam 1/214, ash-Shan'ani mengatakan: "Menjadikan kubur sebagai masjid itu lebih umum dari hanya sekedar sholat menghadap ke arahnya atau sholat di atasnya".
Saya katakan: Yakni kalimat itu mencakup kedalam dua pengertian tersebut. Bahkan ada kemungkinan, kalimat tersebut mempunyai tiga pengertian di atas. Dan itulah yang di pahami oleh Imam asy-Syafi'i. Dan akan datang ucapan beliau tentang masalah itu.
Pengertian pertama ini di dukung oleh beberapa hadits berikut ini:
1. Dari Abu Sa'id al-Khudri:
عن أبي سعيد الخدري : (( أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يبنى على القبور أو يقعد عليها , أو يصلى عليها )) (رواه أبو يعلى ).
Bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah melarang mendirikan bangunan di atas kuburan atau duduk di atasnya atau sholat di atasnya. HR Abu Ya'ala dalam musnadnya 66/2.
2. Sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قوله صلى الله عليه وسلم : (( لا تصلوا إلى قبر , ولا تصلوا على قبر )) (رواه الطبراني في معجمل الكبير ).
"Janganlah kalian sholat menghadap ke arah kuburan tidak pula sholat di atasnya". HR ath-Thabrani dalam al-Mu'jamul kabir 3/145/2.
3. Dari Anas bin Malik
عن أنس : أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن الصلاة إلى القبر (رواه ابن حبان )
"Bahwasanya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang sholat menghadap ke arah kubur. HR Ibnu Hiban no: 343.
4. Dari Amr bin Dinar – dan ia pernah di tanya tentang sholat di tengah-tengah kuburan- dia mengatakan: "Pernah diberitahukan kepadaku bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال : ذكر لي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : (( كانت بنو إسرائيل اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد فعلنهم الله تعالى )) (رواه عبد الرزاق).
"Adalah orang-orang Bani Israil, mereka telah menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid, sehingga Allah melaknat mereka". HR Abdurazaq no: 1591.
Adapun pengertian kedua, maka berkata al-Munawi di dalam kitabnya Faidhul Qadiir, tatkala menjelaskan hadits yang ketiga di atas tadi, beliau mengatakan: "Artinya, mereka menjadikan kuburan para Nabi sebagai arah kiblat dengan di sertai keyakinan mereka yang salah, dan menjadikan kuburan sebagai masjid menuntut keharusan untuk membangun masjid di atasnya demikian pula sebaliknya. Dan inilah sebab yang menjelaskan faktor di laknatnya mereka, yaitu tatkala mereka berlebihan dalam pengagungan.
Al-Qodhi al-Baidhawi mengatakan: "Ketika orang-orang Yahudi sujud kepada kuburan para Nabi sebagai bentuk pengagungan terhadap mereka dengan menjadikan sebagai kiblat, mereka juga menghadap ke makam itu dalam mengerjakan sholat dan ibadah lainya, sehingga dengan demikian, mereka telah menjadikannya sebagai berhala yang di laknat Allah Shubhanahu wa ta'alla, dan Dia telah melarang kaum muslimin melakukan hal tersebut".
Saya berkata; Dan pengertian inilah yang secara jelas telah datang laranganya, di mana Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
فقال صلى الله عليه وسلم : (( لا تجلسوا لى القبور , و لا تصلوا إليها )) (رواه مسلم و أبو داود و النسائي).
"Janganlah kalian duduk di atas kubur tidak pula sholat menghadap ke arahnya". HR Muslim no: 62, Abu Dawud no: 71, Nasa'i no: 124.
Di dalam kitab al-Mirqaat 2/372 karya Syaikh Ali al-Qori, beliau memberikan alasan turunya larangan tersebut serya mengatakan: "Tatkala di dalam mendirikan masjid di atas kuburan tersebut mengandung pengagungan yang berlebihan, hingga sampai pada tingkat penyembahan. Maka bila pengagungan itu benar-benar di tujukan kepada kuburan atau penghuninya, maka yang melakukanya itu sudah kafir. Oleh karena itu, menyerupai perbuatan tersebut adalah makruh, dan kemakruhanya masuk dalam kategori haram. Yang masuk dalam pengertian tersebut atau bahkan lebih parah dari itu adalah jenazah yang di letakan di kiblat orang-orang sholat. Dan itulah yang pernah menimpa penduduk Makah, di mana mereka pernah meletakan seorang jenazah di sisi Ka'bah, lalu mereka menghadap ke arahnya".
Saya berkata; bahwa itu terjadi di dalam sholat fardhu. Dan musibah ini merupakan musibah yang bersifat umum yang sempat menular kenegeri Syiria, Anadhul serta yang lainnya. Dan sejak satu bulan yang lalu, kami sempat menyaksikan foto yang sangat buruk sekali di mana di gambarkan di situ ada satu barisan jama'ah sholat yang bersujud ke arah beberapa peti jenazah yang berbaris di depan mereka yang di dalamnya terdapat jenzah orang-orang Turki yang meninggal karena tenggelam di laut.
Maka pada kesempatan kali ini, kita dapat melihat bahwa kebanyakan petunjuk yang di berikan oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah sholat jenazah di luar masjid, pada tempat khusus untuk sholat jenazah. Mungkin salah satu hikmahnya adalah menjauhkan orang-orang yang sholat dari terjerumus ke dalam penyimpangan seperti itu yang telah di peringatkan oleh al-Allamah al-Qori.
Dan yang senada dengan hadits di atas adalah apa yang di riwayatkan oleh Tsabit al-Banani, dari Anas, ia berkata: "Aku pernah sholat di dekat sebuah makam, lalu Umar bin al-Khatab melihatku, maka dia pun langsung berkata: 'Itu ada kuburan'. Maka aku mengangkat pandanganku ke langit dan aku kira dia mengatakan: 'Bulan'. HR Abul Hasan ad-Dainuri dalam majelis Amali Abul Hasan al-Quzwaini 3/1.
Sedangkan pengertian yang ketiga, Imam Bukhari telah menyampaikannya, di mana beliau telah menjadikan hadits yang pertama tadi dengan mengatakan, 'Bab Maa Yukrahu Ittikhadzil masaajid 'Alal Qubur', (Bab di makruhkan membangun masjid di atas kubur).
Dengan demikian, dia telah mengisyaratkan bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid mengharuskan pada larangan membangun masjid di atasnya. Dan ini sudah sangat jelas. Hal itu sudah sangat gamblang di sampaikan oleh al-Manawi sebagaimana telah di sebutkan tadi. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan tatkala menjelaskan hadits tersebut, 'Al-Karmani mengatakan, Kandungan hadits ini adalah larangan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Sisi pendalilan dari terjemah yang di buat oleh Imam Bukhari adalah larangan mendirikan masjid di atas kuburan. Sedangkan pengertian keduanya berbeda, dan keduanya berkaitan satu sama lain, meskipun keduanya berbeda pengertian'.
Dan pengertian inilah yang telah di isyaratkan oleh Aisyah yang terkandung di dalam ucapanya pada akhir hadits yang pertama di atas; 'Kalau bukan karena takut laknat itu, niscaya kuburan beliau di tempatkan di tempat terbuka, hanya saja beliau takut kuburannya itu akan di jadikan sebagai masjid'.
Di mana ucapannya itu mempunyai pengertian, kalau bukan karena laknat yang di tujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani di sebabkan tindakan mereka menjadikan kuburan yang mengharuskan membangun masjid di atasnya, tentu kuburan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam akan di tempatkan di tempat terbuka, akan tetapi para sahabat tidak mau melakukan hal tersebut karena khawatir akan di bangun masjid di atasnya oleh sebagian orang yang datang sesudah mereka, sehingga mereka semua akan di liputi laknat.
Hal itu di perkuat oleh apa yang telah di riwayatkan oleh Ibnu Sa'ad 2/241, dengan sanad yang shahih dari al-Hasan al-Bashri, beliau berkata; 'Para sahabat bermusyawarah untuk memakamkan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam di masjid. Lalu Aisyah berkata; ' Sesungguhnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah tidur di kamarku, tiba-tiba beliau mengatakan:
قال صلى الله عليه وسلم: (( قاتل الله أقواماً اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد))
"Allah akan memerangi beberapa kaum yang menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid".
Hingga akhirnya mereka bersepakat untuk memakamkan beliau di tempat di mana beliau meninggal, yaitu di rumah Aisyah.
Maka saya katakan; 'Riwayat ini secara keseluruhan menunjukan pada dua perkara:
Pertama: Bahwa Sayyidah Aisyah memahami dari bentuk menjadikan kuburan seperti yang di sebutkan di dalam hadits tersebut mencakup juga masjid yang di masukan kubur di dalamnya, dan lebih jelas lagi adalah masjid yang di bangun di atas kuburan.
Kedua: Bahwa para sahabat menyepakati atas pemahaman yang di miliki oleh Aisyah. Oleh karena itu, mereka kembali kepada pendapatnya Aisyah sehingga mereka pun memakamkan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam di dalam rumahnya.
Hal ini menunjukan bahwasanya tidak ada perbedaan antara mendirikan masjid di atas kuburan dengan menempatkan kuburan di dalam masjid. Di mana kedua sama-sama di haramkan, karena yang di peringatkan adalah satu. Oleh karena itu, al-Hafidh al-Iraqi mengatakan; 'Kalau sekiranya ada seseorang membangun masjid dengan tujuan akan meletakan kuburan di dalamnya, maka hal tersebut sudah masuk kedalam laknat'. Bahkan haram hukumnya menguburkan jenazah di dalam masjid, meskipun dirinya telah memberi syarat tatkala membangun masjid itu agar kelak di makamkan di dalamnya, maka syarat tersebut tidak sah, karena bertentangan dengan tanah yang di wakafkannya untuk di bangun masjid. [3]
Saya katakan; Di dalam hal ini terdapat isyarat yang menunjukan bahwa masjid dan kuburan itu tidak mungkin berada dalam satu bangunan dalam agama Islam, sebagaiman telah kami sampaikan dan akan kami terangkan lebih lanjut.
Dan pengertian tersebut di perkuat oleh hadits kelima yang telah kami sebutkan di atas dengan lafazh: "Mereka itu adalah orang-orang yang apabila ada orang shalih yang meninggal di antara mereka, maka mereka akan membangun masjid di makamnya tersebut…mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah..". Hadits ini merupakan nash yang sangat jelas yang mengharamkan mendirikan masjid di atas kuburan para Nabi dan orang-orang sholeh, karena secara jelas hadits tersebut menerangkan bahwa hal itu merupakan salah satu sebab yang menjadikan mereka dalam kategori makhluk yang paling buruk di sisi Allah Ta'ala.
Hal itu di perkuat lagi dengan hadits Jabir, dia berkata:
عن جابر رضي الله عنه قال : (( نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر , وأن يقعد عليه , وأن يبنى عليه )) (رواه مسلم و الترمذي).
"Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang membangun kuburan, duduk di atasnya, serta mendirikan bangunan di atasnya". HR Muslim no: 62, at-Tirmidzi no: 155.
Dengan keumuman hadits di atas, mencakup pembangunan masjid di atas kuburan, sebagaimana juga mencakup pembangunan kubah di atasnya, bahkan hal itu lebih jelas larangannya, tanpa bisa di pungkiri.
Dengan demikian, dapat kita tetapkan bahwa pengertian ini adalah benar yang di tunjukan oleh lafadh "al-Ittikhaadz" dengan di perkuat oleh dalil-dalil yang lain. Adapun ketercakupan hadits-hadits tersebut di atas pada larangan mengerjakan sholat di masjid yang di bangun di atas kuburan, maka dalil-dalil yang menunjukan hal itu lebih jelas. Yang demikian itu karena larangan mendirikan masjid di atas kuburan menyeret larangan mengerjakan sholat di dalamnya, yang termasuk dalam kategori bahwa larangan dari mengambil wasilah mengharuskan larangan bertawasul melalui wasilah tersebut untuk sampai pada tujuannya. Contoh konkretnya adalah, apabila pembuat syari'at melarang transaksi minuman keras, maka larangan meminumnya sudah termasuk di dalamnya, yang mana larangan tersebut sesuatu yang sudah pasti dan pantas.
Yang jelas, bahwa larangan mendirikan masjid di atas kuburan bukan sebagai tujuan utamanya, sebagaimana perintah membangun masjid di perumahan maupun di pertokoan bukan sebagai tujuan satu-satunya, akan tetapi semuanya itu di maksudkan agar bisa mengerjakan sholat di dalamnya, di mana pasti ada sisi positif maupun negatifnya. Hal itu bisa di perjelas dengan contoh berikut ini, jika ada seseorang membangun masjid di tempat yang terpencil yang tidak berpenghuni dan tidak di datangi oleh seoran pun, maka orang ini tidak memperoleh pahala apapun dari pembangunan masjid tersebut. Bahkan menurut pendapat saya, dia berdosa, karena dia telah membuang-buang uang dan menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya.
Jika pembuat syari'at (Allah) telah memerintahkan agar membangun masjid, maka secara implisit, Dia juga memerintahkan untuk mengerjakan sholat di dalamnya, karena sholat adalah tujuan utama di dalam pembangunan masjid. Demikian juga apabila Allah Shubhanahu wa ta'alla melarang membangun masjid di atas kuburan maka secara implisit, Allah Shubhanahu wa ta'alla juga melarang sholat di dalamnya, karena sholat itu pula yang menjadi tujuan pembangunan masjid. Dan hal itu sudah sangat jelas dan bisa di terima oleh akal sehat, insya Allah Ta'ala.
B. Tarjih ketercakupan hadits tersebut pada semua pengertian di atas serta pendapat Imam Syafi'i mengenai hal tersebut.
Kesimpulannya, bahwa semua pendapat menyebutkan bahwa tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid yang di sebutkan di dalam hadits-hadits terdahulu mencakup ketiga pengertian di atas. Dan hal tersebut termasuk bagian Jawami'ul Kalim dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, dan hal tersebut telah di kemukakan oleh Imam Syafi'i di dalam kitabnya al-Umm 1/246, berikut nukilanya: 'Saya membenci membangun masjid di atas kuburan dan hendaknya di ratakan, atau dia sholat di atasnya sedang ia tidak bisa rata (maksudnya, di timbunan tanah yang jelas di kenal), atau sholat dengan menghadap ke arahnya". Beliau melanjutkan; 'Dan jika dia sholat dengan menghadap ke arahnya, maka sholatnya sah, akan tetapi dirinya telah berbuat kejelekan. Imam Malik pernah mengabarkan kepada kami bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sal pernah bersabda:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( قاتل الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد))
"Semoga Allah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nasrhani yang mana mereka menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid".
Kemudian Imam Syafi'i mengatakan: 'Saya membenci hal tersebut berdasarkan Sunnah dan Atsar'. Dan beliau membenci -wallahu Ta'ala a'laam- pengagungan seseorang dari kaum muslimin, yakni dengan menjadikan kuburannya sebagai masjid, sehingga di khawatirkan mendatangkan fitnah dengan kesesatan di kemudian hari.
Di dalam redaksi, ucapan beliau : hadits tersebut di jadikan sebagai dalil bagi ketiga pengertian tadi, dan itu merupakan dalil yang sangat jelas, di mana beliau memahami hadits di atas secara umum.
Begitu pula yang di lakukan oleh Syaikh Ali al-Qori yang menukil dari beberapa Imam dari penganut madzhab Hanafi, yang tertuang di dalam kitabnya Mirqaatul Mafaatiih Syarh Misykaatil Mashaabih 1/456, beliau mengatakan: 'Faktor mereka mendapat laknat adalah, baik karena mereka sujud kepada kuburan para Nabi mereka sebagai bentuk pengagungan kepadanya, dan itu merupakan perbuatan syirik yang sangat nyata, atau kemungkinan yang lain karena mereka mengerjakan sholat kepada Allah Ta'ala di pemakaman para Nabi serta sujud di kuburan mereka dengan menghadap ke makam mereka pada saat sholat. Mereka melakukan hal tersebut untuk beribadah kepada Allah Ta'ala sekaligus dalam rangka mengagungkan para Nabi secara berlebihan. Itulah jenis syirik yang terselubung, karena berkaitan dengan pengagungan makhluk yang tidak boleh di lakukan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukan hal tersebut, baik karena perbuatan tersebut menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi, maupun karena ia mengandung kesyirikan yang terselubung. Demikianlah apa yang di nyatakan oleh sebagian pensyarah dari kalangan para imam kami. Dan hal tersebut di perkuat oleh apa yang di sebutkan dalam sebuah riwayat: "Memperingatkan apa yang mereka kerjakan".
Saya berkata; Sebab pertama yang beliau sebutkan, yaitu sujud kepada kuburan para Nabi dalam rangka mengagungkan mereka, sekalipun itu tidak mustahil di lakukan orang-orang Yahudi dan Nashrani, hanya saja itu bukan yang di maksud secara jelas yang terkandung dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam: "Mereka menjadikan kuburan para Nabi sebagai masjid". Karena makna yang dzahir dalam hadits ini, mereka menjadikan makam itu sebagai masjid untuk beribadah kepada Allah Ta'ala dengan pengertian-pengertian terdahulu dalam rangka mencari berkah dengan Nabi yang di kubur di area tersebut, meskipun hal tersebut telah menyeret mereka –sebagaimana juga menyeret orang lain- untuk terjerumus ke dalam kesyirikan yang nyata, seperti yang telah di sebutkan oleh Syaikh al-Qori.
Setelah jelas bagi kita makna al-Ittikhadz (menjadikan kuburan sebagai masjid) yang di sebutkan di dalam hadits-hadits yang telah lalu, maka ada baiknya jika kita berhenti sejenak pada hadits-hadits berikut ini untuk mengetahui hukum al-ittikhadz di atas tadi, dengan berpanduan pada apa yang telah di kemukakan oleh para ulama sekitar masalah tersebut. Maka saya katakan; Setiap orang yang memperhatikan secara seksama hadits-hadits yang mulia tersebut, maka akan nampak jelas baginya, tanpa ada keraguan sama sekali bahwa membangun masjid di atas kuburan itu adalah perbuatan haram, bahkan merupakan salah satu dari perbuatan dosa besar, karena adanya laknat dari Allah Ta'ala, dan sifat yang di sandang oleh pelakunya sebagai makhluk yang paling buruk di sisi Allah Tabbaaraka wa ta'ala. Dan hal itu tidak mungkin di peroleh kecuali oleh orang yang melakukan perbuatan dosa besar.
· Pendapat para ulama mengenai hal tersebut.
Madzhab yang empat telah bersepakat akan haramnya hal tersebut. Bahkan, di antara madzhab tersebut ada yang terang-terangan menyatakan bahwa hal tersebut termasuk perbuatan dosa besar. Berikut ini uraian madzhab-madzhab yang di makdsud.
1. Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar.
Al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitsami di dalam kitabnya az-Zawaajir 'an Iqtraafil Kabaair 1/120, mengatakan; "Dosa besar itu ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan dan yang kesembilan puluh adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, memberi penerang di atasnya, menjadikan sebagai berhala, melakukan thowaf di sisinya, mengusap-usapnya serta sholat menghadap ke arahnya".
Lebih lanjut lagi, Ibnu Hajar menyitir beberapa hadits yang terdahulu serta hadits-hadits yang lainnya. Kemudian beliau mengatakan pada halaman (111):
Peringatan: Di ikut sertakan keenam hal tersebut sebagai dosa besar sempat terlontar dari ungkapan beberapa ulama dari penganut madzhab Syafi'iyah. Seakan-akan dia mengambil kesimpulan itu berdasarkan pada hadits-hadits yang telah saya sebutkan. Dan sisi menjadikan kuburan sebagai masjid termasuk bagian yang sudah sangat jelas, karena Allah Ta'ala melaknat orang yang melakukan perbuatan tersebut terhadap kuburan para Nabi mereka, dan mengkategorikan orang yang melakukan hal tersebut terhadap kuburan orang-orang sholeh di antara mereka sebagai orang yang paling buruk di sisi Allah Tabaarka wa ta'ala pada hari kiamat kelak. Maka dalam hal ini terkandung peringatan bagi kita semua seperti yang tercantum di dalam sebuah riwayat: "Beliau memperingatkan agar mereka tidak terjerumus seperti apa yang mereka perbuat". Artinya, Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan umatnya melalui sabda beliau tersebut agar tidak melakukan seperti apa yang telah di kerjakan oleh orang-orang tersebut, sehingga mereka akan mendapat laknat seperti yang mereka dapatkan. Bertolak dari hal tersebut di atas, maka sahabat-sahabat kami mengatakan: "Diharamkan sholat menghadap kuburan para Nabi dan wali dengan tujuan untuk mencari berkah sekaligus mengagungkanya. Demikian juga dengan sholat di atas kuburan yang di maksudkan untuk mendapatkan berkah serta untuk mengagung-agungkannya. Dan status hukum perbuatan ini sebagai dosa besar sudah sangat jelas dari hadits-hadits di atas".
Sedangkan penganut dari madzhab Hanbali mengemukakan: "Ada seseorang yang bermaksud sholat di kuburan dengan tujuan mencari berkah darinya dan mengesampingkan Allah Shubhanahu wa ta'alla dan Rasul -Nya, dengan membuat perkara baru dalam agama yang tidak pernah di perbolehkan oleh Allah Ta'ala. Karena adanya larangan dalam masalah ini dan juga sudah menjadi konsesus para ulama, maka sesungguhnya sesuatu yang sangat besar keharamannya dan penyebab perbuatan syirik adalah sholat di kuburan, dan menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah atau membangun masjid di atasnya. Dan pendapat yang memakruhkan, harus di tafsirkan dengan selain itu, karena tidak mungkin para ulama akan membolehkan perbuatan yang pelakunya mendapat laknat sebagaimana telah mutawatir di kabarkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Maka wajib untuk segera menghancurkan kuburannya, dan juga menghancurkan kubah-kubah yang di bangun di atasnya, karena masjdi di atas kuburan itu lebih berbahaya daripada masjid Dhirar. Sebab, masjid itu di bangun atas dasar sikap pembangkangan terhadap Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, sedang beliau sendiri juga telah melarangnya. Selain itu, beliau juga memerintahkan untuk menghancurkan kuburan yang di tinggikan. Dan wajib untuk melenyapkan penerang atau lampu yang di letakan di atas kuburan serta tidak boleh mewakafkannya dan bernadzar dengannya".
Ini semua ungkapan yang di nyatakan oleh al-Faqih Ibnu Hajar al-Haitsami yang telah di akui oleh muhaqiq al-Alusi di dalam kitabnya Ruuhul Ma'ani 5/31. Dan pernyataanya tersebut menunjukan tentang kedalaman serta kepahaman ilmu yang di ketahuinya dalam masalah agama.
Demikian juga dengan pernyataan yang di nukil dari para ulama dari penganut madzhab Hanbali: "Dan pendapat yang menyatakan hal itu adalah makruh maka di arahkan kepada selain hal tersebut". Seakan-akan pernyataanya ini mengisyaratkan pada ucapannya Imam Syafi'i, di mana beliau mengatakan: "Dan saya memakruhkan di dirikan masjid di atas kuburan..". sampai akhir ucapan beliau yang telah saya nukil secara lengkap sebelum ini.
Itu pula yang menjadi pegangan para pengikut madzhab Syafi'i, sebagaimana yang di sebutkan di dalam kitab at-Tahdzib dan syarahnya al-Majmuu'. Anehnya, dalam hal itu mereka berhujjah dengan menggunakan hadits-hadits yang telah lalu, padahal semua hadits tersebut secara nyata mengharamkan perbuatan itu dan melaknat pelakunya. Kalau seandainya kemakruhan itu bagi mereka sebagai pengharaman maka maknanya berdekatan, tetapi mengapa mereka memakruhkan itu sebagai bentuk pembolehan. Lalu, bagaimana pendapat yang memakruhkan itu dapat sejalan dengan hadits-hadits yang mereka jadikan sebagai dalil tersebut?!.
Ini saya katakan, meskipun tidak mustahil saya menganggap pada penafsiran makna makruh dengan pembolehan, akan tetapi dalam ungkapan Imam Syafi'i terdahulu secara khusus harus di tafsirkan dengan pengertian haram. Karena itulah makna syar'i yang di maksudkan dalam gaya penyampaian al-Qur'an. Dan tidak di ragukan lagi bahwa Imam Syafi'i sangat terpengaruh dengan gaya bahasa yang ada di dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, jika kita perhatikan ungkapannya pada suatu kalimat yang mempunyai pengertian khusus di dalam al-Qur'an, maka wajib membawanya pada makna tersebut, tidak di bawa kepada pengertian dalam istilah yang berlaku dan di pakai oleh para ulama mutaakhirin (belakangan). Di mana Allah Ta'ala berfirman:
قال الله تعالى :{ وَكَرَّهَ إِلَيۡكُمُ ٱلۡكُفۡرَ وَٱلۡفُسُوقَ وَٱلۡعِصۡيَانَۚ } (سورة الحجران : 7)
"Serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan". (QS al-Hujuraat: 7).
Semua yang di sampaikan dalam ayat di atas termasuk hal yang di haramkan. Dan makna inilah –wallahu a'lam- yang di maksud oleh Imam Syafi'i dengan ucapannya: "Dan saya memakruhkan (membenci)…". Hal tersebut di perkuat dengan ucapan setelahnya, di mana beliau mengatakan: "Dan jika dia mengerjakan sholat dengan menghadap kearahnya, maka sholatnya sah, akan tetapi dirinya telah melakukan perbuatan yang buruk". Ucapannya 'asaa-a' maknanya yaitu melakukan perbuatan yang buruk, yakni haram. Sebab, itulah yang di maksudkan oleh al-Qur'an di dalam kata "as-sayyiah" yang ada dalam tatanan bahasa al-Qur'an. Seperti yang terdapat dalam surat al-Israa', di mana Allah Ta'ala setelah melarang membunuh anak dan mendekati perbuatan zina serta bunuh diri dan seterusnya sebagaimana yang tercantum dalam ayat tersebut, Allah Shubhanahu wa ta'alla mengakhiri ayat tersebut dengan mengatakan:
قال الله تعالى :{ كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهٗا} ( سورة الإسراء : 38) .
"Semua itu adalah kejahatan yang amat dibenci di sisi Tuhanmu". (QS al-Israa': 38). Yakni, di haramkan.
Dan di pertegas lagi bahwa makna inilah yang di maksudkan oleh Imam Syafi'i di dalam ungkapanya tentang kata makruh yang berkaitan dengan masalah ini. Dan dalam kandungan madzhabnya di sebutkan: "Bahwa hukum asal dalam larangan adalah haram, kecuali bila ada dalil yang menunjukan kepada pengertian lain". Hal itu sebagaimana yang telah di sampaikan secara gamblang di dalam risalahnya Jimaa'ul ilmi hal: 125.Dan juga yang tercantum di dalam kitabnya ar-Risaalah hal: 343.
Seperti yang di ketahui oleh setiap orang yang telah mengkaji masalah ini dengan dalil-dalilnya, bahwasanya tidak ada dalil satu pun yang bisa mengalihkan larangan yang terkandung di dalam hadits-hadits yang terdahulu kepada makna selain haram. Bagaimana mungkin hal itu akan di artikan kepada sesuatu selain haram, sedangkan hadits-hadits tersebut secara tegas menunjukan untuk pengharaman, sebagaimana telah di jelaskan di awal. Oleh karena itu, bisa saya pastikan bahwa pengharaman mendirikan masjid di atas kuburan merupakan sebuah ketetapan yang ada di dalam madzhab asy-Syafi'i, apalagi beliau secara jelas telah menyatakan membenci setelah menyebutkan hadits: "Semoga Allah mengutuk orang-orang Yahudi dan Nashrani, karena mereka telah menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid", sebagaimana yang telah di sampaikan terdahulu. Oleh karena itu, tidak aneh apabila al-Hafizh al-Iraqi -yang mana beliau adalah seorang penganut madzhab Syafi'i- secara terang-terangan mengharamkan untuk mendirikan masjid di atas kuburan, sebagaimana telah lewat nukilannya. Wallahu a'lam.
Oleh karena itu, dapat kami katakan bahwa suatu kesalahan orang yang menisbatkan kepada Imam Syafi'i tentang pendapat yang membolehkan seorang menikahi puterinya hasil dari perzinahan dengan argumen karena Imam Syafi'i hanya memakruhkannya, dan makruh itu tidak bertentangan dengan Sesutu yang di bolehkan, apabila untuk tanzih (kebolehannya lebih kuat).
Ibnul Qoyim mengatakan di dalam kitabnya I'laamul Muwaqqi'in 1/47-48: "Imam Syafi'i menetapkan makruhnya seorang laki-laki yang menikahi puterinya hasil dari hubungan zina. Dan tidak ada sama sekali pernyataan beliau yang menyatakan mubah atau boleh. Dan yang layak serta sesuai dengan kemuliaan, keimaman, dan kedudukannya yang telah di berikan oleh Allah Ta'ala dalam perkara agama, bahwa hukum makruh yang beliau tetapkan masuk dalam pengertian haram. Dan beliau menggunakan kalimat makruh karena perkara yang haram adalah perkara yang sangat di benci oleh Allah Shubhanahu wa ta'alla dan Rasul -Nya. Di mana Allah Ta'ala mengatakan setelah menyebutkan perkara-perkara yang di haramkan, yaitu pada firmanNya:
قال الله تعالى:{وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُ ... } ( سورة الإسراء 23) .
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia…." (QS al-Israa': 23).
Sampai pada firman -Nya:
قال الله تعالى:{ وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ }(سورة الإسراء : 33)
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah untuk (membunuhnya), melainkan dengan (alasan) yang benar". (QS al-Israa': 33).
Sampai kepada firman -Nya:
قال الله تعالى : { وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ ... } ( سورة الإسراء: 36)
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..". (QS AL-Israa': 36).
Sampai ayat terakhir, kemudian Allah Ta'ala berfirman:
قال الله تعالى: { كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهٗا } ( سورة الإسراء : 38) .
"Semua itu adalah kejahatan yang amat dibenci di sisi Tuhanmu". (QS al-Israa': 38).
Dan di dalam hadits shahih di sebutkan: "Sesungguhnya Allah membenci pembicaraan yang berdasarkan katanya dan katanya, banyak bertanya, dan membuang-buang harta". Dengan demikian kaum salaf menggunakan istilah karahah (benci) dalam pengertian yang di pergunakan oleh Allah Shubhanahu wa ta'alla dalam firman -Nya dan sabda Rasul -Nya. Akan tetapi kaum mutaakhirin menggunakan kalimat itu khusus untuk pengertian makruh yang tidak mengandung pengertian haram, yang barangsiapa meninggalkannya itu lebih baik daripada orang yang mengerjakannya. Kemudian, ada di antara mereka yang membawa ungkapan para imam tadi untuk istilah yang baru, lalu mereka melakukan kesalahan yang cukup fatal dalam masalah ini. Tidak hanya kata tersebut, tetapi juga kalimat-kalimat yang lainnya yang tidak layak bagi firman Allah Shubhanahu wa ta'alla dan sabda Rasul -Nya untuk di terapkan pada istilah yang baru.
Pada kesempatan ini, perlu kami katakan: "Yang wajib di perhatikan oleh para ulama adalah berhati-hati terhadap istilah-istilah baru yang muncul belakangan pada kata-kata Arab yang mengandung makna-makna khsusus dan populer di kalangan masyarakat Arab selain istilah-istilah yang baru tersebut. Sebab, al-Qur'an itu di turunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Oleh karena itu, kosa kata dan kalimatnya harus di pahami pada batasan-batasan pemahaman yang ada pada masyarakat Arab yang kepada mereka al-Qur'an di turunkan dan tidak boleh di tafsrikan dengan menggunakan istilah-istilah baru yang bermunculan dan banyak di pergunakan oleh kalangan mutaakhirin. Jika tidak demikian, maka seorang yang menafsirkan akan terperosok ke dalam kesalahan serta mengada-ada terhadap Allah Shubhanahu wa ta'alla dan Rasul -Nya tanpa ia sadari. Dan saya telah mengambil satu contoh mengenai hal itu pada kalimat (al-Karahah)". Dan di sana ada contoh lain, yaitu kata "as-Sunnah", yang jika di tinjau secara etimologis, maka kata tersebut berarti jalan. Dan kata itu mencakup semua yang ada pada Nabi Muhammad Shalalllahu 'alaihi wa sallam, baik itu dari petunjuk maupun cahayanya, yang wajib maupun yang sunah.
Sedangkan di tinjau dari pengertian secara syari'i, maka kata tersebut khusus untuk sesuatu yang tidak wajib dari petunjuk Nabi Muhammad Shalalllahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidak di perbolehkan mengartikan kata 'as- Sunnah' yang di sebutkan di dalam beberapa hadits mulia dengan pengertian secara makna terminologis (tinjauan syar'i) ini. Misalnya, sabda Nabi Muhammad Shalalllahu 'alaihi wa sallam: "…Wajib atas kalian mengikuti sunnahku…". Dan juga sabda beliau yang lain: "…Barangsiapa yang tidak senang dengan sunahku, berarti ia bukan termasuk golonganku".
Dan yang serupa dengan itu adalah hadits yang di lontarkan oleh sebagian syaikh pada zaman ini, tentang perintah untuk berpegang pada sunnah yang di artikan dengan makna terminologi tersebut, yaitu: 'Barangsiapa yang meninggalkan sunnahku, maka ia tidak akan mendapatkan syafa'atku'. Maka dengan mengartikan seperti itu, mereka telah melakukan dua kesalahan, yaitu:
Pertama: Penisbatan hadits oleh mereka kepada Nabi uhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, yang sepengetahuan kami, hadits tersebut tidak memiliki asal muasal yang jelas.
Kedua: Penafsiran mereka terhadap sunnah dengan pengertian secara terminologi, maka itu merupakan bentuk kelalaian yang mereka lakukan terhadap pengertian-pengertian syar'i. Dan betapa banyak orang yang melakukan kesalahan dalam masalah ini yang di sebabkan oleh kelengahan seperti itu.
Oleh karena itu, perkara seperti inilah yang seringkali di ingatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qoyim rahimahumallah. Mereka memerintahkan agar dalam menafsirkan kata-kata yang mengandung makna syari'at, agar merujuk kepada bahasa, bukan tradisi. Hal itu pada hakekatnya merupakan dasar bagi apa yang mereka sebut sekarang ini dengan: ad-Diraasah at-Tariikhiyyah lil alFaazh (kajian historis terhadap kata/lafazh).
Ada baiknya kami mengisyaratkan bahwa tujuan terpenting dari Perhimpunan Bahasa Arab di Negara Kesatuan Arab yang berada di Mesir adalah membuat "Kamus Historis Bahasa Arab", serta menyebarluaskan kajian secara detail mengenai sejarah beberapa kalimat dan terjadinya perubahan yang muncul dengan menerangkan sebabnya, sebagaimana yang terdapat pada alenia kedua dari materi kedua dari undang-undang yang bernomor 434 (1955) yang secara khusus membahas tentang lembaga perhimpunan bahasa Arab (lihat majalah Majalah al-Majma', volume 8, hal: 5). Mudah-mudahan lembaga ini bisa mengemban tugasnya yang besar ini dan mengantarkannya tangan orang Arab muslim. Sebab, penduduk Makkah itu lebih mengenal masyarakatnya. Dan di katakan; Pemilik rumah itu lebih mengetahui isi rumahnya. Dengan demikian, proyek besar ini akan menyelamatkan diri dari tipu daya orientalis dan tipu daya kaum kolonialis.
2. Menurut Madzhab Hanafi, mendirikan masjid di atas kuburan adalah makruh dengan pengertian haram.
Makruh dengan pengertian syari'at ini telah di nyatakan oleh madzhab Hanafiyah, di mana Imam Muhammad, beliau adalah murid Abu Hanifah, di dalam kitabnya al-Aatsaar hal: 45, beliau mengatakan: "Kami tidak memandang perlu adanya penambahan yang ada pada kuburan. Dan kami memakruhkan menyemen, mengecat kuburan serta membangun masjid di atasnya".
Dan makruh menurut pandangan madzhab Hanafi bila lafazhnya mutlak berarti menunjukan pada pengharaman, sebagaimana yang telah populer di kalangan mereka. Dan telah di nyatakan haram dengan jelas dalam masalah ini oleh Ibnu Malik, sebagaimana akan datang penjelasanya.
3. Madzhab Maliki juga mengharamkan.
Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya 10/38, setelah menyebutkan hadits kelima di atas, beliau mengemukakan: "Ulama-ulama kami mengatakan, diharamkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan kuburan para Nabi dan ulama sebagai masjid".
4. Begitu pula Madzhab Hanbali juga mengharamkannya.
Madzhab Hanbali juga mengharamkan pembangunan masjid di atas kuburan, sebagaimana yang di sebutkan di dalam kitab Syarhul Muntahaa 1/353, dan juga kitab lainnya. Bahkan sebagian mereka menyatakan tidak sah sholat seseorang yang dilaksanakan di masjid yang di bangun di atas kuburan. Dan masih menurut pendapat mereka, wajib menghancurkan masjid tersebut. Di dalam kitab Zaadul Ma'aad 3/22, ketika penulis sedang menjelaskan fiqih dan beberapa faidah yang terkandung di dalam perang Tabuk, dan setelah menyebutkan kisah masjid Dhirar yang mana Allah Tabaraaka wa Ta'ala melarang Nabi -Nya untuk sholat di sana, dan bagaimana pula Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam menghancurkan dan membakaranya. Ibnu Qoyim mengatakan: "Di antara faidah kisah tersebut adalah pembakaran serta penghancuran tempat-tempat maksiat yang menjadi ajang pelanggaran terhadap Allah Shubhanahu wa ta'alla dan Rasul -Nya, sebagaimana Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam membakar masjid Dhirar. Beliau juga memerintahkan untuk menghancurkannya, padahal ia merupakan masjid yang menjadi tempat untuk mengerjakan sholat dan berdzikir menyebut nama Allah Shubhanahu wa ta'alla. Yang demikian itu tidak lain karena adanya masjid tersebut membahayakan dan dapat memecah belah barisan kaum mukminin, sekaligus sebagai tempat perlindungan bagi orang-orang munafik. Berdasarkan hal tersebut, maka setiap tempat yang keadaanya seperti itu, maka wajib bagi imam (penguasa) untuk melenyapkannya, baik dengan cara menghancurkan dan membakarnya maupun dengan merubah bentuknya dan mengeluarkan segala sesuatu yang di pasang di sana. Jika keadaan masjid Dhirar saja demikian, maka orang yang menyaksikan perbuatan syirik, di mana pemeliharanya mengajak untuk mengadakan tandingan-tandingan terhadap Allah Shubhanahu wa ta'alla, lebih berhak melakukan hal tersebut dan bahkan berubah menjadi wajib. Demikian juga dengan tempat-tempat kemaksiatan dan kefasikan, seperti bar, tempat minum-minuman keras, serta berbagai tempat kemungkaran. Umar bin al-Khatab pernah membakar satu desa secara keseluruhan karena menjadi distributor tempat penjualan minuman keras. Umar juga pernah membakar toko minuman Ruwaisyid ats-Tsaqafi dan menyebutnya sebagai orang yang fasik. Demikian juga Umar pernah membakar pintu istana Sa'ad di karenakan rakyat tidak bisa memantau serta mengetahui aktivitas yang ada di dalam istana. Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam juga pernah berkeinginan untuk membakar rumah orang-orang yang tidak mau menghadiri sholat jama'ah serta sholat jum'at. Hanya saja beliau tidak jadi melakukannya karena tertahan oleh kaum wanita dan anak-anak yang tidak wajib mengerjakan sholat jum'at dan jama'ah, yang ada di dalam rumah-rumah tersebut, sebagaimana yang beliau kabarkan mengenai hal tersebut.
Selain itu, wakaf juga tidak sah jika untuk sesuatu yang tidak baik dan tidak di maksudkan untuk perkara yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla, sebagaimana juga tidak sah wakaf masjid seperti ini. Berdasarkan hal tersebut, maka masjid yang di bangun di atas kuburan harus di hancurkan, sebagaimana juga jenazah yang di makamkan di dalam masjid itu harus di keluarkan. Hal itu semua telah di nashkan oleh Imam Ahmad dan selain beliau. Dengan demikian, masjid dan kuburan itu dalam agama Islam tidak boleh di satukan. Bahkan jika salah satu dari keduanya sudah ada terlebih dahulu, maka yang lainnya harus di cegah. Dan hukum yang berlaku adalah bagi yang lebih dulu ada. Jika keduanya di tempatkan secara berbarengan, maka hal tersebut tidak boleh. Wakaf seperti tidak sah dan tidak di perbolehkan, serta tidak sah sholatnya seseorang yang dilaksanakan di dalam masjid tersebut, berdasarkan pada larangan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam terhadap hal tersebut dan laknat beliau terhadap bagi orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid, atau memberi lampu penerang padanya. Dan inilah agama Islam yang dengannya Allah Shubhanahu wa ta'alla mengutus Rasul sekaligus Nabi -Nya, dan menjadikannya asing di tengah-tengah umat manusia, seperti yang anda saksikan".
Dari apa yang kami nukil dari ucapan para ulama, nampak jelas bahwa empat madzhab yang ada telah menyepakati kandungan yang ada di dalam hadits-hadits terdahulu, yaitu pengharaman mendirikan masjid di atas kuburan. Dan kesepakatan para ulama mengenai hal itu telah di nukil oleh orang yang paling mengetahui pendapat mereka, juga letak kesepakatan dan perbedaan mereka, yaitu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, di mana beliau pernah di bertanya: "Sahkah sholat di masjid yang di dalamnya terdapat makam, sedangkan orang-orang biasa berkumpul di dalam masjid tersebut untuk menunaikan sholat jama'ah dan shalat jum'at? Haruskah makam itu di ratakan atau di beri penutup atau dinding?
Beliau menjawab: "Alhamdulillah, para Imam telah bersepakat bahwasanya tidak boleh mendirikan masjid di atas kuburan, karena Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إن من كان قبلكم كانوا يتخذون القبور مساجد ,ألا فلا تتخذوا القبور مساجد , فإني أنهاكم عن ذلك )).
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan sebagai masjid. Ketahuilah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, karena sesungguhnya aku melarang kalian melakukan hal tersebut".
Dan bahwasannya tidak boleh menguburkan jenazah di dalam masjid, dan jika masjid itu sudah ada sebelum kuburan, maka makam tersebut harus dipindahkan, baik dengan cara meratakan makam atau dengan membongkar makam tersebut jika baru di kubur. Dan bila masjid tersebut di bangun setelah adanya kuburan, maka ada dua kemungkinan, pertama bisa dengan memindahkan masjid atau yang kedua dengan menghilangkan kuburannya. Dengan demikian, masjid yang di dirikan di atas kuburan tidak di pergunakan untuk melaksanakan sholat fardhu maupun sunnah, karena hal itu memang telah di larang". Demikian yang di sebutkan oleh beliau di dalam kitabnya al-Fatawa 1/107 dan 2/192.
Dan Daarul Iftaa' di Mesir juga telah mengadopsi fatwanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini. Daarul Iftaa' ini menukil fatwa tersebut ke dalam fatwa yang di keluarkan yang isinya tidak membolehkan adanya kuburan di dalam masjid. Bagi yang ingin membacanya, silahkan merujuk kemajalah al-Azhar jilid 12, hal: 501-503.
Dan di dalam kitab al-Ikhtiyaaraat al-Ilmiyyah hal: 52, Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Dan di haramkan memberi lampu penerang di atas makam, mendirikan masjid di atasnya atau di tengah-tengahnya. Dan menghilangkanya adalah fardhu 'ain. Saya tidak melihat adanya perbedaan pendapat mengenai hal tersebut di kalangan para ulama ternama".
Ibnu Urwah al-Hanbali menukil hal tersebut di dalam kitabnya al-Kawaakibud Darari 2/244/1 dan beliau mengakuinya.
Dengan demikian kami berpendapat, bahwa para ulama secara keseluruhan sependapat mengenai apa yang telah di tunjukan oleh hadits-hadits tentang pengharaman pembangunan masjid di atas kuburan.
Oleh karena itu, kami mengingatkan orang-orang mukmin agar menjauhi yang melakukan hal tersebut serta agar mereka keluar dari jalan tersebut, supaya tidak termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman Allah Ta'ala, seperti yang ada dalam firman -Nya:
قال الله تعالى :{ وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا } ( سورة النساء 115) .
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali". (QS an-Nisaa': 115).
Dan juga firman -Nya:
قال الله تعالى :{ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكۡرَىٰ لِمَن كَانَ لَهُۥ قَلۡبٌ أَوۡ أَلۡقَى ٱلسَّمۡعَ وَهُوَ شَهِيد } (سورة ق : 37) .
"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya". (QS Qaaf: 37).
Ada orang yang mengatakan: "Jika memang ketetapan yang ada berdasarkan syari'at memutuskan haramnya mendirikan masjid di atas kuburan, maka di sana ada banyak hal yang menunjukan tentang adanya perbedaan dengan hal tersebut, berikut ini penjelasannya:
1. Firman Allah Ta'ala di dalam surat al-Kahfi:
قال الله تعالى :{ قَالَ ٱلَّذِينَ غَلَبُواْ عَلَىٰٓ أَمۡرِهِمۡ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيۡهِم مَّسۡجِدٗا } (سورة الكهف 21) .
"Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (QS al-Kahfi: 21).
Sisi pendalilan dari ayat di atas, bahwa ayat ini menunjukan kalau orang-orang yang menyampaikan ungkapan tersebut adalah orang-orang Nashrani sebagaimana yang di sebutkan dalam kitab-kitab tafsir, sehingga kalau demikian adanya, membangun sebuah tempat ibadah di atas kuburan merupakan bagian dari syari'at mereka. Sedangkan di katakan; 'Syari'at orang-orang sebelum kita adalah syari'at kita bila Allah Ta'ala hanya sekedar menerangkannya tanpa di lanjutkan dengan perkara yang menunjukan penolakan', seperti yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini.
2. Keberadaan makam Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam di Masjid Nabawi. Kalau seandainya perkara tersebut tidak di bolehkan tentu para sahabat tidak akan menguburkan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam di dalam masjidnya.
3. Sholatnya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam di masjid al-Khaif, padahal di dalam masjid tersebut, seperti yang beliau sabdakan terdapat makam tujuh puluh orang Nabi.
4. Seperti yang telah di sebutkan oleh sebagian kitab, kalau makam Isma'il serta makam lainnya terdapat di area Hijir Isma'il di Masjidil Haram, padahal ia merupakan masjid yang paling mulia yang di anjurkan seseorang untuk sholat di dalamnya.
5. Pembangunan masjid yang di lakukan oleh Abu Jandal radhiyallahu 'anhu di atas makam Abu Bashir pada masa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang di sebutkan oleh Ibnu 'Abdil Barr di dalam kitab al-Istii'aab.
6. Sebagian orang mengira bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid itu disebabkan adanya kekhawatiran kalau orang-orang akan terfitnah dengan orang yang ada di dalam kuburan tersebut. Kemudian tatkala kekhawatiran tersebut sirna dengan tertanamnya nilai tauhid ke dalam hati kaum mukminin, maka hilang pula larangan tersebut.
Lalu, bagaimana mungkin bisa mengkompromikan beberapa hal di atas dengan ketetapan yang mengharamkan mendirikan masjid di atas kuburan.
Maka untuk menjawab hal tersebut dengan memohon pertolongan kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla saya katakan:
1. Jawaban atas Syubhat pertama
Mengenai syubhat pertama ini, dapat di jawab dari tiga sisi:
a. Bahwa yang benar yang ada di dalam ilmu Ushul bahwa syari'at orang-orang sebelum kita tidak menjadi syari'at kita. Hal ini berdasarkan dalil-dalil yang cukup banyak, di antaranya adalah sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( أعطيت خمساً لم يعطهن أحداً من الأنبياء قبلي (فذكرها , وآخرها) وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة , وبعثت إلى الناس كافة )) (رواه البخاري ومسلم ).
"Aku di beri lima perkara yang tidak pernah di berikan pada seorang Nabi sebelumku… (kemudian beliau menyebutkannya, dan yang terakhir di sebutkan) dan dulu Nabi di utus hanya khusus kepada umatnya, sedangkan aku di utus kepada umat manusia secara keseluruhan". HR Bukhari dan Muslim.
Sehingga apabila hal ini telah jelas, maka bukan suatu keharusan bagi kita untuk berpegang pada kandungan yang ada di dalam ayat di atas tadi, sekalipun ayat tersebut menunjukan akan di bolehkannya membangun tempat ibadah di atas kuburan, karena hal itu merupakan syari'atnya orang-orang sebelum kita.
b. Taruhlah bahwa yang benar ada pada pendapat orang yang mengatakan; 'Syari'at orang-orang sebelum kita merupakan syari'at kita'. Namun hal itu di syaratkan oleh para ulama kalau hal tersebut tidak bertentangan dengan syari'at yang ada pada syari'at kita. Sedangkan di sini syarat tersebut tidak di jumpai, karena hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan membangun masjid di atas kuburan telah sampai pada derajat mutawatir, sebagaimana telah lewat penjelasannya. Hal itu merupakan dalil yang menunjukan bahwa apa yang ada di dalam ayat ini bukan termasuk bagian dari syari'at kita.
c. Sedangkan kita tidak bisa menerima kalau di katakan bahwa ayat di atas memberi faidah bahwa perbuatan membangun tempat ibadah di atas kuburan meruapakan syari'at orang-orang sebelum kita dengan hujjah karena sejumlah orang mengatakan:
قال الله تعالى :{ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيۡهِم مَّسۡجِدٗا } (سورة الكهف: 21)
"Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (QS al-Kahfi: 21).
Tidak ada di dalam ayat ini pernyataan secara jelas bahwa orang-orang yang melakukannya adalah orang-orang yang beriman. Di dalam ayat tersebut sama sekali tidak ada isyarat yang menunjukan kalau mereka adalah orang-orang mukmin yang sholeh yang mereka berpegang teguh pada syari'at Nabi yang di utus, bahkan yang nampak justru kebalikan dari itu semua.
Al-Hafizh Ibnu Rajab, di dalam kitabnya Fathul Baari fii Syarh al-Bukhari 65/280, dari kitab al-Kawaakibud Daraari dalam menjelaskan hadits; "Allah melaknat orang-orang Yahudi yang menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah", beliau mengatakan: "Dan al-Qur'an telah menunjukan seperti apa yang ada di dalam hadits ini, yaitu yang ada pada firman Allah Tabaraaka wa ta'ala tentang kisahnya ash-haabul Kahfi:
قال الله تعالى :{ قَالَ ٱلَّذِينَ غَلَبُواْ عَلَىٰٓ أَمۡرِهِمۡ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيۡهِم مَّسۡجِدٗا } (سورة الكهف 21) .
"Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya". (QS al-Kahfi: 21).
Allah Shubhanahu wa ta'alla telah mengkategorikan tindakan menjadikan kuburan sebagai masjid merupakan perbuatan orang-orang yang sedang berkuasa sehingga mampu mengendalikan urusan. Dan ini menunjukan bahwa yang menjadi sandaran perbuatannya adalah pemaksaan, kekuasaan serta ketundukan kepada hawa nafsu. Bukan merupakan perbuatan ulama yang mendapat pertolongan Allah Shubhanahu wa ta'alla, di mana Allah Shubhanahu wa ta'alla telah menurunkan beberapa petunjuk kepada para Rasul -Nya".
Di dalam kitab Mukhtashar al-Kawaakib 10/207/2, di mana penulis mengikuti pendapatnya al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam Tafsirnya 3/78, Syaikh Ali bin Urwah mengatakan: "Mengenai orang-orang yang berpendapat demikian, Ibnu Jaris menceritakan ada dua pendapat:
Pertama: Mereka adalah orang-orang muslim yang ada di antara mereka.
Kedua: Mereka adalah orang-orang musyrik yang ada di kalangan mereka.
Wallahu a'lam, namun yang nampak bahwa orang-orang yang mengatakan demikian adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan dan pengaruh, akan tetapi yang menjadi pertanyaan apakah mereka itu orang-orang yang terpuji atau tidak? Masih terdapat silang pendapat dalam masalah ini, karena Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد ))
"Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mana mereka menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid".
Beliau memperingatkan apa yang telah mereka kerjakan itu. Dan telah kami riwayatkan dari Umar bin al-Khatab bahwa tatkala beliau menemukan kuburan Danial pada masa pemerintahanya di Irak, beliau memerintahkan agar di sembunyikan dari mata orang-orang. Dan agar catatan yang di temukan di sisinya supaya di pendam, yang di dalamnya terdapat berita tentang perang besar dan lain sebagainya".
Maka jika demikian adanya, tidak di benarkan berhujjah dengan ayat tersebut dari sisi manapun. Al-Allamah al-Muhaqiq al-Alusi di dalam kitabnya Ruuhul Ma'aani 5/31 mengatakan: "Ayat tersebut di gunakan sebagai dalil akan bolehnya membangun masjid di atas kuburan serta sholat di dalamnya. Dan di antara orang yang berhujjah dengan hal tersebut adalah asy-Syihab al-Khafaji di dalam hasyiyahnya atas tafsir al-Baidhawi. Sedangkan itu adalah pendapat yang bathil dan menyimpang, merusak dan tidak bermutu, sesungguhnya telah di riwayatkan….".
Kemudian beliau menyebutkan beberapa hadits yang terdahulu, lalu beliau menyertai dengan ungkapan al-Haitami di dalam kitab az-Zawaajir, dengan memberikan pengakuan terhadapnya. Dan saya telah menukil pernyataan beliau di halaman sebelum ini, kemudian darinya beliau menukil di dalam kitabnya Syarhul Minhaaj yang bunyinya sebagai berikut: "Ada sebagian orang yang memfatwakan untuk menghancurkan setiap kuburan yang di bangun di Mesir, sampai-sampai kubah makam Imam Syafi'i yang di bangun oleh beberapa raja. Seharusnya, bagi setiap orang untuk menghancurkannya selagi tidak di khawatirkan timbul kerusakan dari hal tersebut, sehingga menjadi keharusan untuk menghilangkan kubah di atas makam Imam Syafi'i tersebut, berdasarkan pada ucapannya Ibnu Rif'ah di dalam kitabnya ash-Shulh".
Lebih lanjut, Imam al-Alusi mengatakan: "Tidak benar kalau di katakan bahwa ayat tersebut secara jelas menunjukan penyebutan syari'at orang-orang sebelum kita dan dapat di jadikan sebagai dalil untuk itu. Sebab, telah di riwayatkan bahwa Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: "Barangsiapa tertidur tidak sholat atau karena lupa…".
Kemudian beliau membacakan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى :{ وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ } (سورة طه : 14) .
"Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku". (QS Thaaha: 14).
Ayat ini di tujukan kepada Nabi Musa Alaihi sallam, dan di sebutkan oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai dalil. Dan Abu Yusuf berhujjah ketika membolehkan di berlakukannya qishash antara laki-laki dengan perempuan dengan menggunakan ayat:
قال الله تعالى :{ وَكَتَبۡنَا عَلَيۡهِمۡ ..... } (سورة المائدة : 45) .
"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka…..". (QS al-Maaidah: 45).
Demikian juga al-Karkhi di dalam membolehkan pemberlakuan qishash antara orang merdeka dengan budak, dan antara seorang muslim dengan kafir dzimmi dengan menggunakan ayat yang membahas tentang Bani Israa'il dan yang lainnya. Sehingga kami katakan; 'Bahwa pendapat kami mengenai syari'at orang-orang sebelum kita, jika memang mengharuskan bahwa ia juga menjadi syari'at kita, namun hal itu tidak secara mutlak, tetapi hal itu jika Allah Ta'ala menerangkan kepada kita tanpa adanya bentuk pengingkaran. Dan pengingkaran Rasul -Nya sama seperti pengingkaran Allah Ta'ala.
Saya juga pernah mendengar Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah melaknat orang-orang yang mendirikan masjid di atas kuburan, sehingga berdasarkan hadits ini maka syari'at sebelum kita yang di sebutkan tadi menjadi terlarang. Bagaimana mungkin di katakan kalau mendirikan masjid di atas kuburan itu merupakan bagian dari syari'at-syari'at umat terdahulu, bersamaan dengan apa yang saya dengar tentang pelaknatan terhadap orang-orang Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid. Sedangkan ayat di atas tidak sama seperti ayat-ayat yang di jadikan sebagai hujjah oleh para imam yang telah kami sebutkan di atas tadi. Ayat tersebut tidak lebih dari sekedar menceritakan pendapat dan keinginan dari sekelompok orang yang ingin melakukan perbuatan tersebut yaitu mendirikan masjid di atas kuburan, yang mana ayat tersebut tidak ada sisi pujian serta anjuran untuk mengikuti perbuatan mereka. Oleh karena itu, selama belum jelas benar ada indikasi yang tegas. Yang menunjukan bahwa mereka telah melakukan hal itu, maka hal itu tidak bisa di jadikan sebagai dalil, terlebih hanya sekedar keinginan kuat saja atas apa yang akan mereka lakukan.
Dan yang lebih menguatkan kurang bisa di percaya terhadap perbuatan mereka adalah pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu adalah para pemimpin serta penguasa, sebagaimana yang di riwayatkan dari Abu Qotadah.
Orang yang mengatakan seperti ini hendaknya mengatakan: "Sesungguhnya kelompok pertama, mereka itu adalah orang-orang mukmin yang mengetahui tentang tidak disyari'atkanya mendirikan masjid di atas kuburan. Kemudian mereka mengusulkan agar mendirikan bangunan di atas pintu gua dan penutupnya sehingga tidak perlu mengusik para penghuninya, akan tetapi para pemimpin tidak mau menerima usulan tersebut. Bahkan usulan itu membuat mereka marah sehingga mereka bersumpah untuk menjadikanya sebagai masjid".
Taruhlah anda tidak mau menerima penafsiran ini kecuali hanya berbaik sangka terhadap kelompok kedua, maka anda bisa mengatakan: "Pembangunan masjid yang mereka dirikan di atas makam itu tidak sama modelnya dengan pembangunan masjid di atas kuburan yang terlarang yang pelakunya di laknat. Tetapi, pembangunan masjid tersebut berada di sisi mereka dan dekat dengan gua mereka. Karena telah di riwayatkan secara jelas dengan lafazh 'inda (disisi) seperti yang di ceritakan tentang kisah ini dari as-Suddi dan Wahb. Dan pembangunan masjid seperti ini tidak di larang, karena tujuan dari itu adalah penisbatan masjid tersebut pada gua di mana mereka di kuburkan, hal itu seperti penisbatan masjid Nabawi pada Marqad al-Mu'zham (makam Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam). Dengan demikian, ucapan mereka: "Sesungguhnya kami akan mendirikan di atasnya", adalah seperti bentuk ucapan sekelompok orang yang mengatakan: "Dirikanlah sebuah bangunan di atas mereka".
Jika mau, anda bisa mengatakan: "Bahwa pendirian masjid tersebut terjadi di atas gua, di atas gunung, di mana gua itu berada. Mengenai penafsiran seperti ini terdapat riwayat dari Mujahid bahwa sang raja membiarkan mereka di gua dan membangun di atas nya sebuah masjid. Demikianlah penafsiran yang paling dekat dengan makna dhohir yang ada pada lafazh itu, seperti yang sudah tidak asing lagi. Semuanya itu adalah pendapat yang menyatakan bahwa ash-haabul Kahfi itu meninggal setelah mereka di temukan. Sedangkan bagi pendapat yang mengatakan bahwa mereka itu tidur seperti tidur yang pertama, maka tidak perlu lagi di perbincangkan".
Maka kesimpulannya, bahwa tidak saptutnya bagi orang yang masih memiliki sedikit saja akal sehat untuk berpaling lalu berpendapat yang bertentangan dengan apa yang telah di sampaikan oleh hadits-hadits yang shahih serta atsar-atsar yang jelas, dengan tetap menggunakan ayat di atas sebagai alasan. Karena sikap seperti itu merupakan kesesatan yang jauh serta menunjukan kebodohan. Dan saya pernah menyaksikan orang yang membolehkan apa yang di lakukan oleh orang-orang bodoh terhadap kuburan orang-orang sholeh dengan mendirikan bangunan di atasnya (kijing.pent), sambil menggantungkan lampu di atas nya, sholat menghadap ke arahnya, berjalan mengelilinginya, dan mengusap-usap makam serta berkumpul di sana pada waktu-waktu tertentu, serta aktivitas lainnya berdasar kan dalil dengan ayat mulia di atas tadi, juga berdasarkan beberapa riwayat yang menceritakan kisah ini, yaitu tindakan raja yang membuatkan hari raya untuk mereka pada setiap tahunnya, membuatkan untuk mereka peti dari kayu sambil mengkiaskan sebagian perbuatan mereka dengan sebagian yang lainnya. Semua itu adalah tindakan yang menentang Allah Shubanahu wa ta'alla dan Rasul -Nya dan perbuatan bid'ah dalam agama yang tidak pernah di izinkan oleh Allah Azza wa jalla.
Dan cukup bagi anda bila ingin mengetahui yang benar dengan memperhatikan apa yang di lakukan oleh para Sahabat Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam terhadap kuburan beliau, yang merupakan makam paling mulia di muka bumi ini. Serta mengikuti tindakan mereka dalam etika berziarah ke makam beliau dan tatkala memberi salam kepadanya. Selanjutnya, amati dan renungkan apa yang mereka lakukan di sini dan sana. Mudah-mudahan Allah Shubanahu wa ta'alla Yang Maha Suci memberikan hidayah kepada anda.
Saya katakan; 'Ada sebagaian ulama kontemporer yang menggunakan ayat di atas sebagai dalil untuk membolehkan apa yang mereka perbuat, bahkan sebagai dalil akan di anjurkanya membangun masjid di atas kuburan, namun dari sisi lain, ada pelaku bid'ah yang melakukan perubahan pada beberapa hal, sebagaimana kisahnya telah di sebutkan sebelumnya, dia mengatakan: "Sisi pendalilan dari ayat tersebut adalah pengakuan Allah Ta'ala terhadap apa yang mereka katakan, tanpa adanya bentuk pengingkaran dari -Nya atas perbuatan mereka yang mereka lakukan itu".
Saya nyatakan pendalilan semacam ini gugur dan tidak benar sama sekali, di tinjau dari dua sisi:
Pertama: Bahwasannya tidak benar menganggap tidak adanya penolakan serta pengakuan atas perbuatan mereka tersebut, melainkan apabila telah di sepakati bahwa mereka itu benar-benar orang muslim yang sholeh, yang berpegang teguh terhadap syari'at Nabinya. Padahal pada ayat tersebut tidak ada indikasi sedikit pun yang menunjukkan hal itu, bahkan yang ada sebaliknya. Karena tafsiran itulah yang lebih dekat, bahwa mereka adalah orang-orang kafir atau orang-orang jahat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam nukilannya dari ucapan Ibnu Rajab, Ibnu Katsir serta yang lainnya. Pada saat itu, tidak adanya bentuk pengingkaran terhadap mereka itu tidak bisa di anggap sebagai bentuk persetujuan, tetapi justru sebagai bentuk pengingkaran. Sebab, semata-mata mengkisahkan ucapan orang-orang kafir dan jahat sudah cukup sebagai bentuk penolakan atas perbuatan mereka dengan menisbatkan ucapan tersebut kepada mereka. Dengan demikian, sikap diam atas mereka tidak bisa di anggap sebagai bentuk persetujuan. Alasan ini di perkuat lagi dengan alasan yang kedua berikut ini:
Kedua: Bahwa cara pengambilan dalil seperti itu adalah termasuk metode para pengekor hawa nafsu baik dari kalangan orang-orang terdahulu maupun sekarang. Yaitu orang-orang yang hanya mencukupkan diri dengan berpegang pada al-Qur'an saja dalam menjalankan agama tanpa mau melirik untuk berpegang kepada as-Sunnah. Adapun kalangan Ahlus Sunnah wal Hadits yang mengimani dua wahyu, maka mereka membenarkan sabda Nabi Muhammmad Shalallahu 'alaihi wa sallam di dalam hadits shahih yang cukup populer:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه ))
"Ketahuilah, sesungguhnya aku telah di beri al-Qur'an dan yang semisalnya yaitu as-Sunnah bersamanya".
Dan dalam sebuah riwayat disebutkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( ألا إن ما حرم رسول الله مثل ما حرم الله ))
"Ketahuilah, bahwa yang diharamkan oleh Rasulallah Shalallahu'alaihi wa sallam itu sama seperti apa yang diharamkan oleh Allah Shubanahu wa ta'alla ".
Maka penggunaan dalil seperti itu menurut persangkaan mereka yang menyangka termasuk dari kalangan ahli hadits, merupakan kebathilan yang sangat nyata, karena pengingkaran yang mereka nafikan terdapat di dalam sunnah yang mutawatir, sebagaimana yang telah di sebutkan di awal. Aneh sekali apa yang mereka katakan: "Sesungguhnya Allah Shubanahu wa ta'alla telah menyetujui mereka tanpa ada pengingkaran atas perbuatan mereka", padahal Allah Azza wa jalla telah melaknat mereka melalui lisan Nabi -Nya. Adalah penolakan yang lebih jelas dan lebih nyata dari ini?!
Perumpanan orang yang menggunakan dalil dari ayat yang bertentangan dengan hadits-hadits yang telah lewat tidak lain adalah seperti orang yang menggunakan dalil untuk membolehkan membikin patung dan berhala dengan menggunakan firman Allah Ta'ala mengenai jin yang tunduk kepada Nabi Sulaiman 'Alaihi sallam:
قال الله تعالى :{ يَعۡمَلُونَ لَهُۥ مَا يَشَآءُ مِن مَّحَٰرِيبَ وَتَمَٰثِيلَ وَجِفَانٖ كَٱلۡجَوَابِ وَقُدُورٖ رَّاسِيَٰتٍۚ } (سورة سبأ : 13) .
"Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendaki -Nya dari gedung-gedung yang Tinggi dan patung-patung dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungku)". (QS Saba': 13).
Dia berdalil dengan ayat ini untuk membolehkan sesuatu yang bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang mengharamkan patung-patung dan gambar-gambar. Hal itu tidak akan pernah di lakukan oleh seorang muslim yang masih beriman kepada hadits Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Dengan demikian, maka berakhir sudah perbincangan tentang syubhat pertama, yaitu syubhat tentang penggunaan dalil dari ayat yang ada di dalam surat al-Kahfi dengan jawabannya.
2. Jawaban atas syubhat kedua.
Adapun syubhat kedua adalah pernyataan yang mengatakan bahwa makam Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam berada di dalam masjidnya, sebagaimana yang ada sekarang ini. Kalau seandainya hal itu haram, niscaya beliau tidak di kubur di dalam masjidnya.
Jawaban atas syubhat ini, kita katakan; 'Bahwa walau demikian, meskipun seperti apa yang kita saksikan sekarang, namun pada masa Sahabat, keadaannya tidak demikian. Sebab, ketika Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam meninggal, para sahabat mengubur beliau di dalam kamarnya yang terletak tepat di samping masjidnya, yang mana antara masjid dan rumahnya terpisah oleh dinding yang berpintu. Dari pintu tersebut beliau biasa keluar menuju masjid. Dan perkara ini sudah sangat terkenal dan sesuatu yang jelas menurut para ulama, yang mana tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal itu. Dan para Sahabat tatkala menguburkan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam di kamar beliau, tidak lain bertujuan agar tidak ada seorang pun sepeninggal beliau yang akan menjadikan makamnya sebagai masjid, sebagaimana telah lewat penjelasannya di dalam hadits Aisyah serta hadits lainnya.
Akan tetapi yang terjadi, dan itu di luar perkiraan mereka, dimana al-Walid bin Abdul Malik, yaitu pada tahun 88 Hijriyah memerintahkan supaya masjid Nabawi di pugar dan menambahkan kamar isteri-isteri Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pada bangunan masjid. Maka di masukanlah kamar Nabi, yang juga kamarnya Aisyah ke dalam bangunan masjid, sehingga pada akhirnya makam beliau berada di dalam masjid.
Dan di Madinah pada kala itu tidak terdapat seorang Sahabat pun, berbeda dengan pernyataan sebagian orang yang masih meragukannya. Di dalam kitab ash-Shaarimul Manki hal: 136, al-'Allamah al-Hafizh Muhammad bin Abdul Hadi mengatakan: "Dimasukannya makam Nabi ke dalam masjid pada masa kekhalifahan al-Walid bin Abdul Malik, berlangsung setelah meninggalnya seluruh Sahabat Nabi yang ada di Madinah, dan Sahabat yang terakhir meninggal di kota Madinah adalah Jabir bin Abdillah, yang mana beliau meninggal pada tahun 78 Hijriyah. Sedangkan al-Walid menjadi khalifah pada tahun 86 dan meninggal pada tahun 96 Hijriyah. Adapun renovasi bangunan masjid serta penggabungan kamar Nabi ke dalam masjid itu terjadi di antara tahun-tahun tersebut".
Abu Zaid Umar bin Syabah an-Numairi di dalam kitabnya Akhbaarul Madinah, beliau menceritakan tentang Madinah kota Rasulallah Shalallah 'alaihi wa sallam, dari para gurunya, dari orang-orang yang menyampaikan hadits darinya, bahwa Umar bin Abdul Aziz tatkala menjabat sebagai wakil al-Walid di kota Madinah pada tahun 91 Hijriyah, beliau menghancurkan masjid lalu membangunnya kembali dengan batu yang berukir, dengan atap dari kayu serta lapisan emas. Beliau juga menghancurkan kamar-kamar para isteri Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, lalu memasukan kamar-kamar tersebut ke dalam masjid, di antaranya juga kamar yang ada makam Rasulallah Shalallahu 'alaih wa sallam.
Dari uraian di atas, maka nampak jelas bahwa makam yang mulia itu di masukan kedalam masjid Nabawi tatkala tidak ada seorang pun Sahabat yang masih hidup di Madinah. Dan perbuatan memasukan makam ke dalam masjid bertentangan dengan tujuan mereka pada saat mereka mengubur beliau di dalam kamarnya. Dengan demikian, maka tidak boleh bagi seorang muslim setelah mengetahui kebenaran ini, berhujjah dengan peristiwa yang terjadi setelah zamannya sahabat, karena hal itu bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih serta pemahaman para Sahabat dan para imam terhadap hadits-hadits tersebut, sebagaimana telah lewat penjelasannya. Perbuatan itu juga bertentangan dengan apa yang di lakukan oleh Umar dan Utsman pada saat keduanya melakukan perluasan masjid di mana keduanya tidak memasukan makam Nabi ke dalamnya.
Oleh karena itu, secara pasti kami berani menyalahkan apa yang di lakukan oleh al-Walid bin Abdul Malik, semoga Allah Shubanahu wa ta'alla mengampuninya. Kalau memang dirinya terpaksa harus melakukan perluasan masjid, hendaknya ia berusaha semaksimal mungkin untuk memperluasnya dari sisi-sisi lain tanpa harus mengusik kamar Nabi yang mulia. Dan Umar telah mengisyaratkan kesalahan semacam ini tatakala beliau melakukan perluasan masjid dari sisi lain tanpa mengusik kamar Nabi, bahkan beliau mengatakan: "Tidak ada alasan untuk merubah posisi kamar". Lalu beliau mengisyaratkan pada bahaya yang mengancam akibat penghancuran dan penggabungannya ke dalam masjid.
Sekalipun perbuatan mereka bertentangan secara nyata dengan hadits-hadits terdahulu dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin, namun mereka pada saat memasukan makam Nabi ke dalam masjid, mereka cukup berhati-hati dan berusaha sebisa mungkin meminimalisir pertentangan yang mereka dapat lakukan.
Berkata Imam Nawawi di dalam kitabnya Syarh Muslim 5/14: "Para Sahabat dan Tabi'in membutuhkan perluasan masjid Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam manakala jumlah kaum muslimin semakin bertambah banyak. Perluasan tersebut sampai memasukan rumah isteri-isteri Nabi ke dalam masjid, di antaranya adalah kamar Aisyah, yang merupakan makam Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan dua orang sahabatnya, Abu Bakar dan Umar. Maka, mereka membangun dinding yang tinggi yang mengelilingi makam tersebut agar makam itu tidak tampak dari dalam masjid".
Kemudian orang-orang awam mengerjakan sholat dengan menghadap kesana sehingga menyeret kepada perkara yang di larang. Lalu para Sahabat membangun dua dinding dari dua sudut makam sebelah utara, lalu membelokannya sehingga keduanya bertemu. Dengan demikian, tidak memungkin bagi seseorang untuk bisa menghadap ke makam.
Al-Hafizh Ibnu Rajab di dalam kitabnya al-Fath juga menukil hal senada dari al-Qurthubi, sebagaimana di dalam kitab al-Kawaakibud Daraari 65/91/1. sedangkan di dalam kitab al-Jawaabul Baahir 9/2, Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Pada saat kamar Aisyah di masukan ke dalam masjid, pintunya ditutup, dan di atasnya di bangun dinding lain, sebagai upaya melindungi rumah Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam agar tidak sampai di jadikan tempat perayaan dan agar makamnya tidak di jadikan sebagai berhala" .
Saya katakan; 'Dan sayangnya, di atas bangunan ini telah di bangun kubah hijau yang cukup tinggi sejak beberapa abad yang lalu –jika belum di hilangkan-, dan makam yang mulia itu telah di kelilingi dengan jendela-jendela yang terbuat dari tembaga, berhiaskan kain, serta yang lainnya, yang sebenarnya tidak di ridhoi oleh penghuni kubur itu sendiri, yaitu Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam.
Bahkan, ketika saya mengunjungi Masjid Nabawi yang mulia pada tahun 1368 H, saya melihat di bagian bawah dinding makam sebelah utara terdapat mihrab kecil yang di belakangnya ada tempat duduk yang lebih tinggi sedikit dari lantai masjid, sebagai petunjuk bahwa tempat tersebut merupakan tempat khsusus untuk sholat di belakang makam. Sungguh ketika itu saya merasa heran, bagaimana mungkin fenomena berhalaisme seperti ini masih saja ada, bahkan di negara yang menjunjung tinggi panji tauhid sekalipun'.
Saya katakan hal ini, tanpa mengurangi pengakuan bahwa saya tidak melihat seorang pun yang mendatangi tempat tersebut untuk sholat di sana, di karenakan ketatnya penjagaan oleh aparat yang di tugasi untuk mencegah orang-orang yang kiranya akan mengerjakan perkara-perkara yang bertentangan dengan syari'at di dekat makam yang mulia tersebut. Dan itu merupakan kebijakan yang patut di syukuri dari negara Saudi. Akan tetapi, saya kira hal itu tidak cukup dan belum memadai. Sejak tahun yang lalu, saya telah mengemukakan di dalam buku saya Ahkaamul Janaa-iz wa Bida'uha hal: 208; 'Yang wajib di lakukan sekarang adalah mengembalikan Masjid Nabawi seperti semula pada masa-masanya, yaitu dengan memisahkan antaran bangunan masjid dan makam Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan tembok, yang membentang dari arah utara ke selatan, di mana orang yang masuk masjid tidak melihat perkara yang bertentangan dengan syari'at yang justru tidak di ridhoi oleh pendirinya, Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Saya merasa sangat yakin, bahwa tugas tersebut merupakan kewajiban negara Saudi, jika memang benar-benar ingin menjaga kemurnian tauhid dari negara tersebut. Dan baru-baru ini kami mendengar, bahwa pemerintah Saudi berencana akan memugar serta memperluas masjid Nabawi, semoga wacana kami ini menjadi perhatian, sehingga pihak terkait hanya menambahkan bangunan masjid dari sisi barat serta yang lainnya. Dan hal itu akan menutupi kekurangan yang mungkin akan menimpa perluasan masjid bila usulan tersebut di terapkan. Saya berharap semoga Allah Shubanahu wa ta'alla merealisasikan hal tersebut melalui negara itu dan siapa lagi kalau bukan pemerintah Suadi?". Akan tetapi masjid tersebut sudah dalam proses perluasan sejak dua tahun yang lalu tanpa adanya usaha untuk mengembalikan bangunan seperti pada masa Sahabat. Wallahu musta'an.
3. Jawaban atas Syubhat ketiga.
Adapun syubhat ketiga, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mengerjakan sholat di masjid al-Khaif, dan telah di sebutkan dalam sebuah hadits bahwa di dalam masjid tersebut terdapat makam 70 orang Nabi.
Jawaban atas syubhat tersebut, kami katakan; 'Kita tidak pernah meragukan sholatnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam di masjid tersebut, hanya saja kami perlu menegaskan; "Pernyataan yang menyebutkan bahwa di dalam masjid tersebut telah di makamkan 70 Nabi, maka hal itu tidak ada dasarnya sama sekali di lihat dari dua sisi, yaitu:
Pertama: Kami tidak bisa menerima keshahihan hadits yang di isyaratkan di atas, karena hadits tersebut tidak di riwayatkan oleh seorang pun yang mempunyai perhatian besar terhadap pencatatan hadits shahih, dan tidak pernah di shahihkan oleh seorang pun dari kalangan ulama yang tsiqoh di dalam mentashih dari kalangan para imam yang terkemuka, serta tidak juga kritik hadits yang membantu penshahihannya. Bahkan, di dalam sanad hadits terdapat perawi yang meriwayatkan hadits-hadits gharib, dan itu di antara perkara yang menjadikan hati tidak tenang akan keshahihan hadits yang ia riwayatkan secara sendirian.
Ath-Thabari di dalam kitabnya al-Mu'jamul Kabiir 3/204/2, mengatakan: "Telah mengkhabarkan kepada kami Abdaan bin Ahmad, beliau mengatakan telah menceritakan kepada kami Isa bin Syadzan, ia mengatakan telah mengabarkan kepada kami Abu Hammam ad-Dallal, ia mengatakan telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Thomhaan, dari Manshur dari Mujahid dari Ibnu Umar secara marfu'; "Di masjid al-Khaif itu terdapat makam 70 orang Nabi".
Hal senada juga di sebutkan oleh al-Haitsami di dalam kitabnya al-Majma' 3/298 dengan lafazh: "….kuburan 70 orang Nabi". Beliau mengatakan: "Di riwayatkan oleh al-Bazaar dan rijalnya tsiqoh".
Kesimpulan ini menunjukan kurang telitinya beliau di dalam mentakhrij. Sebab, seperti yang anda ketahui, hadits ini juga di riwayatkan oleh ath-Thabrani.
Saya katakan; 'Rijal yang ada di ath-Thabrani juga tsiqoh selain Abdaan bin Ahmad, beliau adalah al-Ahwazi, sebagaimana yang telah di sebutkan oleh ath-Thabrani di dalam al-Mu'jamus Shagir hal: 136. Namun saya tidak menemukan biografinya. Dia bukanlah Abdaan bin Muhammad al-Marwazi, yang merupakan salah seorang syaikhnya ath-Thabrani juga di dalam kitab al-Mu'jamus Shagir hal: 136, dan yang lainnya, beliau adalah tsiqoh dan hafizh. Biografinya bisa di dapati di dalam kitab Taariikh Baghdad 11/135, dan kitab Tadzkiratul Hufafazh 2/230, serta kitab lainnya.
Akan tetapi, pada rijal hadits ini terdapat seorang perawi yang sering meriwayatkan hadits-hadits gharib, seperti Isa bin Syadzan, mengenai dirinya, berkata Ibnu Hibban di dalam kitabnya ats-Tsiqaat: "Ia meriwayatkan hadits ghorib". Adapun mengenai Ibrahim bin Thomhan, berkata Ibnu Ammar al-Mushilli: "Dia itu haditsnya dhoif dan mudhtharib (goncang)".
Begitulah Ibnu Ammar menghukuminya secara mutlak, meskipun pernyataannya ini harus di bantah, tetapi setidak-tidaknya, menunjukan bahwa di dalam hadits Ibnu Thomhan terdapat sesuatu yang cacat. Hal itu di perkuat oleh ungkapan Ibnu Hibban di dalam kitabnya Tsiqaatu Atbaa'it Taabi'in 2/10: "Masalahnya menjadi samar. Dia termasuk dalam kelompok perawi tsiqoot dan dari satu sisi dia juga termasuk dalam kelompok perawi yang adh-dhu'faa (orang-orang yang lemah). Dan di samping itu, dia telah meriwayatkan beberapa hadits lurus yang menyerupai hadits-hadits shahih. Juga pernah meriwayatkan secara sendirian dari perawi-perawi tsiqoot riwayat-riwayat yang mu'dahl, yang insya Allah akan kami sebutkan di dalam kitab al-Fashlu baina an-Naqalah, kalau Allah Shubanahu wa ta'alla menghendaki. Begitu juga kami akan menyebutkan seagala sesuatu yang pada saat sekarang kami bersikap tawaquf (tidak memberi komentar apapun) terhadap perawi yang terlibat di dalam kelompok ats-Tsiqoot".
Oleh karena itu, di dalam kitab at-Taqriib karya Ibnu Hajar, beliau mengatakan: "Tsiqoh tapi meriwayatkan hadits gharib".
Sedangkan syaikhnya, Manshur, beliau adalah Ibnul Mu'tamar, seorang perawi yang tsiqoh. Di mana Ibnu Thomhan pernah meriwayatkan hadits lain darinya di dalam kitab Masyikah 244/2. Dengan demikian, hadits tersebut merupakan bagian dari hadits-hadits gharibnya atau dari hadits-hadits gharib Ibnu Syadzan".
Saya khawatir hadits tersebut di simpangkan oleh salah satu dari keduanya, di mana di mengatakan : "قبر " (di makamkan), sebagai ganti dari lafazh: "صلى " (mengerjakan sholat), karena lafazh terakhir inilah yang populer di dalam hadits. Dan telah di riwayatkan ole hath-Thabrani dalam kitabnya al-Kabiir 3/1551, dengan sanad yang rijalnya tsiqoh dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu Abbas secara marfu': "Di dalam masjid al-Khaif pernah sholat 70 orang Nabi…". Al-Hadits.
Demikian pula di riwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitabnya al-Ausath 1/119/2 Zawaa-id nya, dan al-Maqdisi, darinya di dalam kitab al-Mukhtarah 249/2, al-Mukhlis di dalam kitab ats-Tsalits minas Saadis minal Mukhllishiyyaat 70/1, dan Abu Muhammad bin Syaiban al-Adl di dalam kitabnya al-Fawaaid 2/222/2, al-mundziri mengatakan 2/116: "Di riwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam kitabnya al-Ausath dan sanadnya hasan".
Mengenai status hasan hadits tersebut menurut saya tidak perlu di ragukan lagi, karena saya telah menemukan jalan lain hadits tersebut dari Ibnu Abbas. Dan telah di riwayatkan oleh al-Azraqi dalam kitabnya Akhbaaru Makkah hal: 35, dari Ibnu Abbas sercara mauquf. Dan sanad ini bisa di jadikan sebagai syahid, sebagaimana yang telah saya jelaskan di dalam kitab besar saya Hajjatul Wadaa' (belum diselesaikan).
Kemudian, di riwayatkan oleh al-Azraqi hal: 38 melalui jalan Muhammad bin Ishaq, dia mengatakan: "Telah menceritakan kepadaku orang yang tidak aku ragukan lagi kejujurannya", dari Abdullah bin Abbas secara mauquf. Dan inilah yang terkenal di dalam hadits ini. Wallahu a'lam.
Sehingga kesimpulannya, bahwa hadits ini adalah dha'if, dan bagi seseorang yang merasa tidak tenang atas putusan tersebut. Anggaplah hadits ini shahih, maka jawabannya berikut ini:
Kedua: Di dalam hadits tersebut tidak ada kalimat yang menyebutkan bahwa makam tersebut secara nyata terlihat di masjid al-Khaif. Di dalam kitab Taarikh Makkah hal: 406-410, al-Azraqi telah membuat beberapa fasal dalam mensifati masjid al-Khaif, tetapi beliau tidak menyebutkan bahwa di dalam masjid terlihat makam yang tampak jelas. Sebagaimana telah di ketahui, bahwa syari'at menetapkan suatu hukum berdasarkan sesuatu yang dhohir. Oleh karena itu, apabila di dalam masjid tersebut tidak terbukti adanya makam yang jelas, maka tidak mengapa mengerjakan sholat di dalamnya karena tidak ada larangannya. Karena makam tersebut tertanam dan tidak di ketahui oleh seorang pun. Dan kalau bukan karena hadits yang telah di ketahui kelemahannya, maka tidak akan terbesit sedikitpun di dalam hati seseorang kalau di tanah masjid tersebut terdapat 70 buah makam. Sehingga di dalam masjid tersebut tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti yang biasa terjadi di masjid-masjid yang di bangun di atas makam yang nampak jelas dan di tonjolkan.
4. Jawaban atas syubhat keempat.
Adapun mengenai apa yang telah di sebutkan oleh sebagian kitab yang menyebutkan bahwa makam Isma'il Alaihi sallam dan juga makam selain beliau terdapat di area Hijir Ismail di dalam komplek Masjidil Haram, yang merupakan masjid paling mulia yang ada di muka bumi ini, yang di anjurkan untuk sholat di dalamnya.
Kita katakan atas jawaban syubhat tersebut; "Tidak diragukan lagi bahwa Masjidil Haram merupakan masjid yang paling mulia, yang sholat di dalamnya sama dengan seratus ribu sholat (di masjid lain). Akan tetapi keutamaan ini bersifat asli sejak di bangun pondasinya oleh Nabi Ibrahim dan puteranya Isma'il. Artinya, keutamaan tersebut tidak muncul dengan sebab di makamkannya Isma'il di masjid itu, itu pun kalau benar berita yang menyatakan bahwa Isma'il di makamkan di sana. Barangsiapa yang menyangka kebalikan dari hal itu, maka dirinya telah tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh, dan telah menyatakan sesuatu yang tidak pernah di katakan oleh seorang pun dari kaum Salafus Sholeh, tidak pula di barengi dengan hadits shahih yang bisa menguatkan hujjahnya.
Jika ada yang mengatakan: "Apa yang anda katakan itu memang benar, tidak diragukan lagi. Dan di makamkannya Isma'il di sana tidak bertentangan dengan hal itu, akan tetapi bukankah hal ini menunjukan minimalnya tidak di makruhkan sholat di masjid yang di dalamnya terdapat makam?".
Pertanyaan ini bisa kita jawab; "Tidak, sama sekali tidak. Berikut penjelasannya di tinjau dari beberapa sisi:
Pertama: Bahwasannya tidak ada hadits shahih yang marfu' yang menyebutkan bahwa Imas'il serta Nabi-Nabi yang lain di makamkan di Masjidil Haram. Dan tidak ada satu riwayatpun tentang itu yang di sebutkan di dalam salah satu kitab dari kitab-kitab Sunnah yang dapat di jadikan sandaran, seperti Kutubus Sittah, Musnad Ahmad, tiga buah Mu'jam ath-Thabrani, serta kitab-kitab lainnya yang sudah terkenal. Sehingga ini merupakan tanda yang paling jelas yang menunjukan bahwa hadits tersebut adalah dha'if, bahkan maudhu, menurut pendapatnya para muhaqiq (peneliti).
Sekiranya adapun hanya berkisar pada riwayat dari atsar-atsar yang mu'dhal, dengan sanad-sanad yang dha'if dan mauquf (hanya sampai kepada Sahabat), seperti yang di sebutkan oleh al-Azraqi di dalam kitabnya Akhbaaru Makkah hal: 39, 219, dan 220. Sehingga tidak perlu di hiraukan lagi, meskipun dipaparkan oleh beberapa pelaku bid'ah dengan ulasan yang nampaknya bisa di terima tanpa cacat.
Yang senada dengan hal itu adalah apa yang di sebutkan oleh Suyuthi di dalam kitabnya al-Jami' yang termasuk dari riwayatnya al-Hakim di dalam kitabnya al-Kunaa dari Aisyah secara marfu, dengan lafadh: "Sesungguhnya makam Isma'il itu berada di Hijir Isma'il di samping Ka'bah".
Kedua: Bahwa makam yang di sangka keberadaannya berada di Masjidil Haram itu sama sekali tidak nampak dan tidak terlihat. Oleh karenanya, makam tersebut tidak di jadikan sebagai tujuan utama selain Allah Ta'ala, sehingga keberadaanya di dalam tanah masjid tersebut tidak berbahaya. Pada akhirnya tidak di benarkan berdalil dengan atsar-atsar tersebut untuk membolehkan mendirikan masjid di atas kuburan yang nampak jelas, dan tinggi di permukaan bumi, karena adanya perbedaan antara kedua kasus tersebut. Dan jawaban seperti itu pula yang di berikan oleh Syaikh al-Qori, di mana di dalam kitabnya Mirqaatul Mafaatih 1/456, setelah menyebutkan pendapatnya para ahli tafsir, yang telah di sampaikan dalam catatan saya, beliau mengatakan: "Yang lain menyebutkan bahwa makam Isma'il itu berada di Hijir di bawah talang pancuran hujan. Dan bahwasannya di dalam Hathin (tembok yang melingkar seperti cincin di sebelah Ka'bah), antara Hajar Aswad dan air Zamzam terdapat kuburan 70 orang Nabi".
Beliau melanjutkan: "Di dalam atsar ini, bahwa bentuk makam Isma'il dan juga yang lainya sama sekali tidak tampak bekasnya, sehingga pada akhirnya tidak bisa di jadikan sebagai hujjah".
Maka ini merupakan jawaban dari seorang alim yang sangat piawai dan ahli fiqih yang hebat. Di dalam ucapanny terkandung isyarat yang menunjukan pada apa yang telah kami sebutkan di awal tadi, yaitu bahwa yang menjadi patokan dalam masalah ini adalah makam yang nampak jelas, sedangkan makam yang tertanam di dalam tanah serta tidak nampak jelas, maka tidak ada kaitannya dengan hukum syari'at dari sisi dhohir, bahkan syari'at berlepas diri dari hukum semacam itu, karena secara mudah dan melalui pandangan mata secara langsung, kita bisa mengetahui bahwa tanah itu secara keseluruhan adalah makam bagi orang-orang yang masih hidup, sebagaimana yang di firmankan oleh Allah Ta'ala:
قال الله تعالى:{ أَلَمۡ نَجۡعَلِ ٱلۡأَرۡضَ كِفَاتًا ٢٥ أَحۡيَآءٗ وَأَمۡوَٰتٗا ٢٦ } (سورة المرسلات : 25- 26) .
"Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul. Orang-orang yang masih hidup dan orang-orang mati". (QS al-Mursalaat: 25-26).
Asy-Sya'bi mengatakan: "Perut bumi itu bagi orang-orang yang sudah mati di antara kalian adapun permukaannya bagi di peruntukan bagi orang-orang yang masih hidup di antara kalian".
Di antaranya juga ucapan seorang penyair:
Duhai sahabatku, inilah kuburan kita yang memenuhi permukaan bumi
Lalu manakah kuburan umat-umat semenjak zaman 'Aad?
Ringankanlah langkahmu, karena aku yakin bahwa
Perut bumi ini telah penuh dengan jasad-jasad mereka
Jalanlah di udara perlahan-lahan jikalau engkau mampu!
Jangan congkak berjalan di atas tulang belulang manusia
Merupakan perkara yang sangat jelas jika suatu makam bila tidak nampak jelas maka sudah barang tentu tidak terlihat tempatnya, sehingga tidak akan menimbulkan penyimpangan yang merusak sebagaimana yang terlihat jelas, di mana anda bisa melihat bahwa adanya berbagai macam berhala serta kemusyrikan itu biasanya terjadi di kuburan yang nampak jelas, bahkan meskipun makam tersebut palsu sekalipun. Berbeda dengan makam yang tidak nampak jelas, meskipun makam tersebut memang benar-benar ada. Sehingga dengan demikian, termasuk hikmah adalah di tuntut adanya perbedaan antara kedua macam makam di atas. Dan itulah yang telah di jelaskan oleh syari'at, seperti yang telah kamu kemukakan sebelumnya. Jadi, kesimpulannya tidak di perbolehkan menyamakan keduanya. Wallahul musta'an.
5. Jawaban atas syubhat yang kelima.
Adapun mengenai pembangunan masjid yang di lakukan oleh Abu Jandal di atas kuburannya Abu Bashir pada masa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, pada hakekatnya syubhat yang berbeda dengan cerita aslinya. Kalau bukan karena para pengekor hawa nafsu dari kalangan para ulama kontemporer yang bersandar pada cerita ini untuk menolak hadits-hadits muhkam, maka saya enggan untuk bersusah payah menulis berlembar-lembar guna memberikan jawaban atas syubhat tersebut, dan menjelaskan ketidakbenarannya. Perbincangan mengenai hal ini bisa di lihat dari dua sisi:
Pertama: Menolak kebenaran bangunan yang di klaim tersebut sebagai wujud yang nyata, karena dia tidak memiliki sandaran yang bisa di jadikan sebagai hujjah. Tidak pula perkara tersebut di riwayatkan oleh para penulis kitab Shahih dan juga Sunan serta Musnad, dan kitab-kitab lainnya. Hanya saja Ibnu Abdil Barr menyebutkan di dalam biografinya Abu Bashir di dalam kitabnya al-Istii'aab 4/21-23 secara mursal, beliau mengatakan: "Dia memiliki kisah-kisah aneh dalam peperangan. Seperti di sebutkan oleh Ibnu Ishaq dan selain beliau. Dan pernyataan tersebut di riwayatkan oleh Ma'mar dari Ibnu Syihab. Demikian juga di sebutkan oleh Abdurrazaq dari Ma'mar dari Ibnu Syihab mengenai kisah yang di maksud yaitu pada saat terjadi pernjanjian Hudaibiyyah. Beliau mengatakan: 'Kemudian Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pulang, lalu beliau di datangi oleh Abu Bashir, seseorang dari kaum Quraisy yang sudah masuk Islam. Kemudian kaum Quraisy mengutus dua orang untuk mencarinya, kedua orang tersebut berkata kepada Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam; "Perjanjian yang terjadi di antara kita adalah engkau harus menyerahkan kembali setiap orang yang datang kepadamu dan menyatakan dirinya sebagai muslim".
Maka Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam menyerahkan Abu Bashir kepada kedua orang utusan tersebut. Selanjutnya, kedua utusan itu pergi sampai ketika keduanya di Dzul Hulaifah, mereka singgah dan memakan kurma bekal mereka. Kemudian Abu Bashir berkata kepada salah seorang dari kedua utusan tersebut; "Demi Allah, aku melihat pedangmu ini benar-benar bagus, wahai fulan'. Kemudian salah seorangnya menghunuskan pedangnya tersebut seraya berkata; "Benar. Demi Allah, pedang ini benar-benar bagus. Dan saya sudah pernah mencobanya dan ingin mencobanya lagi". Abu Bashir pun berkata kepadanya: 'Kalau begitu, coba perlihatkan kepada saya, aku ingin melihat kehebatannya'. Mendengar permohonannya, orang itupun lantas memberikannya. Maka, Abu Bashir langsung memenggal kepala orang tersebut, sedangkan temannya yang satu lagi melarikan diri sampai ke Madinah. Selanjutnya dia masuk masjid, tatkala Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam melihatnya, beliau berkata kepadanya: "Orang ini terlihat panik". Setelah sampai kepada Nabi orang tersebut langsung berkata: 'Demi Allah, Abu Bashir telah membunuh temanku, dan aku juga akan di bunuh".
Abu Bashir pun datang seraya berkata: "Wahai Rasulallah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah menolongmu memenuhi janjimu. Engkau telah mengembalikan diriku kepada mereka, lalu Allah Shubhanahu wa ta'alla menyelamatkan diriku dari mereka". Lalu Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Celaka ibunya, kamu telah mengobarkan peperangan meskipun bersamanya ada seseorang". Tatkala mendengar hal itu Abu Bashir mengetahui bahwa dia akan di kembalikan kepada mereka. Kemudian dia pun pergi hingga sampai mendatangi Saiful Bahr. Dia melanjutkan kisahnya: "Lalu Abu Jandal Ibnu Suhail bin 'Amr melarikan diri dari mereka sehingga bertemu dengan Abu Bashir...". Dan Musa bin Uqbah menyampaikan berita tentang Abu Bashir ini dengan lafadh yang lengkap dan redaksi yang sempurna".
Beliau bercerita: "…Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam menulis surat kepada Abu Jandal dan Abu Bashir agar keduanya menghadap beliau bersama dengan orang-orang muslim yang ada bersama mereka berdua. Kemudian, surat Rasulallah Shalalallahu 'alihi wa sallam itu di sampaikan kepada Abu Jandal sedangkan Abu Bashir meninggal dunia. Dia meninggal tatkala surat Rasulallah Shalalallahu 'alihi wa sallam sedang di baca dan masih berada di tangannya. Kemudian Abu Jandal menguburkannya di tempatnya, mensholatinya, lalu ia membangun sebuah masjid di atas makamnya tersebut".
Saya berkata; 'Anda dapat mengetahui bahwa poros kisah ini berkisar pada az-Zuhri, sehingga derajatnya adalah mursal dengan anggapan bahwa beliau itu termasuk salah seorang tabi'in kecil yang mendengar dari Anas bin Malik'.
Sehingga jika benar demikian, maka itu adalah khabar yang mu'dhal (terputus). Bagaimana pun, atsar tersebut tidak bisa di jadikan sebagai hujjah dengan anggapan bahwa yang menjadi penguat dari hadits tersebut adalah ucapannya:
(( وبنى على قبره مسجداً ))
"Dan dia membangun sebuah masjid di atas makamnya".
Di dalam riwayat Ibnu Abdil Barr tidak nampak jelas bahwa atsar itu berasal dari mursal az-Zuhri, dan tidak juga dari riwayat Abdurrazzaq dari Ma'mar, tetapi ia berasal dari riwayat Musa bin Uqbah, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibnu Abdil Barr. Dan Ibnu Uqbah itu sama sekali tidak pernah mendengar dari seorang sahabat pun. Dan tambahan lafadh ini, maksudnya ucapan: "Dan dia membangun sebuah masjid di atas makamnya", Adalah Mu'dhal".
Bahkan menurut saya, riwayat tersebut munkar, karena kisah itu telah diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitab Shahihnya 5/351-371, dan juga Ahmad di dalam Musnadnya 4/328-331, yang bersambung melalui jalan Abdurrazzaq, dari Ma'mar, dia mengatakan: 'Telah mengabarkan kepadaku Urwah bin az-Zubai, dari al-Miswar bin Mukhrimah dan Marwan", tanpa penambahan ini.
Demikian juga yang di sebutkan oleh Ibnu Ishaq di dalam kitabnya as-Siirah, dari az-Zuhri secara mursal sebagaimana yang di sebutkan di dalam kitab Mukhtasar as-Sirah oleh Ibnu Hisyam 3/331-339. Dan diriwayatkan juga secara bersambung oleh imam Ahmad 4/323-326, melalui jalan Ibnu Ishaq dari az-Zuhri dari Urwah, seperti riwayat Ma'mar, dan dia menyempurnakannya, serta di dalamnya tidak terdapat tambahan tersebut.
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitabnya Taarikh 3/271-285, melalui jalan Ma'mar, Ibnu Ishaq, dan yang lainnya dari az-Zuhri tanpa ada penambahan tersebut. Semuanya itu menunjukan bahwa tambahan itu merupakan sisipan yang tidak bisa di terima sama sekali, karena sanadnya terputus dan tidak ada perawi tsiqah yang meriwayatkannya. Wallahul Muwaffiq.
Kedua: Taruhlah riwayat tersebut shahih, maka hal itu tidak boleh bertentangan dengan hadits-hadits yang secara jelas mengharamkan membangun masjid di atas kuburan, dengan dua alasan:
1. Di dalam kisah tersebut tidak di sebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam mengetahuinya serta menyetujuinya.
2. Kalau boleh kita umpamakan bahwa Beliau mengetahui hal itu dan menyetujuinya, maka hal tersebut harus di pahami bahwa yang demikian itu terjadi sebelum adanya pengharaman. Sebab, hadits-hadits yang ada secara jelas menyebutkan bahwa Nabi mengharamkan hal tersebut di akhir hayatnya, sebagaimana yang telah di sebutkan diatas. Berdasarkan hal tersebut, maka nash yang terakhir tidak boleh di tinggalkan demi nash yang pertama –dengan mengedepankan yang shahih- saat terjadi pertentangan. Dan hal itu sudah sangat jelas bukan rahasia lagi. Kami memohon kepada Allah Ta'ala agar Dia melindungi kita semua dari tindakan mengikuti hawa nafsu.
6. Jawaban atas syubhat yang keenam.
Yaitu sangkaan yang mengklaim bahwa larangan tersebut karena adanya suatu alasan, yaitu kekhawatiran munculnya fitnah oleh penghuni kubur. Maka jika alasan tersebut tidak ada, maka larangan tersebut juga ikut hilang.
Saya tidak mengetahui ada seorang pun ulama yang berpegang pada pendapat ini, kecuali pengarang buku Ihyaa-ul Maqbuur, di mana penulis berpegang teguh dengan pendapat tersebut dan menjadikannya sebagai senjata untuk menolak hadits-hadits yang terdahulu serta menolak kesepakatan para ulama atas hadits-hadits tersebut.
Di dalam tulisannya tersebut hal: 18-19, penulis mengemukakan: "Adapun larangan membangun masjid di atas kuburan, maka para ulama telah menyepakati dalilnya dengan dua alasan:
Pertama: Jika dengan pembangunan tersebut akan mengakibatkan masjid menjadi najis.
Kedua: Dan ini adalah pendapatnya mayoritas, bahkan seluruh ulama, termasuk orang yang mengatakan alasan yang pertama, bahwa hal tersebut akan mengakibatkan pada kesesatan serta akan menjadikan manusia terfitnah dengan penghuni kubur. Sebab, jika makam tersebut terletak di masjid, sedang kuburan itu adalah makamnya wali yang dikenal dengan kebaikannya, maka tidak menutup kemungkinan dengan perjalanan waktu yang cukup panjang akan menambah keyakinan (yang sesat) orang-orang bodoh terhadapnya. Selain itu, pengagungan mereka yang dilakukan secara berlebihan akan mengantarkan pada keinginan untuk sholat menghadap kearah makam tersebut, jika makam itu terletak di arah kiblat masjid, hingga pada akhirnya hal tersebut akan mengakibatkan mereka terperosok ke dalam kekufuran dan kemusyrikan".
Kemudian penulis menyebutkan sedikit nukilan mengenai alasan terdahulu dari beberapa kalangan ulama, di antaranya adalah Imam asy-Syafi'i. Dan ucapan beliau telah di sampaikan di halaman sebelumnya. Selanjutnya penulis di hal: 20-21 mengatakan: "Dengan demikian, alasan itu menjadi hilang dengan sendirinya, dengan sebab telah tertanamnya iman ke dalam diri orang-orang mukmin, dan telah tumbuhnya mereka di atas tauhid yang murni dan aqidah yang bersih dari menyekutukan Allah Ta'ala. Bahwasannya Allah Maha Suci, Rabb yang telah menciptakan dan mengadakan serta mengurusi makhluk -Nya sendirian. Dengan hilangnya alasan tersebut, maka hilang pula konsekwensi hukum yang berkaitan dengannya, yaitu di makruhkannya membangun masjid dan kubah di atas makam para wali dan orang-orang sholeh".
Saya katakan; 'Untuk menjawab pernyataan tersebut, kita katakan padanya; "Kuatkan dahulu istananya baru kemudian hiasilah dengan ukiran!".
Pastikan dulu bahwa kekhawatiran yang disebutkan tadi merupakan satu-satunya alasan pelarangan. Setelah itu baru pastikan bahwa kekhawatiran tersebut telah hilang. Dan tanpa adanya kepastian itu, maka gugurlah alasan tersebut.
Adapun yang pertama, tidak ada dalil yang secara mutlak menyebutkan bahwa alasan itu hanya terbatas pada kekhawatiran saja. Memang mungkin sekali untuk di katakan bahwa kekhawatiran itu merupakan bagian dari alasan. Akan tetapi bila di nyatakan bahwa itu merupakan satu-satunya alasan, maka itu tidak benar. Sebab, ada kemungkinan untuk di tambah alasan yang lainnya, yang lebih rasional, misalnya perbuatan tersebut menyerupai orang-orang Nashrani, sebagaimana yang telah di sampaikan sebelumnya, menukil dari pernyataannya ahli Fiqih, al-Haitsami dan ulama Muhaqiqi, ash-Shan'ani. Dan alasan lain, misalnya hal itu adalah tindakan menghambur-hamburkan harta yang tidak ada manfaatnya menurut kaca mata syari'at, dan alasan-alasan yang lainnya yang bisa di dapatkan oleh seorang peneliti yang kritis.
Adapun klaim yang menyatakan bahwa alasan larangan tersebut telah hilang dengan tertanamnya iman di dalam dada orang-orang mukmin…..dan seterusnya, maka hal itu merupakan pernyataan yang salah. Berikut penjelasannya di lihat dari beberapa sisi:
Sisi pertama: Pengakuan tersebut di dasari dengan prinsip yang keliru, yaitu iman bahwa Allah Shubhanahu wa ta'alla itu Mahaesa dalam menciptakan serta mengadakan ciptaan -Nya sudah cukup untuk merealisasikan keimanannya yang akan menyelamatkan dari siksa di sisi Allah Ta'ala. Padahal tidak demikian. Sebab, tauhid ini di kenal oleh para ulama sebagai tauhid Rububiyah, yang telah di akui juga oleh orang-orang musyrik, yang mana Allah Shubhanahu wa ta'alla mengutus kepada mereka Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang tertera jelas di dalam firman -Nya:
قال الله تعالى:{ وَلَئِن سَأَلۡتَهُم مَّنۡ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضَ لَيَقُولُنَّ ٱللَّهُۚ } (سورة لقمان : 25) .
"Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". (QS Luqman: 25).
Dengan demikian, tauhid tersebut tidak mempunyai makna apapun di sisi mereka, karena mereka sebenarnya telah ingkar terhadap tauhid Uluhiyyah dan Ibadah. Di samping itu juga mereka telah mengingkari apa yang ada pada diri Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam melalui ucapannya mereka, orang-orang musyrik, seperti yang di ceritakan oleh Allah Ta'ala:
قال الله تعالى :{ أَجَعَلَ ٱلۡأٓلِهَةَ إِلَٰهٗا وَٰحِدًاۖ إِنَّ هَٰذَا لَشَيۡءٌ عُجَاب } (سورة ص : 5) .
"Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu Ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan". (QS Shaad: 5).
Di antara konsekwensi tauhid yang mereka ingkari adalah tidak mau memohon pertolongan dan bantuan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta'alla, tidak berdo'a dan menyembelih binatang kepada selain Allah Shubhanahu wa ta'alla, serta ibadah-ibadah lainnya yang memang harus di tujukan kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla Yang Maha Tinggi. Oleh karenanya, yang menjadikan bentuk ibadah-ibadah tersebut kepada selain Allah Shubhanahu wa ta'alla Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi, berarti dirinya telah berbuat syirik, dengan menyekutukan -Nya serta mengadakan sekutu bagi -Nya meskipun mereka mengakui tauhid Rububiyyah. Sebab, iman yang akan menyelamatkan adalah keimanan yang menyatukan antara tauhid Rububiyyah dan tauhid Uluhiyyah serta meng -Esakan Allah Shubhanahu wa ta'alla semata dalam perkara tersebut. Dan hal ini telah di jelaskan secara gamblang di luar pembahasan ini.
Bila anda sudah bisa memahami hal tersebut, maka anda akan mengetahui bahwa keimanan yang benar bukanlah iman yang menghujam di dalam jiwa kebanyakan orang-orang mukmin yang berupa tauhid Rububiyyah saja. Dan saya tidak ingin terlalu jauh memberikan contoh kepada para pembaca yang budiman. Saya cukupkan di sini, dengan menukil apa yang telah di sebutkan oleh penulis kitab Ihyaa-ul Maqbuur yang sedang kita bahas. Di mana beberapa baris setelah ucapannya di atas, dia mengatakan pada hal: 21-22; "Dan kami melihat mereka itu, yakni orang awam, mereka bersumpah dengan menyebut para wali dan berbicara tentang mereka yang bentuk lahiriyahnya merupakan jenis kekufuran yang sangat nyata, bahkan tidak diragukan lagi, kalau hal tersebut adalah bentuk kekufuran yang sesungguhnya. Di mana banyak dari kalangan orang awam yang bodoh di Maroko berbicara tentang Syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang pada hakikatnya mengandung kekufuran yang nyata….Di masyarakat kami di Maroko, ada orang yang membicarakan pemimpin besar, Maulana Abdussalam bin Masyisy seraya menyebutkan bahwa dia yang menciptakan agama dan dunia. Dan di antara mereka juga, ada yang mengatakan sementara hujan sedang turun dengan derasnya; 'Wahai Maulana Abdussalam, bersikap lembutlah kepada hamba-hambamu'. Maka ini semua adalah benar-benar kekufuran!..".
Saya katakan bahwa kekufuran seperti ini lebih parah daripada kekufuran yang di lakukan oleh orang-orang musyrik. Sebab, kekufuran seperti ini mengandung pernyataan syirik secara terang-terangan pada tauhid Rububiyyah juga, dan ini merupakan perkara yang tidak kita dapati pada diri orang-orang musyrik tempo dulu. Adapun syirik dalam tauhid Uluhiyyah banyak terjadi di kalangan orang-orang bodoh dari umat ini –dan saya tidak mengatakan, orang-orang awam di antara mereka-, jika demikian adanya keadaan kaum muslimin dewasa ini, lalu bagaimana penulis berani berargumen: "Alasan ini telah hilang dengan sendirinya dengan sebab telah tertanamnya iman di dalam dada orang-orang mukmin?".
Jika yang di maksud dalam pernyataannya tersebut "orang-orang mukmin" itu adalah para Sahabat, maka hal itu tidak di ragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang mukmin yang sejati, yang mengetahui hakikat tauhdi yang di bawa oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam kepada mereka, tetapi syari'at Islam merupakan syari'at yang umum dan abadi, maka tidak bisa secara otomatis dengan hilangnya alasan tersebut –jika benar hal itu- dari diri mereka, ketetapan hukumnya ikut hilang bagi orang-orang sesudah mereka, karena alasan tersebut masih tetap ada. Dan realita merupakan bukti yang sangat akurat mengenai hal tersebut.
Sisi kedua: Anda bisa mengetahui dari hadits-hadist yang telah kita sebutkan di atas, bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan agar tidak membangun masjid di atas kuburan pada akhir hayatnya, bahkan pada saat sakit yang mengantarkan beliau menuju kehariban Allah Shubhanahu wa ta'alla. Dengan demikian, kapan alasan yang dia sebutkan itu hilang? Jika ada yang mengatakan: 'Alasan tersebut hilang dengan meninggalnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam", maka ucapan tersebut telah mengugurkan sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin bahwa sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zaman Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Sebab, pernyataan itu mengandung konsekwensi –berdasarkan pada ucapannya yang terdahulu- bahwa iman belum tertanam pada diri para Sahabat pada zamannya, akan tetapi iman itu baru tertanam pada diri mereka setelah wafatnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam!.Oleh karena itu, alasan tersebut masih tetap ada dan hukumnya pun masih tetap berlaku. Dan ini termasuk perkara yang tidak pernah terlintas dalam benak saya, ada orang yang mengatakan seperti itu, karena kesalahannya yang sangat jelas. Dan jika ada yang mengatakan lagi; 'Alasan itu hilang sebelum wafatnya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam", maka kami katakan pula: 'Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi sedangkan Beliau sendiri melarang perbuatan tersebut di akhir hayatnya". Hal itu di perkuat lagi dengan:
Sisi ketiga: Di beberapa hadits yang terdahulu terkandung makna yang memberikan isyarat bahwa hukum tersebut terus berlanjut sampai hari kiamat kelak, seperti misalnya dalam hadits yang ke dua belas.
Sisi keempat: Bahwasannya, para Sahabat mengubur Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam di kamar di mana beliau meninggal, karena takut makam beliau akan di jadikan sebagai masjid, sebagaimana yang di riwayatkan oleh Aisyah pada hadits yang keempat, Dan kekhawatiran tersebut bisa jadi memang di tujukan kepada para sahabat itu sendiri atau di tujukan kepada orang-orang sesudah mereka. Jika ada yang mengatakan bahwa hal itu di tujukan kepada para Sahabat, maka kami katakan; '(Maka) kekhawatiran terhadap orang-orang sesudah mereka adalah lebih kuat".
Dan jika ada yang mengatakan bahwa kalau larangan tersebut di peruntukan kepada orang-orang sesudah Sahabat –dan itulah yang benar menurut kami- maka itu merupakan dalil yang tegas yang menerangkan bahwa para Sahabat tidak pernah berpandangan bahwa dengan hilangnya alasan, maka ketetapan hukumnya ikut terseret hilang, baik hal itu terjadi pada masa mereka maupun sesudah mereka. Dengan demikian, pernyataan yang bertentangan dengan pendapat para Sahabat itu merupakan kesesatan yang nyata. Hal itu di perkuat lagi dengan:
Sisi kelima: Bahwa para Salaf tetap memberlakukan hukum tersebut dan yang semisalnya, yang mengharuskan alasan tersebut masih tetap ada, yaitu kekhawatiran terjerumus ke dalam fitnah dan kesesatan. Seandainya alasan tersebut di hapus, niscaya praktek yang bersandar pada alasan-alasan tersebut tidak mungkin terus berlangsung. Dan hal seperti itu sudah sangat jelas. Walhamdulillah.
Berikut ini beberapa contoh yang menguatkan apa yang kami sebutkan di atas tadi:
1. Dari Abdullah Syurahbil bin Hasanah, beliau menceritakan:
عن عبدالله بن شرحبيل بن حسنة قال : (( رأيت عثمان بن عفان يأمر بتسوية القبور , فقيل له , هذا قبر أم عمرو بنت عثمان. فأمر به فسوي ))
"Aku pernah menyaksikan Utsman bin Affan, beliau pernah memerintahkan untuk meratakan kuburan. Lalu di katakan pada beliau: "Ini adalah makamnya Ummu 'Amr binti Utsman". Lalu beliau memerintahkan agar meratakannya, maka makam itu pun akhirnya di ratakan".[4] HR Ibnu Abi Syaibah 4/138.
2. Dari Abul Hayyaj al-Asadi, beliau mengatakan:
عن أبي الهياج الأسدي قال : ( قال لي علي بن أبي طالب : ألا أبعثك على ما بعثني عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم, أن لا تدع تمثالاً إلا طمسته, ولا قبراً مشرفاً إلا سويته) [ رواه مسلم ]
"Ali bin Abi Tholib pernah berkata kepadaku; "Maukah engkau aku utus untuk menunaikan tugas sebagaimana aku pernah di utus oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk mengerjakannya? Yaitu, janganlah engkau membiarkan satu patung melainkan engkau hancurkan, dan tidak pula membiarkan suatu makam yang menonjol melainkan engkau ratakan". [5] HR Muslim no: 61.
Tatkala hadits ini menjadi hujjah yang sangat jelas untuk membatalkan pendapatnya Syaikh al-Ghimari di dalam kitabnya yang telah kami sebutkan dahulu, maka dirinya berusaha melarikan diri melalui dua jalan:
Pertama: Berusaha menakwilnya sehingga sesuai dengan pendapatnya.
Kedua: Meragukan kebenaran riwayat tersebut. Di mana pada hal: 57, dalam kitabnya tersebut, dia mengatakan: "Oleh karena itu, hadits tersebut mempunyai dua kemungkinan; tidak shahih riwayatnya, atau hadits tersebut harus di artikan dengan pengertian yang bukan lahiriyah. Dan itu merupakan suatu keharusan".
Maka saya katakan padanya; 'Tentang keshahihannya sehiingga sudah tidak diragukan lagi, karena hadits tersebut mempunyai jalan periwayatan yang cukup banyak, sebagian di antaranya terdapat di dalam kitab ash-Shahih, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya. Hanya saja, para pengekor hawa nafsu tidak mau menggunakan kaidah-kaidah ilmiah yang telah baku di dalam melakukan tashih (menghukumi shahih) dan tadh'if (menghukumi dha'if), sehingga dengan sebab apa yang ada di dalam hati mereka, mereka nilai hadistnya lemah, meskipun pada dasarnya haditsnya shahih, seperti hadits ini misalnya, sedangkan sebab yang ada pada mereka, mereka nilai shahih meskipun pada dasarnya apa yang ada pada mereka itu dha'if. Dan insya Allah akan kami berikan beberapa contoh yang lainnya pada pembahasan berikutnya. Wallahul Musta'an.
Adapun penakwilan yang di lakukannya, maka dirinya telah menyebutkan beberapa sisi kelemahan dari hadits tersebut, dan yang paling kuat adalah pernyataanya: "Bahwa hadits tersebut secara lahiriyah merupakan khabar matruk (tidak di terima) menurut kesepakatan (ulama), di karenakan para imam telah bersepakat atas di bencinya meratakan makam di mana mereka telah bersepakat di sunahkannya meninggikan makam kira-kira sekitar satu jengkal".
Saya katakan padanya; 'Sungguh mengherankan sekali bagi orang yang mengaku telah melakukan ijtihad dan mengharamkan bagi dirinya taklid, bagaimana dirinya berani memalingkan hadits-hadits itu serta mentakwilnya sehingga sesuai dengan pendapat para imam menurut pengakuannya. Padahal ijtihad yang benar adalah kebalikan dari pendaat mereka tersebut, hanya saja hadits ini memang tidak akan menghapus kesepakatan yang telah di sebutkan tadi, sebab hal itu khusus bagi makam yang di atasnya didirikan bangunan, maka pada saat itu makam tersebut harus di ratakan dengan tanah, seperti yang datang riwayatnya dari Azhar. Sedangkan kesepakatan para imam itu pada intinya berkisar pada masalah yang harus di perhatikan pada saat menguburkan mayit, yakni hendaknya sedikit meninggikan makam. Dan hal itu tidak masuk dalam maksud hadits, sebagaimana yang telah di sampaikan oleh al-Qari yang telah kami nukilkan sebelumnya.
Kemudian, di dalam panakwilanya terhadap hadits ini, al-Ghimari menukil perkataan para penganut madzhab Syafi'i bahwa mereka pernah mengatakan: "Yang beliau maksud (hadits Ali.pent) bukan menyamaratakan dengan tanah, akan tetapi yang beliau maksud adalah peninggian sedikit dari tanah, hal tersebut di sepakati berdasarkan penggabungkan hadits-hadits yang ada".
Saya katakan; 'Taruhlah hal tersebut di terima, maka hal itu justru menjadi dalil yang menghujam pada al-Ghimari, bukan menjadi dalil yang mendukung pendapatnya. Sebab, dirinya tidak mengatakan wajib meninggikan makam sejengkal, akan tetapi, dia menyatakan sunah meninggikan makam tanpa ada batasannya serta mensunahkan pembangunan masjid atau kubah di atas kuburan'.
Kemudian al-Ghimari mengatakan mengenai jawaban terakhir tentang hadits tersebut: "Dan itulah yang shahih, menurut kami. Di mana yang beliau maksudkan adalah makam orang-orang musyrik yang dulu mereka sucikan pada masa Jahiliyyah, dan yang ada di negeri-negeri orang kafir yang telah di taklukan oleh para Sahabat dengan dalil yang menguatkan bahwa disebutnya patung-patung yang ada bersama mereka".
Saya katakan; 'Di sebagian jalur hadits yang di riwayatkan oleh Ahmad di sebutkan, bahwa utusan yang di kirim Ali itu di tujukan pada beberapa wilayah pinggiran kota Madinah, ketika Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam berada di sana. Maka riwayat ini mengugurkan pernyataannya bahwa pengiriman tersebut di tujukan ke negeri orang-orang kafir'.
Selanjutnya, letak penguat dari hadits tersebut adalah di utusnya Abul Hayyaj oleh Ali untuk meratakan makam, yang mana pada saat itu dirinya menjabat kepala kepolisian. Maka di dalam riwayat ini sebagai dalil yang jelas bahwa Ali –demikian pula Utsman seperti yang terdapat pada atsar sebelumnya- mengetahui tetap berlakunya hukum tersebut setelah kematian Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, ini berbeda sekali dengan apa yang di sangka oleh al-Ghimari.
3. Dari Abu Burdah, beliau mengatakan;
عن أبي بردة قال :( أوصى أبو موسى حين حضره الموت فقال : إذا انطلقتم بجنازتي فأسرعوا المشي ولا يتبعني مجمر , ولا تجعلوا في لحدي شيئاً يحول بيني وبين التراب , ولا تجعلوا على قبري بناء وأشهدكم أنبي برئ من كل حالقة , أو سالقة , أو خارقة . قالوا أو سمعت فيها شيئاً قال : نعم , من رسول الله صلى الله عليه وسلم ) [رواه أحمد]
"Abu Musa pernah berwasiat tatkala menjelang kematiannya, di mana ia berkata; "Jika kalian berjalan membawa jenazahku, maka percepatlah jalan kalian dan jangan sampai ada yang membawa perapian (perdupaan) yang mengikutiku. Dan janganlah kalian memasukan sesuatu pun ke dalam liang lahatku yang menghalangi antara diriku dengan tanah. Jangan pula kalian mendirikan bangunan di atas kuburku. Dan aku bersaksi kepada kalian semua bahwa aku berlepas diri dari setiap wanita yang memotong rambutnya, meninggikan suaranya, atau merobek-robek bajunya (tatkala datang berita kematianku). Para sahabatnya bertanya: "Apakah engkau mendengar itu semua dari Rasulallah? Dia menjawab: "Ya, aku mendengarnya dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam".[6] HR Ahmad 4/397.
4. Dari Anas di ceritakan, Adalah beliau membenci bila ada masjid yang dibangun di atas kuburan. [7]
5. Dari Ibrahim, di riwayatkan bahwasanya dia juga membenci didirikannya masjid di atas kuburan. [8]
Ibrahim ini adalah Ibnu Yazid an-Nakha'i, seorang imam. Beliau juga adalah salah seorang tabi'in muda yang meninggal dunia pada tahun 96 H, dan tidak di ragukan lagi bahwa dirinya menerima hukum tersebut dari beberapa kalangan tabi'in senior yang pernah bertemu langsung dengan para Sahabat. Maka di dalam atasr ini terdapat dalil tegas yang menunjukan bahwa mereka mengetahui tetap berlakunya hukum tersebut sepeninggal Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Lantas kapan hukum tersebut di hapus?!.
6. Di riwayatkan dari Ma'rur bin Suwaid, dia mengatakan; "Kami pernah bepergian bersama Umar dalam suatu perjalanan ibadah haji yang di tunaikannya. Pada saat beliau sholat subuh, dia membaca:
قال الله تعالى : {ألم تر كيف فعل ربك بأصحاب الفيل ﴾ (سورة الفيل :1).
"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah". (QS al-Fiil: 1).
Dan juga membaca firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : { É#»n=\} C·÷tè% ﴾ (سورة قريش: 1 ).
"Karena kebiasaan orang-orang Quraisy". (QS Quraisy: 1).
Tatkala usai menunaikan ibadah hajinya dan beliau kembali pulang, beliau mendapati manusia datang berbondong-bondong. Dia bertanya: "Apa ini? Orang itu menjawab; "Ini adalah masjid di mana Rasulallah Shalallahu 'alihi wa sallam pernah sholat di dalamnya". Beliau lantas berkata; 'Demikianlah, dulu ahli kitab dibinasakan, mereka menjadikan jejak para Nabi mereka sebagai tempat ibadah. (Namun) barangsiapa yang mendapati waktu sholat telah tiba di sana, maka hendaklah sholat di sana, dan barangsiapa yang tidak mendapatkan waktu sholat tiba di sana, maka tidak perlu sholat di sana'. [9]
7. Dari Nafi', beliau mengatakan:
عن نافع قال :( بلغ عمر بن الخطاب أن ناساً يأتون الشجرة التي بويع تحتها فأمر بها فقطعت) (رواه ابن أبي شيبة ).
"Telah sampai berita kepada Umar bahwa manusia mendatangi sebuah pohon yang di bawahnya penah menjadi tempat bai'at, maka beliau pun lantas memerintahkan agar potong tersebut di tebang, lalu pohon tersebut pun di tebang". [10]
8. Di riwayatkan dari Quz'ah, beliau menceritakan: "Aku pernah bertanya kepada Ibnu Umar, 'Apakah aku boleh mendatangi bukit Thur? beliau menjawab: "Jangan engkau datangi, dan tinggalkanlah". Beliau mengatakan lagi: "Tidak boleh melakukan perjalanan (pada suatu tempat) melainkan menuju ketiga masjid". [11]
9. Dari Ali bin Husain, bahwasannya beliau pernah mendapati ada seorang yang mendatangi celah yang terdapat di makam Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam (demikian yang asli), lalu dia menerobos masuk kedalamnya lantas berdo'a. kemudian Ali bin Husain memanggilnya seraya berkata: "Maukah engkau aku beritahu tentang sebuah hadits yang aku pernah mendengarnya dari ayahku, dari kakekku, Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam? Beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لا تتخذوا قبري عيداً , ولا بيوتكم قبوراً , وصلوا علي , فإن صلاتكم وتسليمكم تبلغني حيثما كنتم )) (رواه ابن أبس شيبة).
"Janganlah kalian jadikan makamku sebagai tempat perayaan, dan jangan pula kalian jadikan rumahmu sebagai kuburan. Dan bershalawtlah kalian atas diriku, karena sesungguhnya shalawat dan salam kalian itu akan sampai kepadaku di manapun kalian berada". HR Ibnu Abi Syaibah di dalam mushanafnya 2/83/2.
Dan riwayat ini di perkuat dengan apa yang telah di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Khuzaimah di dalam kitabnya Hadits Ali Ibni Hajar jilid: 4/ no: 48, serta Ibnu Asakir 4/217/1, melalui dua jalan dari Suhail bin Abi Suhail bahwasaanya dirinya pernah melihat makam Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam, kemudia ia mendatangi lalu mengusap-usapnya. Dia berkata: "Maka Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib melemparku dengan batu kerikil seraya berkata: "Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Janganlah kalian jadikan rumahku sebagai tempat perayaan dan jangan pula kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, (dan bershalawatlah kalian atas diriku di mana pun kalian berada, karena sesungguhnya shalawat kalian itu akan sampai kepadaku".
10. Dari Abu Hurairah, beliau berkata: 'Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( لا تجعلوا بيوتكم قبوراً , ولا تجعلوا قبري عيداً وصلوا علي , فإن صلاتكم تبلغني حيثما كنتم )) (رواه أبو داود و أحمد).
"Janganlah kalian menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan, dan janganlah kalian jadikan makamku sebagai tempat perayaan, bershalawatlah kalian atas diriku, karena sesungguhnya shalawat kalian sampai kepadaku di manapun kalian berada. HR Abu Dawud no: 2042, Ahmad 2/367.
11. Di riwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah melihat tenda di atas makamnya Abdurahman, lantas beliau berkata: "Turunkanlah tenda itu wahai anak muda, karena sesungguhnya ia telah di naungi oleh amalnya sendiri". [12]
12. Dari Abu Hurairah, bahwasannya beliau pernah berwasiat agar orang-orang setelah kematiannya tidak mendirikan tenda di atas makamnya. [13]
13. Hadits yang senada di atas juga telah di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Asakir 7/96/2, dari sahabat Abu Sa'id al-Khudri. [14]
14. Dari Muhammad bin Ka'ab, beliau berkata: "Tenda-tenda yang terdapat di atas kuburan ini merupakan perkara yang di ada-adakan (bid'ah)". [15]
15. Sa'id bin al-Musayyib pernah berkata tatkala sakit yang mengantarkan pada kematiannya: "Jika aku mati, maka janganlah kalian mendirikan tenda di atas nisanku". [16]
16. Dari Salim, maula Abdullah bin Ali bin Husain, dia mengatakan: "Muhammad bin Ali Abu Ja'far pernah berwasiat seraya mengatakan: "Janganlah kalian meninggikan makamku di atas tanah". [17]
17. Dari Amr bin Syurahbil, beliau berkata: "Janganlah kalian meningginkan makamku, karena sesungguhnya aku melihat kaum Muhajirin membenci perbuatan itu". [18]
Ketahuilah, bahwa atsar-atsar ini meskipun redaksinya berbeda-beda, akan tetapi semuanya sepakat melarang setiap perbuatan yang mengagungkan makam, sikap pengagungan yang di khawatirkan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam fitnah serta kesesatan, misalnya pembangunan masjid dan kubah di atasnya, juga pendirian tenda di atasnya, serta meninggikan makam melebihi batas yang telah di syari'atkan, safar kepadanya serta bolak-balik menziarahinya, mengusap-usap, serta mencari berkah dengan jejak-jejal peninggalan para Nabi dan yang lainnya.
Maka semua perbuatan tersebut sama sekali tidak pernah di syari'atkan menurut Salaf yang kami nyatakan mereka adalah sahabat Nabi dan juga yang lainnya. Hal itu jelas menunjukan bahwa mereka semua memahami tetap berlakunya alasan mengenai larangan membangun masjid diatas kuburan serta mengagung-agungkanya yang tidak pernah di perbolehkan oleh Syari'at, sebab dengan alasan tersebut di khawatirkan terjadinya kesesatan dan fitnah terhadap orang-orang oleh si mayit sebagaimana yang telah di ucapkan oleh Imam Syafi'i, seperti telah di jelaskan sebelumnya. Dengan dalil tetapnya mereka berpegang terhadap pendapat yang menyatakan tetap berlakunya hukum yang di barengi dengan alasan tersebut. Sebab, keberadaan salah satu dari keduanya menuntut keberadaan yang lainnya, sebagaiman hal itu bukan rahasia lagi. Dan hal seperti itu, bagi siapa yang di antara mereka memakruhkan pembangunan masjid di atas makam, adalah sesuatu yang jelas. Adapun orang-orang yang secara jelas melarang hal-hal selain itu, seperti misalnya meniggikan makam, mendirikan tenda di atasnya, serta yang lainnya, seperti yang telah kami sebutkan tadi, maka mereka berpendapat bahwa tetap berlakunya hukum tersebut adalah lebih di utamakan. Karena dua alasan:
Pertama: Mendirikan masjid di atas makam itu lebih parah pelanggarannya dari pada meninggikan makam serta mendirikan tenda di atasnya, karena adanya laknat pada pembangunan masjid sementara itu tidak ada laknat terhadap orang yang meninggikan makam serta mendirikan tenda.
Kedua: Bahwa yang menjadi keharusan bagi kita mengenai kaum salaf itu adalah pemahaman serta ilmunya. Oleh karena itu, jika telah di riwayatkan dari salah seorang di antara mereka mengenai larangan terhadap suatu perkara, yang larangan tersebut lebih ringan dari apa yang di larang oleh syari'at, sementara larangan seperti itu tidak pernah di nukil dari salah seorang mereka, maka dengan pasti kami berani mengambil kesimpulan bahwa larangan syari'at itu termasuk yang di larang juga. Bahkan, sekalipun, larangan syari'at tersebut beritanya tidak sampai kepadanya, karena larangan dia terhadap sesuatu yang lebih ringan dari larangan syari'at tersebut mengharuskan adanya larangan terhadapnya adalah lebih utama, sebagaimana hal itu bukan rahasia lagi.
Dengan demikian, dapat kami tegaskan bahwa pendapat yang menghapus alasan tersebut dan perkara-perkara yang di bangun di atasnya adalah pendapat yang salah, karena menyelisihi manhaj Salafush Sholeh, di tambah lagi dengan berbenturannya dengan hadits-hadits shahih. Wallahul Musta'an.
Bab Kelima
Hikmah Diharamkanya Membangun Masjid di atas Kubur
Syari'at Islam menetapkan bahwa umat manusia ini dari sejak awal keberadaan mereka merupakan satu umat yang menjunjung tinggi nilai tauhid yang murni. Kemudian setelah itu muncul kesyirikan di tengah-tengah mereka, hal itu berdasrkan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ كَانَ ٱلنَّاسُ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ فَبَعَثَ ٱللَّهُ ٱلنَّبِيِّۧنَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ } (سورة البقرة : 213).
"Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi peringatan,". (QS al-Baqarah: 213).
Sahabat Ibnu Abbas mengatakan: "Jarak antara Nuh dan Adam itu sepuluh abad, mereka semua berada di atas satu syari'at Allah Shubhanahu wa ta'alla, kemudian setelah itu mereka berselisih, sehingga Allah Shubhanahu wa ta'alla pun mengutus pada Nabi yang memberi kabar gembira sekaligus membawa peringatan". [19]
Di dalam kitab al-Kawaakib 6/212/1, Ibnu Urwah al-Hambali mengatakan: "Dan riwayat ini sebagai bantahan bagi sebagian orang yang berpendapat dari kalangan ahli sejarah dari Ahli kitab yang mengatakan bahwa Qabil dan anak-anaknya menyembah api".
Saya katakan: 'Hadits ini juga sebagai bantahan bagi kalangan filosof serta kaum Atheis yang mengklaim bahwa kondisi awal keberadaan manusia adalah dalam kemusyirikan sedangkan tauhid itu datang sesudahnya'. Pendapat ini tidak benar berdasarkan ayat di atas dan di perkuat lagi dengan dua hadits berikut ini:
Pertama: Sabda Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang beliau riwayatkan dari Rabbnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (( إني خلقت عبادي حنفاء كلهم, وإنهم أتتهم الشياطين فاجتالتهم عن دينهم, وحرمت عليهم ما أحللت لهم, وأمرتهم أم يشركوا بي ما لم أنزل به سلطانا )) [رواه مسلم و أحمد].
"Sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hambaKu dalam keadaan bertauhid, secara keseluruhan. Kemudian mereka di datangi oleh syaitan, yang menyelewengkan mereka dari agamanya. Syaitan datang dengan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan atas mereka. Dan syaitan itu menyuruh mereka untuk menyekutukan diriKu yang Aku tidak pernah berikan izin padanya untuk melakukan hal itu". HR Muslim no: 159, Ahmad 4/162.
Kedua: Sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(( ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه ويمجسانه كما تنتج البهيمه بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء)) قال أبو هريرة : وقرأوا إن شئتم ﴿ فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ... الآيه } (رواه مسلم و أحمد).
"Tidaklah ada seorang anak melainkan di lahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikan seorang Yahudi, Nashrani atau Majusi, sebagaimana binatang juga melahirkan anaknya secara keseluruhan, apakah kalian pernah mendapatkan terpotong bagian tubuhnya?".
Abu Hurairah mengatakan: "Jika kalian mau, bacalah firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ} (سورة الروم : 30).
"(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah". (QS ar-Ruum: 30). HR Bukhari no: 418, Muslim no: 52.
Bila hal itu sudah terlihat jelas, maka yang terpenting selanjutnya adalah hendaknya setiap muslim mengetahui bagaimana awal kesyirikan itu muncul dalam diri orang-orang mukmin setelah mereka bertauhid. Dan telah disebutkan dalam banyak riwayat dari sejumlah ulama salaf dalam menafsirkan firman Allah Ta'ala mengenai kaum Nuh:
قال الله تعالى : ﴿ وَقَالُواْ لَا تَذَرُنَّ ءَالِهَتَكُمۡ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّٗا وَلَا سُوَاعٗا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسۡرٗا } (سورة نوح : 23).
"Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kalian dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr". (QS Nuh: 23).
Kelima nama-nama tersebut, Wadd beserta yang lainnya merupakan hamba-hamba Allah Shubhanahu wa ta'alla yang sholeh. Setelah mereka meninggal, syaitan membisikan kepada kaumnya agar mereka ber'tikaf di atas makam mereka. Kemudian syaitan membisikan kepada orang-orang yang datang sesudahnya agar mereka membuat patung-patung untuk mereka. Selanjutnya, syaitan-syaitan tersebut menyesatkan mereka bahwa patung itu dapat menjadikan mereka selalu ingat terhadap orang-orang sholeh tersebut, sehingga mereka akan selalu mengikuti amal sholeh mereka. Selanjutnya, syaitan membisikan kepada generasi selanjutnya agar mereka menjadikan makam mereka sebagai sesembahan selain Allah Ta'ala seraya memberitahukan bahwa nenek moyang mereka juga melakukan hal tersebut. Kemudian Allah Shubhanahu wa ta'alla mengutus Nuh untuk memerintahkan supaya mereka beribadah kepada -Nya semata, tetapi tidak ada yang memenuhi seruan Nuh kecuali sedikit saja dari mereka. Dan Allah Shubhanahu wa ta'alla telah menceritakan kisahnya bersama dengan kaumnya di dalam surat Nuh.
Di dalam kitab Shahih Bukhari 8/543 di sebutkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas; "Kelima nama tersebut adalah nama-nama orang sholeh dari kaumnya Nabi Nuh. Setelah mereka meninggal, syaitan membisikan kepada kaum mereka agar agar membikin patung pada majelis tempat pengajian mereka dan menamakan patung-patung tersebut dengan nama-nama orang-orang sholeh itu. Maka mereka pun melakukan hal tersebut, tetapi belum di jadikan sebagai sembahan, sehingga setelah mereka binasa dan hilangnya ilmu, baru patung-patung tersebut di jadikan sebagai sesembahan'. Hal senada juga terdapat di dalam Tafsir Ibni Jarir dan yang lainnya lebih dari satu orang salaf.
Dalam kitab ad-Durrul Mantsuur 6/269 di sebutkan: Diriwayatkan oleh Abd bin Hamid dari Abu Muthahhir, beliau menceritakan: 'Mereka berbicara di sisi Abu Ja'far (yaitu al-Baqir) Yazid bin al-Muhallab, dia mengatakan: 'Sesungguhnya dia telah terbunuh dipermukaan bumi yang menjadi tempat penyembahan selain Allah Shubhanahu wa ta'alla ". Kemudian dia menyebutkan Wadd. Dia mengatakan bahwa Wadd adalah seorang muslim yang sangat di cintai oleh kaumnya. Ketika dia meninggal dunia, kaumnya berkumpul di sekitar makamnya di tanah Babil. Dan mereka merasa kasihan kepadanya. Ketika Iblis mengetahui kesedihan mereka padanya, maka iblis datang menyerupai manusia dan mengatakan: "Aku tahu rasa sedih kalian atas orang ini, apakah kalian mau aku gambarkan sesuatu yang mirip denganya, sehingga dengan tetap berada di tempat perkumpulan kalian, kalian bisa mengingatnya?" mereka menjawab: "Mau". Lantas Iblis tersebut membikin gambar yang menyerupai dengan orang sholeh tersebut, kemudian mereka meletakannya di tempat perkumpulan mereka sambil mengingat-ingatnya. Setelah melihat mereka selalu mengingat-ingatnya, maka Iblis pun berkata: "Apakah kalian mau aku buatkan patung yang menyerupai wajahnya di rumah masing-masing kalian?". Mereka menjawab: "Mau". Lalu Iblis pun membuatkan bagi setiap rumah satu patung yang menyerupai orang sholeh tersebut. Mereka pun menyambutnya dan terus menerus mengingat orang sholeh tersebut melalui patung itu. Kemudian, dia (al-Baqir) mengatakan: "Anak-anak mereka pun mengetahui hal itu seraya melihat apa yang mereka kerjakan dengan patung tersebut. Lalu, anak-anak mereka pun mempelajari cara mengingat orang sholeh melalui patung tersebut, hingga akhirnya mereka menjadikannya sebagai ilah selain Allah Shubhanahu wa ta'alla". Dia berkata: "Yang pertama kali di jadikan sebagai sesembahan selain Allah Shubhanahu wa ta'alla di muka bumi ini adalah Wadd, patung yang mereka beri nama Wadd".
Kemudian hikmah Ilahi yang Maha Suci lagi Maha Tinggi, -Dia mengutus Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para Rasul dan menjadikan syari'atnya sebagai penutup syari'at-syari'at yang ada- menuntut dilarangnya segala macam sarana yang mengkhawatirkan akan menjadi faktor –meskipun setelah berlalunya zaman- terjerumusnya manusia kedalam kesyirikan yang merupakan dosa yang paling besar. Oleh karena itu Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang membangun masjid di atas kuburan, sebagaimana beliau melarang melakukan perjalanan ke sana dan menjadikannya sebagai tempat perayaan, serta bersumpah dengan menyebut nama-nama penghuni kubur itu. Sebab, semuanya itu bisa membawa kepada perbuatan berlebih-lebihan dan menjadikanya sesembahan selain Allah Ta'ala. Apalagi di dukung oleh lingkungan orang-orang yang tidak berilmu, banyak kebodohan serta minimnya para pemberi nasehat, dan terjalinnya kerjasama antara syaitan, jin, dan Iblis untuk menyesatkan manusia serta mengeluarkan mereka dari ibadah kepada Ta'ala.
Dan bukan suatu yang rahasia lagi, menurut kami, hikmah di larangnya sholat pada tiga waktu merupakan upaya untuk menutup sarana kesesatan dan agar tidak menyerupai orang-orang musyrik yang menyembah matahari pada waktu-waktu tersebut. Dengan demikian, upaya untuk menutup jalan dari perbuatan menyerupai orang-orang musyrik dalam pembangunan tempat ibadah di atas kuburan dan melakukan sholat di sana adalah lebih kuat dan lebih jelas lagi. Tidakkah anda melihat bahwa sampai sekarang ini kita tidak mendapatkan satu pengaruh buruk pun dari pelaksanaan sholat yang di lakukan oleh sebagian orang pada ketiga waktu yang dilarang tersebut, tetapi pada saat yang sama, kita melihat pengaruh yang sangat buruk dari pelaksanaan sholat di dalam masjid yang di bangun di atas kuburan, berupa pengusapan terhadap makam, meminta bantuan melalui perantara penghuni kubur, bernadzar untuknya, bersumpah dengan menyebut nama penghuni kubur, serta bersujud padanya, dan berbagai bentuk kesesatan lainnya yang dapat dilihat dengan kasat mata. Hingga akhirnya, merupakan kebijaksanaan Allah Tabaraka wa ta'ala memuntuskan di haramkannya semua perkara tersebut sehingga hanya Allah Ta'ala semata yang diibadahi dan tidak disekutukan dengan sesuatu apapun. Dengan demikian, bisa terealisasikan perintah -Nya untuk berdo'a hanya kepada -Nya melalui firman -Nya:
قال الله تعالى : ﴿ وَأَنَّ ٱلۡمَسَٰجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدۡعُواْ مَعَ ٱللَّهِ أَحَدٗا } (سورة الجن: 18).
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah". (QS al-Jinn: 18).
Dan yang sangat menyedihkan hati setiap muslim yang mempunyai hati yang bersih adalah tatkala dirinya mendapati banyak kaum muslimin yang terjerumus ke dalam lembah yang bertolak belakang dengan syari'at Sayyidul mursalin, Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang mana syari'at itu datang dengan menjauhkan diri dari segala macam bentuk yang bisa merusak tauhid. Kemudian, lebih menyedihkan lagi ketika dirinya melihat dalam jumlah sedikit atau banyak dari para syaikh yang membenarkan penyimpangan yang mereka lakukan itu, dengan alasan bahwa niat mereka itu baik. Dan Allah telah menyaksikan bahwa banyak dari mereka yang mempunyai niat yang salah. Dan mulai terjangkiti penyakit syirik di sebabkan oleh faktor sikap diamnya para syaikh tersebut, bahkan mereka membolehkan setiap bentuk kesyirikan yang mereka lihat dengan alasan yang salah tersebut.
Di mana sisi niat baik itu dari orang-orang yang setiap kali mengalami kesulitan, mereka akan mendatangi makam mayit yang mereka nilai sholeh, lalu berdo'a kepadanya, selain Allah Shubhanahu wa ta'alla, seraya meminta bantuan melalui perantara mayit tersebut, juga memohon kesehatan, kesembuhan dan lain-lain kepadanya yang seharusnya tidak boleh diminta kecuali kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla dan tidak ada yang mungkin kuasa untuk melakukannya melainkan Dia! Bahkan, jika kaki binatang mereka terpeleset, mereka akan berseru, "Ya Allah, ya Baaz". Padahal, para syaikh-syaikh tersebut mengetahui bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam pada suatu hari pernah mendengar beberapa orang sahabat berkata kepadanya: "Jika Allah dan Engkau menghendaki". Maka beliau melarang seraya berkata: "Apakah engkau hendak menjadikan diriku sebagai tandingan bagi Allah Shubhanahu wa ta'alla".
Kalau demikian kerasnya pengingkaran Rasulallah Shalallahu 'alihi wa sallam terhadap orang yang beriman kepada beliau, karena beliau benar-benar ingin menjauhi kemusyrikan, lalu mengapa para syaikh-syaikh tersebut tidak mengingkari ungkapan orang-orang yang mengatakan: "Ya Allah, ya Baaz". Padahal ucapan seperti itu lebih terang dan jelas menunjukan kepada kesyirikan dari pada kalimat "Jika Allah Shubhanahu wa ta'alla dan Engkau menghendaki". Dan mengapa kita masih menyaksikan orang-orang awam tanpa merasa bersalah sedikitpun mengatakan: "Kami bertawakal kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla dan kepadamu". Dan mengatakan: "Kami tidak mempunyai siapa-siapa kecuali hanya Allah Shubhanahu wa ta'alla dan kamu". Yang itu semua bisa jadi karena para syaikh-syaikh tersebut, sama seperti orang-orang awam dalam kesesatannya, dan di katakan: "Orang yang tidak memiliki sesuatu tidak mungkin akan memberikan sesuatu tersebut", atau bisa jadi mereka bersikap manis muka, bahkan mereka merayu-rayu orang-orang itu supaya mereka tidak membeberkan aib mereka yang bisa berdampak kepada pemberhentian mereka dari jabatan dan mata pencaharian mereka, tanpa memperdulikan firman Allah Ta'ala:
قال الله تعالى : ﴿ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَكۡتُمُونَ مَآ أَنزَلۡنَا مِنَ ٱلۡبَيِّنَٰتِ وَٱلۡهُدَىٰ مِنۢ بَعۡدِ مَا بَيَّنَّٰهُ لِلنَّاسِ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أُوْلَٰٓئِكَ يَلۡعَنُهُمُ ٱللَّهُ وَيَلۡعَنُهُمُ ٱللَّٰعِنُونَ } (سورة البقرة : 159).
"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati". (QS al-Baqarah: 159).
Alangkah mengenaskannya kondisi orang-orang muslim yang seperti ini. Mestinya mereka menjadi juru dakwah yang mengajak umat manusia menuju kepada agama tauhid, sekaligus menjadi sebab untuk menyelamatkan mereka dari berhalaisme dengan segala keburukannya. Akan tetapi, karena ketidaktahuannya terhadap agama mereka serta di dukung oleh sikap tunduknya terhadap hawa nafsu mereka, maka mereka pun justru menjadi model terhadap paganisme bagi orang-orang musyrik sendiri, sehingga mereka mensifati dirinya seperti orang-orang Yahudi dalam pembangunan tempat ibadah di atas makam. Di dalam kitab Da'watul Haqq, karya al-ustad Abdurahman al-Wakil hal: 176-177, beliau mengatakan: "Seorang orientalis Inggris yang hina, Edward lin memberi sebuah catatan yang sangat buruk bagi kaum muslimin mengenai ajaran paganisme di dalam bukunya al-Mishriyyuun al-Muhaditsuun (Mesir modern) hal: 167-181, dia mengatakan: "Kaum muslimin, khususnya orang-orang Mesir dengan berbagai macam aliran serta madzhabnya –kecuali penganut madzhab Wahabi- mempunyai kebiasaan membawa bawaan untuk wali-wali yang sudah meninggal sebagai bentuk penghormatan serta pengkultusan kepadanya, perbuatan mereka tidak memiliki dasar yang jelas, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadits, itu lebih banyak daripada bawaan mereka untuk orang-orang yang masih hidup di antara mereka. Mereka membangun masjid-masjid besar yang indah di atas sebagian besar makam wali terkenal, dan mendirikan bangunan kecil di atas kuburan wali-wali yang lebih rendah martabatnya yang di tulis dengan kapur warna putih lalu di beri kubah. Makam tersebut di buatkan monument (nisan) memanjang yang terbuat dari batu atau bata dan semen yang disebut dengan 'tarkibah' atau dari kayu yang di sebut dengan 'tabut'. Nisan tersebut di tutup dengan sutera atau kain yang bertuliskan ayat-ayat al-Qur'an, lalu makam itu dikelilingi oleh potongan-potongan kayu yang disebut 'maqshurah'. Mayoritas makam para wali di Mesir adalah kuburan-kuburan, hanya saja kebanyakan dari itu, terdiri dari beberapa peninggalan milik si mayit, dan sebagian yang lainnya tidak lain hanya makam kosong yang digali untuk mengenang si mayit. Sampai akhirnya, orientalis ini mengatakan, dan sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin untuk melakukan hal seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dengan memperbaharui bangunan makam para wali mereka, mewarnainya dengan warna putih, menghiasinya, dan menutup nisan atau tabut terkadang dengan besi. Mayoritas mereka melakukan hal tersebut karena riya', sebagaimana yang di lakukan oleh orang-orang Yahudi".
Orang kafir barat telah mengetahui kesesatan yang banyak kaum muslimin terjerumus ke dalamnya, terlebih apa yang di lakukan oleh orang muslim Syi'ah. Oleh karenanya mereka memanfaatkan orang-orang seperti itu dalam rangkan merealisasikan ambisi-ambisi mereka yang berupa kolonialisme. Al-Ustad Syaikh Ahmad Hasan al-Baquri pernah mengatakan dalam fatwanya mengenai laranga menghias makam serta membangun kubah dan masjid di atas kuburan sebagai berikut:
"Pada kesempatana ini, saya bermaksud memaparkan bahwa salah seorang orientalis ternama pernah memberitahuku tentang beberapa cara (metode) penjajahan yang di lakukan di Asia, bahwa keadaan darurat menuntut untuk memindahkan pasukan yang datang dari India ke Baghdad dengan melintasi wilayah yang luas tersebut menuju arah baru yang penjajah merahasiakan tujuannya dalam hal itu, tetapi pasukan-pasukan tersebut tidak mendapatkan satu pun sarana propaganda yang dapat menarik mereka untuk menempuhnya. Akhirnya mereka mendapatkan satu pentunjuk, yaitu mendirikan beberapa makam dan kubah dengan jarak yang berdekatan dengan jalan ini. Hingga akhirnya tersebar isu bahwa di makam-makam tersebut telah di makamkan beberapa orang wali dengan berbagai karamah yang mereka miliki. Sehingga jalan itu menjadi jalan utama dan benar-benar menjadi ramai.
Saya benar-benar ingin menyampaikan beberapa kalimat yang tulus ikhlas karena Allah Shubhanahu wa ta'alla, kepada kaum muslimin yang tersebar di belahan bumi sebelah timur dan barat, hendaklah mereka tidak membesar-besarkan kuburan, karena itu hanya akan mengakibatkan terjadinya kultus individu dan mengajak kepada egoisme serta aristokasi yang di murkai dan yang telah membunuh jiwa ketimuran. Hendaklah kaum muslimin kembali pada pangkuan agama yang menganggap semua manusia itu sama, baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. Seseorang tidak diutamakan atas orang lain kecuali atas dasar ketakwaannya serta amal sholeh yang telah di kerjakannya, ikhlas karena mengharap wajah Allah Shubhanahu wa ta'alla ". [20]
Seorang penulis besar dan pengarang terkenal, al-Ustad Muhaqiq Rafiq Bik al-Azhm di penutup biografi Abu Ubaidah dalam bukunya, asyharu Masyaahiiril Islam hal: 521-524 dengan judul sekilas tentang masalah makam, beliau mengatakan: "Dengan judul ini, kami tidak bermaksud memberikan pembahasan tentang sejarah makam, seperti misalnya penguburan orang-orang Nashrani, Piramida serta yang semisalnya yang merupakan simbol-simbol berhalaisme generasi pertama, akan tetapi kami ingin mengetahui pemikiran pembaca tentang perbedaan para ahli sejarah mengenai posisi makam Abu Ubaidah, seperti juga perbedaan mereka dalam menentukan posisi makam beberapa Sahabat mulia yang menaklukan kerajaan besar dan yang menghiasi diri dengan budi pekerti yang baik serta mencapai puncak kemuliaan dan ketakwaan serta kesholehan yang belum pernah di capai oleh seorangpun dari kalangan orang-orang pertama maupun orang-orang terakhir.
Para sejarawan telah mengupas kisah orang-orang besar itu dan mereka memberikan perhatian yang besar terhadap pelestarian dengan mencatat peninggalan-peninggalan mereka yang sangat berharga dalam membebaskan beberapa kerajaan dan negara, sehingga mereka tidak membiarkan dalam diri mereka mengharap untuk mengambil tambahan karena mereka sudah merasa puas dengan catatan tersebut. Sungguh alangkah baiknya apa yang telah mereka persembahkan kepada umat dan agama ini. Jika seorang pembaca menggunakan pikiranya untuk mencermati hal tersebut dengan penuh perhatian, maka pertama kali dia mengetahui, ia akan terheran-heran dengan hilangnya makam orang-orang besar tersebut dan tersembunyinya posisi kuburan-kuburan mereka dari pandangan para penukil berita dan pencatat berbagai macam peninggalan, padahal begitu tingginya kedudukan para penghuni makam tersebut dan begitu terkenalnya mereka, yang mana ketenaran mereka telah memenuhi cakrawala dan mengisi jiwa-jiwa sebagai wujud penghormatan terhadap tingginya kedudukan mereka, sekaligus sebagai pengakuan terhadap kesenioran mereka dalam bidang keimanan dan penyebarluasan dakwah al-Qur'an.
Sudah pasti pada saat mencermati hal tersebut, akan terbersit di dalam benak sang pembaca bahwa makam-makam orang-orang tersebut harus di ketahui secara pasti, dan dibangun kubah tinggi dan bertiang di atasnya, karena kemsyhuran mereka dalam melakukan perbaikan, takwa, kesungguhan iman serta persahabatan mereka dengan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, yang mana tidak mampu hal itu di lakukan oleh orang-orang besar selainnya, lalu bagaimana mungkin makam mereka luput dan dibiarkan tidak terlihat oleh sejarawan? Berbagai penelitian dilakukan terhadap makam mereka yang terdiri dari sahabat-sahabat besar dan juga para Tabi'in, sehingga para pakar sejarah berbeda pendapat dalam menentukan posisi makamnya, dan banyak juga di antaranya yang sudah kehilangan jejak, kecuali yang mereka ketahui berdasarkan perkiraan dan dugaan. Mereka memperlihatkan peninggalan-peninggalan mereka itu dalam bentuk bangunan diatasnya, padahal pemandangan yang tampak pada kaum muslimin adalah pengalihan perhatian terhadap makam-makam orang-orang yang sudah meninggal sampai berusaha meninggikan makam seindah-indahnya, mendirikan bangunan serta kubah, dan membangun masjid di atasnya, apalagi makam umara yang zhalim yang tidak memperlihatkan peninggalan yang patut disyukuri dalam membela Islam. Demikian juga orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai syaikh serta para pendusta yang kebanyakan mereka tidak memahami hukum-hukum keimanan. Antara orang-orang itu tidak ada hubungan sama sekali dengan orang-orang besar seperti Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan saudara-saudaranya dari kalangan para Sahabat besar yang mulia, yang menjumpai agama sebagai suatu ajaran yang lembut dan mencapai tingkat ketakwaan dan kemulian yang paling tinggi.
Menjawab hal tersebut, ada komentar bahwa pada masanya, para Sahabat dan Tabi'in, mereka pun memberikan rasa hormat atas kemuliaan orang-orang yang pantas untuk dimuliakan, dan mengagungkan orang-orang yang tampak pada diri mereka sifat-sifat kepahlawanan dan umat terbaik. Hanya saja mereka tidak sampai membangun kuburan mereka dan mengagung-agungkan mayat yang sudah menjadi tulang belulang, karena meraka paham betul bahwa hal itu jelas bukan bagian dari syari'at Islam, yang datang untuk mencabut akar-akar berhalaisme dan mengahapus pengaruh pengagungan kuburan, atau berdiam diri (I'tikaf) di sisi kuburan orang-orang yang sudah meninggal. Mereka berpendapat bahwa sebaik-baik makam adalah yang rata dengan permukaan tanah. Dan sebaik-baik pengingat ada pada amal baik. Oleh karena itu, generasi sesudah mereka tidak dapat melihat makam Sahabat-sahabat besar, dan sebagian mujahidin, kecuali hanya sedikit. Selanjutnya, hal itu juga terjadi perbedaan pendapat dalam penukilan mengenai berita penentuan posisi makam sesuai dengan perbedaan para perawi dan beragamnya dugaan para penukil.
Seandainya pada permulaan Islam terdapat jejak peninggalan untuk pengagungan makam dan pemeliharaan terhadap tempat orang-orang yang sudah meninggal dengan membangun kubah serta masjid diatasnya, niscaya tidak akan muncul perbedaan pendapat mengenai hal tersebut, dan tentunya sampai sekarang makam-makam para sahabat yang mulia itu tidak akan hilang dari hadapan kita, sebagaimana makam para Dajjal dan orang-orang yang mengaku sebagai syaikh itu pun belum hilang, yang setelah lewat beberapa kurun dari generasi pertama hal itu di ada-adakan oleh beberapa orang dari kaum muslimin. Dan mereka juga telah menyalahi apa yang dulu pernah dilakukan oleh para Sahabat dan Tabi'in. Hingga pada akhirnya, kubah-kubah tersebut menyerupai bangunan-bangunan suci orang-orang terdahulu, dan mengembalikan praktek berhalaisme dengan segala macam bentuknya yang sangat buruk, jauh dari kebenaran, dan paling dekat dengan kesyirikan.
Seandainya kaum muslimin mau mengambil pelajaran setelah tidak terlihatnya makam para Sahabat, yang dari para Sahabat tersebut mereka mengambil ajaran agama ini, dan melalui mereka Allah memenangkan Islam, niscaya mereka tidak akan berani mendirikan sebuah kubah di atas kuburan dan mengagung-agungkan orang yang sudah meninggal dengan bentuk pengagungan yang tertolak dari sisi logika akal dan syari'at. Dan dalam hal ini mereka telah menyalahi para Sahabat dan Tabi'in yang telah menyampaikan amanat Nabi mereka kepada kita semua, lalu kita menyia-yiakannya, juga menyampaikan rahasia syari'atnya akan tetapi kita malah mengabaikannya.
Mengenai permasalahan makam ini, berikut ini hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab Shahihnya dari Abul Hayyaj al-Asadi, beliau mengatakan: "Bahwa Ali bin Abi Tholib pernah mengatakan; 'Maukah engkau aku utus untuk melaksanakan tugas sebagaimana aku juga pernah di utus oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk mengerjakannya? Yaitu, janganlah kamu membiarkan satu patung pun melainkan kamu hancurkan, dan jangan pula membiarkan satu makam yang menonjol melainkan kamu ratakan'. Masih di dalam shahih Muslim, dari Tsumamah bin Syafi, dia mengatakan: "Kami pernah bersama Fadhalah bin Ubaid di negeri Romawi di Rhodes, lalu ada salah seorang sahabat kami yang meninggal dunia, kemudian Fadhalah memerintahkan supaya meratakan makamnya, lantas makamnya pun diratakan. Kemudian beliau mengatakan: "Aku pernah mendengar Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk meratakan makam".
Demikianlah orang-orang yang telah menunaikan amanah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam yaitu para Sahabat telah menyampaikannya kepada kita. Dan dalam rangkan menekankan pelaksanaan amanah tersebut, mereka memulai setiap apa yang diperintahkan oleh Rasulallah Shalallahu 'alihi wa sallam dari diri mereka sendiri. Para Sahabat melakukan semua itu agar kita mau mengikuti sunah mereka, dan mau berpegang teguh dengan petunjuk Nabinya. Akan tetapi akal kita tidak mampu untuk memahami makna bagian-bagian tersebut, pengetahuan kita pun tidak mampu mencapai tingkatan pengetahuan tentang hikmah syari'at dari Ilahi, juga perintah Nabi untuk tidak membangun makam, sebagi upaya membentengi diri agar tidak terjerumus kedalam praktek berhalaisme. Kita tidak mampu memahami hikmah tersebut, namun celakanya kita malah beralih menggunakan akal kita yang sangat dangkal untuk memahami syari'at, sehingga kita memutuskan untuk membolehkan pembangunan makam karena lebih senang mengutamakan masalah sampingan seperti ini, sehingga akhirnya menjadi masalah inti yang merusak agama sekaligus merusak aqidah tauhid. Sebab, kita masih saja menempuhnya sedikit demi sedikit hingga akhirnya kita sampai pada tahap mendirikan masjid di atas kuburan, memberikan nadzar kepada si mayit dan kurban. Dari perbuatan tersebut, kita terjerumus kedalam apa yang karenanya Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam menyuruh kita untuk meratakan makam. Meski semuanya itu sudah kita lakukan, akan tetapi kita masih terus lalai terhadap hikmah syari'at, kita berani melawan kebenaran, sehingga kebenaran pun membentur kita dan kita pun binasa bersama orang-orang yang binasa.
Saya katakan; 'Bahwa ada sebagian orang, khususnya para intelek yang berwawasan pengetahuan modern, mengira bahwa yang namanya kesyirikan itu telah lenyap, dan tidak akan mungkin kembali lagi, berkat tersebarnya ilmu pengetahuan dan akal menjadi cerah dengannya. Dan ini merupakan dugaan yang salah, karena realitanya sangat berbeda, di mana kenyataan yang ada menampakan bahwa kesyirikan dengan berbagai macam dan jenisnya masih terus bercokol disebagian besar permukaan bumi, apalagi dinegeri-negeri barat, yang merupakan komunitas tinggal kaum kafir, yang masih banyak terjadi penyembahan terhadap para Nabi dan orang-orang suci, patung, materi dunia, orang-orang besar dan para pahlawan. Dan yang paling nyata yang bisa kita lihat sekarang ini adalah tersebarnya berbagai macam bentuk patung ditengah-tengah mereka.
Dan yang sangat di sayangkan dari fenomena ini adalah sedikit demi sedikit mulai menyebar ke beberapa negeri Islam tanpa adanya pengingkaran oleh satu pun dari kalangan para ulama kaum muslimin. Kami tidak perlu terlalu jauh membawa para pembaca, Sebab pemandangan seperti itu sudah cukup banyak di negeri kaum muslimin, khususnya orang-orang syi'ah, di mana banyak fenomena kemusyrikan serta berhalaisme bermunculan di mana-mana, seperti sujud kepada kuburan, melakukan thowaf di sekitarnya, sholat serta sujud dengan menghadap ke arah makam, dan berdo'a kepada selain Allah Shubhanahu wa ta'alla, serta yang lainnya yang telah disebutkan sebelum ini.
Taruhlah, seandainya bumi ini telah bersih dari segala macam kotoran kesyirikan dan berhalaisme dengan berbagai macam jenisnya, maka kita tetap tidak boleh membiarkan adanya berbagai macam sarana yang dikhawatirkan adakan mengantarkan pada perbuatan kesyirikan, karena kita tidak bisa merasa yakin bahwa sarana-sarana tersebut tidak akan menyebabkan terjerumusnya kaum muslimin kedalam perbuatan syirik, bahkan kami bisa memastikan bahwa kemusyrikan itu akan menimpa umat ini di akhir zaman kelak, meskipun hal itu belum terjadi sampai sekarang ini. Berikut ini beberapa nash yang disebutkan mengenai hal tersebut, dari Nabi Muhammmad Shalallahu 'alaihi wa sallam, sehingga masalahnya benar-benar menjadi jelas:
Pertama:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا تقوم الساعة حتى تضطرب أليات النساء دوس حول ذي الخلصة )) (رواه البخاري ومسلم ).
"Tidak akan tegak hari kiamat hingga pantat para wanita kaum Daus bergoyang-goyang (karena menyembah berhala) disekitar Dzul Khalasah". HR Bukhari no: 64, Muslim no: 182.
Dan dahulu Dzul Khalasah adalah nama patung yang disembah oleh kaum Daus pada masa Jahiliyah di Tabalah.
Kedua:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا يذهب الليل والنهار حتى تعبد اللات والعزى فقالت عائشة : يا رسول الله إن كنت لأظن حين أنزل الله : [ هو الذي أرسل رسوله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله ولو كره المشركون ] أن ذلك تاما قال : إنه سيكون من ذلك ماشاء الله ,ثم يبعث الله ريحا طيبة فتوفى كل من في قلبه مثقال حبة خردل إيمان فيبقى من لا خير فيه فيرجعون إلى دين آبائهم )) ( رواه ومسلم ).
"Malam dan siang tidak akan lenyap (kiamat) sampai Laataa dan Uzza di sembah (kembali)". Kemudian Aisyah bertanya: "Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku sebelumnya menduga ketika Allah menurunkan ayat: 'Dia-lah yang mengutus Rasul -Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci'. (QS ash-Shaff: 9). Bahwa kemenangan agama ini sudah sempurna". Beliau menjawab: "Sesungguhnya hal itu akan berlangsung selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengirimakan angin yang baik lalu mencabut nyawa siapa saja yang ada di dalam hatinya keimanan walaupun sebesar biji sawi, dan yang tersisa hanya tinggal orang-orang yang tidak memiliki iman sama sekali, sehingga mereka kembali kepada agama nenek moyang mereka". HR Muslim no: 182.
Tiga:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا تقوم الساعة حتى تلحق قبائل من أمتي بالمشركين وحتى تعبد القبائل من أمتي الأوثان)) (رواه أبو داود والترمذي).
"Tidak akan datang hari kiamat, sehingga beberapa kabilah dari umatku yang mengikuti kaum musyrikin dan menyembah berhala". HR Abu Dawud 2/202, Tirmidzi 3/227.
Empat:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا تقوم الساعة حتتى لا يقال في الأرض : الله الله وفي رواية : لا إله إلا الله )) (رواه مسلم والترمذي).
"Hari kiamat tidak akan datang, hingga tidak lagi dikatakan di muka bumi ini: 'Allah, Allah". Dan dalam sebuah riwayat disebutkan: "Laa Ilaaha illlallah (Tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah)". HR Muslim 1/91, Tirmidzi 3/224.
Dalam hadits-hadits di atas tadi terdapat dalil yang pasti bahwa yang namanya kesyirikan itu pasti akan menimpa umat ini. Bila demikian kenyataannya, maka kaum muslimin harus menjauhi segala sarana dan jalan yang bisa mengantarkan salah seorang dari mereka kepada kesyirikan, seperti apa yang kita lihat, berupa pembangunan masjid di atas kuburan, dan lain sebagainya yang telah kita sampaikan sebelumnya, yang telah diharamkan oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan yang telah beliau peringatkan kepada umatnya. Jangan sampai ada seorang pun yang tertipu oleh peradaban modern, karena ia sama sekali tidak bisa memberi petunjuk orang yang tersesat dan tidak juga menambah petunjuk bagi orang mukmin, kecuali yang dikehendaki Allah Shubhanahu wa ta'alla. Karena sesungguhnya petunjuk dan cahaya itu ada pada apa yang dibawa oleh Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam. Maha benar Allah Shubhanahu wa ta'alla yang Maha Agung atas apa yang telah Dia firmankan:
قال الله تعالى : ﴿ قَدۡ جَآءَكُم مِّنَ ٱللَّهِ نُورٞ وَكِتَٰبٞ مُّبِينٞ ١٥ يَهۡدِي بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٰنَهُۥ سُبُلَ ٱلسَّلَٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطٖ مُّسۡتَقِيمٖ ﴾ (سورة المائدة : 15- 16).
"Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan -Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin -Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus". (QS al-Maaidah: 15-16).
Bab Keenam
Makruh hukumnya sholat di masjid yang dibangun diatas kubur
Setelah menjawab semua syubhat yang telah lewat maka jelas sudah bagi para pembaca yang budiman bahwa pengharaman membangun masjid di atas kuburan itu merupakan suatu hal yang langgeng dan tetap ada sampai hari kiamat, kami juga sudah menjelaskan hikmah dari bentuk pengharaman tersebut. Selanjutnya, akan lebih baik lagi bagi kita untuk pindah ke masalah yang lainnya, yaitu konsekwensi hukum tersebut, yang tidak lain adalah hukum sholat di dalam masjid yang dibangun di atas makam.
Sebelumnya kami telah menyebutkan bahwa larangan membangun masjid di atas kuburan mempunyai konsekwensi di larangnya sholat di dalamnya, yang masuk di dalam kaidah bahwa larangan terhadap perantara, secara lebih pantas dan lebih utama berkonsekwensi terhadap dilarangnya tujuan yang hendak dicapainya melalui perantara tersebut, sehingga dari hal itu muncul kesimpulan bahwa sholat di masjid tersebut adalah dilarang, dan larangan seperti itu mengharuskan tidak sahnya sholat di masjid tersebut, sebagaimana yang sudah di kenal dikalangan para ulama. Di antara ulama yang mengatakan tidak sah sholat didalam masjid-masjid yang dibangun di atas kuburan adalah Imam Ahmad dan rekan-rekan beliau, akan tetapi kami berpendapat bahwa masalah ini perlu dirinci, seperti sebagai berikut:
Bila sengaja mengerjakan sholat di dalam masjid-masjid tersebut maka dapat membatalkan sholat itu dengan sendirinya, karena orang yang sholat di dalam masjid tersebut mempunyai dua keadaan:
Pertama: Dia memang sengaja mengerjakan sholat di dalam masjid tersebut karena memang pembangunan masjid di atas makam tersebut adalah bertujuan mencari berkah melalui makam tersebut, seperti yang banyak di lakukan oleh orang-orang awam, dan tidak sedikit juga dari orang-orang yang terpelajar.
Kedua: Dia mengerjakan sholat di situ karena kebetulan, dan bukan karena disengaja karena adanya makam di sana.
Pada keadaan yang pertama, maka tidak perlu diragukan lagi bahwa sholat di dalam masjid yang seperti itu adalah haram, bahkan sholatnya bisa jadi batal dan tidak sah, karena ketika Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang mendirikan masjid di atas kuburan serta melaknat orang yang melakukanya, maka larangan mengerjakan sholat dengan sengaja di dalamnya sudah pasti lebih pantas untuk dilarang. Dan larangan di sini menuntut pembatalan terhadap sholat tersebut, sebagaimana yang baru saja kami sebutkan.
A. Dimakruhkan sholat di dalam masjid seperti ini, meskipun tidak meniatkan karena adanya kuburan.
Adapun pada keadaan yang kedua, maka saya berpendapat tidak ada yang membatalkan sholat di masjid tersebut, akan tetapi hanya sekedar dimakruhkan saja. Sebab, pendapat yang mengatakan batal sholatnya, dalam keadaan seperti ini harus di sertai dengan dalil khusus, dan dalil yang kami pergunakan untuk membatalkan sholat pada keadaan yang pertama tidak mungkin di pergunakan untuk keadaan yang kedua ini. Hal itu karena penilaian batal terhadap sholat pada keadaan pertama itu memang benar karena di dasari pada larangan untuk membangun masjid di atas kuburan. Dan larangan ini tidak memberikan gambaran melainkan dengan adanya tujuan mendirikan masjid, sehingga benar pendapat yang mengatakan bahwa orang yang sengaja mengerjakan sholat di dalam masjid seperti ini sholatnya bisa jadi batal dan tidak sah. Adapun pendapat yang menyatakan batal sholat seseorang yang di kerjakan di dalam masjid seperti itu, maka dalam masalah ini, tidak ada larangan khusus yang bisa dijadikan sebagai pedoman. Begitu juga tidak bisa dianalogikan melalui qiyas yang baik dan benar.
Barangkali alasan inilah yang menjadikan jumhur Ulama berpendapat hanya sekedar makruh dan tidak memabatalkannya. Saya sampaikan hal tersebut sambil mengakui bahwa masalah ini masih memerlukan banyak penelitian lagi. Adapun pendapat yang menyatakan batal sholat di masjid tersebut bisa mengandung kemungkinan benar. Dan barangsiapa yang mempunyai ilmu lebih tentang masalah ini, maka dipersilahkan untuk menjelaskannya disertai dengan dalil. Dan baginya kami ucapkan beribu terima kasih.
Sedangkan pendapat yang memakruhkan sholat di dalam masjid yang dibangun diatas kuburan, maka, setidaknya inilah yang pada nantinya mesti akan dikatakan oleh seorang peneliti, yaitu dikarenakan dua hal:
Pertama: Sholat di masjid seperti itu menyerupai perbuatan orang-orang Yahudi dan Nashrani yang dari zaman dahulu sampai sekarang masih terus beribadah di tempat ibadah yang dibangun diatas makam.
Kedua: Shalat di masjid seperti itu merupakan suatu sarana yang bisa mengantarkan untuk mengagung-agungkan makam yang ada didalamnya, sebuah pengagungan yang berlebihan diluar batas yang diperbolehkan oleh syari'at. Oleh karena itu, syari'at melarangnya sebagai upaya kehati-hatian dan menutup jalan timbulnya kesesatan, apalagi dampak buruk yang muncul akibat tempat ibadah yang di bangun di atas makam tampak demikian jelas oleh mata, sebagaimana yang telah disampaikan berulang kali.
Para ulama telah menegaskan masing-masing dari dua alasan tersebut, dimana al-Allamah Ibnu Malik, beliau adalah salah seorang ulama dari penganut madzhab Hanafi, beliau mengatakan: "Sebenarnya, diharamkannya mendirikan masjid di atas makam itu karena sholat di dalamnya merupakan bentuk sikap mengekor pada kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi". Hal itu sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh al-Qori di dalam kitabnya al-Mirqaat 1/470, dan dia mengakuinya. Demikian juga seperti yang dikemukakan oleh sebagian ulama belakangan dari penganut madzhab Hanafi dan juga yang lainnya, sebagaimana yang akan di sampaikan lebih lanjut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan di dalam kitabnya al-Qaaidah al-Jalilah hal: 22: "Dijadikannya suatu tempat sebagai tempat ibadah apabila tempat tersebut dimaksudkan untuk mengerjakan sholat lima waktu dan yang lainnya. Sebagaimana masjid juga didirikan untuk maksud tersebut, dan tempat yang dijadikan sebagai masjid karena dimaksudkan untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla, berdo'a kepada -Nya dan tidak berdo'a kepada makhluk. Oleh karena itu, Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang dijadikan makam sebagai tempat ibadah yang dimaksudkan sebagai tempat sholat, sebagaimana masjid juga didirikan untuk tujuan sholat, meskipun orang yang datang kemasjid itu berniat untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla semata. Sebab, yang demikian bisa menjadi perantara bagi mereka untuk mendatangi masjid karena penghuni makam, meminta suatu permohonan kepadanya, berdo'a kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla melalui perantara dia, dan berdo'a di dekatnya. Karena itu, Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam melarang tempat seperti itu untuk dijadikan sebagai tempat untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta'alla semata, agar tidak dijadikan sebagai jalan untuk berbuat syirik kepada -Nya.
Dan suatu perbuatan apabila mengarah kepada perkara yang merusak dan tidak membawa kemaslahatan yang benar-benar bisa diharapakan, maka perbuatan tersebut dilarang untuk dikerjakan, sebagaimana halnya tidak diperbolehkan untuk mengerjakan sholat pada tiga waktu, karena di dalamnya mengandung kerusakan yang sangat kuat kemungkinannya, yaitu menyerupai orang-orang musyrik. Dan tujuan sholat pada tiga waktu tersebut tidak membawa kemaslahatan yang berarti, karena adanya kemungkinan untuk mengerjakan sholat sunah pada waktu-waktu yang lainnya. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat mengenai sholat yang di kerjakan karena ada suatu sebab (dzawatul asbaab). Sehingga banyak dari mereka yang membolehkan untuk mengerjakan sholat tersebut pada waktu-waktu yang dilarang tadi. Itulah pendapat ulama yang paling jelas, karena suatu larangan jika di maksudkan untuk menutup jalan, bisa diperbolehkan demi kemaslahatan yang lebih memungkinkan. Dan sholat yang dikerjakan karena suatu alasan tertentu membutuhkan waktu-waktu yang terlarang itu, dan seseorang akan kehilangan sholat itu jika dia tidak mengerjakannya pada waktu-waktu tersebut, sehingga dia tidak dapat menunaikan kemaslahatan tersebut, sehingga, sholat tersebut boleh dikerjakan karena di dalamnya terdapat kemaslahatan. Berbeda dengan sholat yang tidak dikerjakan karena adanya suatu alasan, di mana dirinya bisa mengerjakanya di waktu lain, sehingga dia tidak kehilangan kesempatan dengan adanya larangan tersebut dan adanya kerusakan yang mengharuskan dikeluarkannya larangan itu.
Jika larangan Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam untuk mengerjakan sholat pada waktu-waktu tersebut karena mempunyai maksud untuk menutup jalan kesyirikan, supaya hal itu tidak menyeret pelakunya untuk sujud kepada matahari dan berdo'a kepadanya, serta meminta kepadanya, sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah matahari, bulan, dan bintang yang mana mereka biasa berdo'a dan juga memohon kepadanya, sebagaimana di ketahui bahwa berdo'a kepada matahari dan sujud kepadanya itu jelas diharamkan, dan larangan tersebut lebih ditekankan pada sholat yang dilarang untuk dikerjakan pada waktu itu dengan tujuan agar tidak menyeret pelakunya untuk berdo'a kepada bintang, demikian juga tatkala Rasulallah Shalalllahu 'alaihi wa sallam melarang dijadikannya makam para Nabi dan orang-orang sholeh sebagai masjid, maka beliau melarang mendatangi tempat tersebut untuk sholat di sana, dengan tujuan agar mereka tidak berdo'a kepada penghuni kubur tersebut, sedangkan berdo'a dan sujud kepadanya merupakan larangan yang lebih keras daripada dijadikannya makam mereka sebagai masjid".
Ketahuilah bahwa dimakruhkannya sholat didalam masjid-masjid tersebut merupakan suatu hal yang sudah menjadi kesepakatan di kalangan para ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan sebebelumnya. Yang menjadi perbedaan di antara mereka adalah mengenai batal atau tidaknya sholat di masjid-masjid itu. Adapun yang nampak dari madzhab Hanbali yaitu tidak sah sholatnya. Yang mana pendapat ini menjadi pegangan al-Muhaqiq Ibnul Qoyyim, sebagaimana yang telah disebutkan. Sedangkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam kitabnya Iqtidahaa-ush Shiraathil Mustaqim hal: 159: "Masjid-masjid yang dibangun diatas kubur para Nabi dan orang-orang sholeh, demikian juga para raja serta yang lainnya wajib dimusnahkan dengan cara dihancurkan, atau dengan cara yang lain. Dalam hal ini, saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama yang terkenal. Begitu juga mengenai dimakruhkannya sholat disana, juga tidak ada perbedaan pendapat. Sedangkan menurut madzhab kami, tidak sah sholat dikuburan karena adanya larangan dan laknat berdasarkan hadits-hadits yang menyebutkan masalah ini. Dan tidak ada perselisihan dalam masalah ini meskipun yang dikubur itu hanya satu orang saja. Adapun yang menjadi perselisihan dalam madzhab kami adalah kedudukan makam yang terpisah dari masjid, apakah yang menjadi batasan tiga makam atau satu makam dan tidak ada makam lain lagi disana? Dalam masalah ini ada dua pendapat".
Saya katakan bahwa pendapat yang kedualah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah seperti yang tertuang di dalam kitabnya al-Ikhtiyaaraat al-Ilmiyyah hal: 25, di mana beliau mengatakan: "Dalam nash yang ada pada Imam Ahmad serta para sahabatnya secara umum tidak ada perbedaan pendapat, bahkan di dalam memberikan alasan dan penggunaan dalil yang mereka pakai secara umum mereka mewajibkan larangan sholat walaupun hanya satu makam. Dan inilah pendapat yang benar. Yang di namakan pemakaman adalah apa yang dimakamkan di tempat tersebut, bukannya kumpulan dari makam-makam yang ada, para sahabat kami mengatakan: 'Setiap yang masuk dalam kategori kuburan, maka daerah yang ada disekitarnya tidak boleh dijadikan sebagai tempat sholat'. Dan prinsip ini memastikan bahwa larangan tersebut mencakup pengharaman sholat di kuburan yang terpisah sendirian dan termasuk juga pelatarannya. Al-Amidi dan juga ulama yang lainnya menyebutkan, tidak boleh mengerjakan sholat di dalamnya (yakni, masjid yang kiblatnya menghadap makam), sehingga antara dinding masjid dan makam tersebut terdapat dinding lain. Dan sebagian yang lainnya menyebutkan bahwa yang demikian itu merupakan nash dari Imam Ahmad".
Abu Bakar al-Atsram menceritakan, aku pernah mendengar Abu Abdillah, yakni Ahmad, ditanya tentang sholat disuatu makam. Maka, beliau memakruhkannya. Ditanyakan kepada beliau,"Bagaimana jika masjid yang terletak diantara pemakaman, apakah boleh sholat disana? Maka beliau menjawab dengan memakruhkannya. Lebih lanjut lagi, beliau ditanya lagi: "Antara masjid tersebut dengan kuburan itu terdapat pemisah? Dia memakruhkan sholat wajib dikerjakan di masjid tersebut dan memberikan keringanan untuk sholat jenazah disana.
Imam Ahmad juga mengatakan: "Tidak boleh mengerjakan sholat di masjid yang terdapat diantara kuburan, kecuali sholat jenazah, karena sholat jenazah memang hukumnya sunah".
Didalam kitab al-Fath, Ibnu Rajab mengatakan: "Menunjuk kepada apa yang telah di kerjakan oleh para Sahabat, Ibnul Mundzir mengatakan bahwa Nafi maula Ibnu Umar mengatakan: "Kami mensholati Aisyah dan Umu Salamah ditengah-tengah pemakamam Baqi'. Dan yang menjadi imam pada saat itu adalah Abu Hurairah dan dihadiri oleh Ibnu Umar". Lihat kitab al-Kawaakibud Darari 65/81/1 dan 2.
Barangkali pembatasan yang dikatakan oleh Imam Ahmad dalam riwayat pertama, dengan hanya menyebutkan sholat fardhu saja, tidak menunjukan bahwa sholat-sholat sunah itu boleh dikerjakan disana. Sebagaimana telah diketahui bahwa sholat-sholat sunah itu lebih baik bila dikerjakan dirumah. Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak menyebutkannya berbarengan dengan sholat fardhu. Dan hal itu diperkuat lagi oleh keumuman ucapan beliau yang ada dalam riwayat kedua: "Tidak boleh mengerjakan sholat di dalam masjid yang terletak di antara kuburan, kecuali sholat jenazah". Hal ini merupakan nash bagi apa yang kami nyatakan diatas. Apa yang di katakan oleh Imam Ahmad diperkuat oleh apa yang telah disebutkan dari Anas: "Dimakruhkan membangun masjid antara makam-makam". Maka ini sangat jelas memberikan arti bahwa dinding masjid saja tidak cukup sebagai pemisah antara masjid dengan kubur, bahkan bisa jadi pendapat ini menafikan dibolehkannya mendirikan masjid diantara makam-makam secara mutlak. Dan inilah yang paling dekat, karena ini lebih menjamin terkikisnya bibit-bibit kesyirikan.
Masih dalam kitab al-Iqtidhaa' Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Dahulu, bangunan yang ada diatas makam Ibrahim dalam keadaan tertutup, sampai tidak bisa dimasuki selama lebih dari empat ratus tahun. Ada yang mengatakan bahwa sebagian wanita yang mempunyai hubungan dengan para khalifah bermimpi mengenai hal itu, sehingga, kemudian makam itu digali karenanya. Ada juga yang menyebutkan, ketika orang-orang Nashrani menguasai daerah ini, mereka menggali tempat itu dan kemudian mereka membiarkannya sebagai tempat ibadah setelah pembebasan terakhir. Orang-orang yang mulia dari para syaikh kami tidak mau mengerjakan sholat ditempat kumpulan bangunan tersebut serta melarang para sahabat-sahabatnya untuk mengerjakan sholat didalamnya sebagai langkah mengikuti perintah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan upaya untuk menghindari pelanggaran terhadap perintah beliau, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya".
Begitulah keadaan syaikh-syaikh mereka, sedangkan para syaikh-syaikh kami sekarang ini berada dalam keadaan lengah terhadap hukum syari'at ini. Banyak di kalangan mereka yang sengaja menunaikan sholat di dalam masjid-masjid seperti itu. Saya pernah pergi bersama sebagian mereka –pada waktu itu saya masih kecil dan belum banyak memahami sunah- kemakam Syaikh Ibnu Arabi untuk menunaikan sholat bersamanya di sana. Setelah mengetahui hukumnya, yaitu haram, maka saya sering membahas masalah tersebut dengan syaikh yang saya maksudkan diatas, sehingga Allah Shubhanahu wa ta'alla memberikan hidayah kepadanya. Akhirnya, beliau melarang sholat ditempat tersebut, dan beliau mengakui sendiri hal itu kepada saya. Beliau berterima kasih kepada saya karena saya sudah menjadi sebab mendapatkan hidayah dari Allah Ta'ala. Mudah-mudahan Allah Ta'ala mengasihi serta mengampuninya. Segala puji bagi Allah Shubhanahu wa ta'alla yang telah memberikan petunjuk kepada kami untuk melakukan ini. Dan kami tidak akan memperoleh petunjuk kecuali jika Allah Shubhanahu wa ta'alla memberikannya kepada kami.
B. Makruh hukumnya sholat di dalam masjid yang dibangun diatas kubur, meskipun tidak menghadap ke arahnya.
Ketahuilah bahwa dimakruhkannya sholat di dalam masjid yang dibangun diatas kubur itu sangat ditekankan sekali pada setiap keadaan, baik makam itu berada didepan maupun dibelakang masjid, disebelah kanan maupun sebelah kiri masjid. Sehingga, kesimpulannya sholat di dalamnya dimakruhkan pada setiap keadaan. Hanya saja, hukum makruh sholat itu sangat ditegaskan jika sholat tersebut menghadap ke arah makam. Sebab pada saat itu, orang yang sedang sholat itu telah melakukan dua pelanggaran. Pertama, sholat di dalam masjid tersebut. Kedua, sholat dengan menghadap ke arah makam, di mana hal itu di larang secara mutlak, baik di dalam masjid mau pun diluarnya, hal itu berdasarkan nash yang shahih dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana yang telah di sampaikan sebelumnya.
a) Pendapat para ulama dalam masalah ini.
Makna tersebut telah diisyaratkan oleh Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya ketika beliau mengatakan: "Bab dimakruhkannya membangun masjid di atas kubur". Ketika al-Hasan bin al-Hasan bin Ali meninggal dunia, isterinya membangun kubah di atas makamnya selama satu tahun, lalu kubah tersebut di hilangkan. Kemudian, orang-orang mendengar ada seseorang yang berteriak seraya bertanya: "Ketahuliah, apakah mereka menemukan apa yang telah hilang? Lalu ada yang menjawab: "Bahkan mereka mulai berputus asa, (setelah tidak mendapatkannya) sehingga mereka kembali". Selanjutnya beliau menyebutkan beberapa hadits yang terdahulu.
Al-Hafizh Ibnu Hajar, beliau adalah seorang Syafi'iyyah di dalam syarahnya mengatakan: "Kesesuaian atsar diatas dengan bab ini adalah bahwa orang yang bermukim di dalam tenda (yang di buat tersebut) tidak mungkin tidak mengerjakan sholat disana, dan sudah barang tentu dia mendirikan masjid sebagai tempat ibadah di sisi makam tersebut. Dan terkadang, makam itu berada di arah kiblat sehingga kemakruhannya semakin kuat". Hal senada juga di sebutkan oleh al-Aini al-Hanafi dalam kitabnya Umdatul Qaari 4/149.
Di dalam kitab al-Kawakibud Daraari 'alaa Jaami'it Tirmidzi, karya Syaikh al-Muhaqiq Muhammad Yahya al-Kandahlawi al-Hanafi, beliau mengatakan pada hal: 153: "Adapun mengenai pembangunan masjid di atas kubur, selain karena hal tersebut sebagai perbuatan yang menyerupai orang-orang Yahudi yang mana mereka mendirikan tempat ibadahnya di atas makamnya para Nabi dan para pembesar mereka, juga karena di dalamnya mengandung pengagungan kepada mayit dan penyerupaan dengan para penyembah patung. Hukum makruh, berkaitan dengan masjid yang makamnya berada di arah kiblat itu lebih di tekankan dari pada hukum makruh tentang masjid yang posisi makamnya berada di sebelah kiri atau kanannya. Jika keberadaan makamnya di belakang orang yang sedang sholat, maka semacam itu lebih ringan dari pada hukum yang lainnya, akan tetapi tetap tidak terlepas dari hukum makruh".
Di nukil dari kitab Syir'atul Islam yang mana merupakan salah satu buku rujukan dari madzhab Hanafi hal: 569, di sebutkan : "Dimakruhkan membangun masjid diatas kubur untuk sholat di dalamnya".
Secara mutlak, hal tersebut di dukung oleh beberapa pendapat ulama sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya. Hal senada juga di sampaikan oleh Imam Muhamad hal: 55.
Dan dalam nukilan berikut ini, terdapat apa yang memperkuat pendapat kami tentang makruhnya sholat di dalam masjid yang di dirikan di atas kubur secara mutlak, baik sholat tersebut menghadap ke arah makam atau tidak. Oleh karena itu, ada keharusan yang membedakan antara masalah ini dengan sholat menghadap makam yang di atasnya tidak terdapat masjid. Pada gambaran tersebut terlihat hukum makruh saat menghadap ke arah makam, sebagian ulama juga tidak mensyaratkan menghadap makam dalam gambaran di atas, sehingga mereka mengeluarkan pendapatnya tentang larangan sholat di sekitar makam secara mutlak, sebagaimana yang baru saja kami sampaikan dari para ulama penganut madzhab Hanbali. Hal senada juga di sebutkan di dalam kitab Hasyiyah ath-Thahawi 'alaa Maraaqil Falah, salah satu kitab pegangan para penganut madzhab Hanafi hal: 208: "Inilah yang di namakan sesuai dengan masalah mencegah terjadinya hal-hal yang di larang, berdasarkan sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه, ومن وقع في الشبهات وقع في الحرام, كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه)) (رواه البخاري ومسلم).
"Barangsiapa yang menjauhi perkara syubhat, berarti dia telah berlepas diri dari yang di haramkan pada agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang masuk ke dalam perkara syubhat, berarti dirinya telah terjatuh kedalam perkara yang haram, seperti penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar wilayah yang terlarang yang ditakutkan ternaknya akan masuk ke dalamnya". HR Bukhari dan Muslim.
Kemudian, ketahuilah bahwa hukum yang telah di sampaikan terdahulu mencakup seluruh masjid, baik besar maupun kecil, masjid lama maupun baru. Hal itu berdasarkan keumuman yang ada pada dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah ini, sehingga tidak ada pengecualian satu masjid pun yang terdapat makam di dalamnya, kecuali masjid Nabawi yang mulia. Sebab, Masjid Nabawi ini mempunyai keistimewaan khusus yang tidak di miliki oleh salah satu pun masjid yang di bangun di atas kubur. Hal itu berdasarkan pada sabda Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( صلاة في مسجدي هذا خير من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام [ فإنه أفضل ] )) (رواه البخاري ومسلم).
"Sholat di masjidku ini lebih baik seribu sholat di banding dengan sholat di masjid-masjid yang lainnya, kecuali Masjidil Haram (karena sesungguhnya ia lebih utama)". HR Bukhari dan Muslim.
Demikian pula sabda beliau yang lainnya:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((ما بين بيتي ومنبري روضة من رياض الجنة )) (رواه البخاري ومسلم)
"Antara rumahku dan mimbarku merupakan salah satu taman dari taman-taman surga". HR Bukhari dan Muslim.
Serta berbagai keutamaan yang lainnya. Oleh karena itu, jika dikatakan makruh sholat di masjid Nabawi tersebut maka berarti telah menyamakan antara masjid Nabawi dengan masjid-masjid yang lainya dan telah menghilangkan keutamaan yang terdapat padanya, dan jelas hal itu tidak diperbolehkan, sebagaimana sudah demikian jelas adanya.
Pengertian ini kami ambil dari ucapannya Ibnu Taimiyyah di halaman yang lalu, yang menjelaskan tentang dibolehkannya mengerjakan sholat-sholat karena suatu sebab di waktu-waktu yang terlarang, sebagaimana sholat diperbolehkan pada waktu-waktu tersebut, karena dengan melarangnya, akan menghilangkan kesempatan sholat tersebut, di mana tidak mungkin untuk mendapatkan keutamaanya karena telah tertinggal waktunya. Demikian juga sholat di dalam masjid Nabawi.
Kemudian saya mendapatkan Ibnu Taimiyyah mengucapkan hal itu secara jelas. Di dalam kitabnya, al-Jawaabul Baahir fii Zauril Maqaabir hal: 22/1-2: "Sholat di dalam masjid yang di bangun di atas kubur secara mutlak di larang, berbeda dengan masjid Nabawi. Sebab, sholat di dalam masjid beliau ini sama dengan seribu sholat di masjid lain, karena ia didirikan berdasarkan ketakwaan. Masjid ini menjadi kehormatannya beliau selama hidup beliau dan para Khulafa'ur Rasyidin sebelum di masukannya kamar Aisyah ke dalam masjid tersebut. Dan kamar itu di masukan ke dalam masjid setelah habisnya masa Sahabat".
Lebih lanjut beliau mengatakan di hal: 67/1-69/2: "Sebelum di gabungnya kamar Aisyah ke dalam masjid, masjid Nabawi sangatlah afdhal. Dan keutamaan masjid ini adalah bahwa Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam membangun masjid ini untuk diri beliau sendiri dan orang-orang mukmin. Beliau sholat hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta'alla, juga orang-orang mukmin sampai hari kiamat. Bagaimana tidak, sedangkan beliau bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((صلاة في مسجدي هذا خير من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام)) (رواه البخاري ومسلم).
"Shalat di masjidku ini lebih baik dari pada sholat yang di kerjakan di masjid-masjid lainnya, kecuali Masjidil Haram". HR Bukhari dan Muslim.
Dan beliau juga bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد : المسجد الحرام والمسجد الأقصى ومسجدي هذا )) (رواه البخاري ومسلم).
"Janganlah melakukan perjalanan (untuk ibadah) kecuali ke tiga masjid: Masjidil Haram, Masjidil Aqsha, dan Masjidku ini". HR Bukhari dan Muslim.
Keutamaan yang ada pada masjid ini sudah ada sejak sebelum di masukannya kamar Aisyah ke dalam masjid. Dengan demikian, tidak boleh menganggap bahwa dengan masuknya kamar Aisyah itu ke dalam masjid, maka masjid itu menjadi lebih utama dari sebelumnya. Sebenarnya, mereka tidak bermaksud memasukkan kamar Aisyah ke dalam masjid, akan tetapi mereka bermaksud untuk memperluas area masjid dengan memasukkan kamar isteri-isteri Nabi, sehingga dengan terpaksa kamar itu masuk ke dalam komplek area masjid, dengan adanya sikap ulama salaf yang memakruhkannya.".
Kemudian beliau mengatakan 55/1-2: "Barangsiapa yang mempunyai keyakinan bahwa masjid tersebut sebelum ada makam di dalamnya tidak mempunyai keutamaan, karena Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam mengerjakan sholat di dalamnya bersama orang-orang Muhajirin dan Anshar, akan tetapi keutamaan tersebut baru muncul pada masa kekhalifahan al-Walid bin Abdul Malik, yaitu pada saat di masukkannya kamar di mana Nabi meninggal ke dalam masjidnya, -perkataan seperti ini tidak mungkin terlontar melainkan oleh orang-orang yang benar-benar bodoh atau orang kafir, maka dia sudah mendustakan apa yang dibawa oleh Rasulallah Shalallahu'alaihi wa sallam dan dia berhak untuk di bunuh. Para Sahabat mereka biasa berdo'a di dalam masjid beliau, sebagaimana mereka dulu juga biasa berdo'a di sana pada masa beliau masih hidup. Dan tidak ada syari'at bagi mereka selain syari'at yang telah diajarkan oleh beliau kepada mereka pada masa hidup nya. Dan beliau melarang mereka untuk menjadikan kuburan beliau sebagai tempat perayaan atau kuburan yang di rubahnya menjadi masjid, yang di pergunakan untuk mengerjakan sholat kepada Allah Ta'ala, dan larangan tersebut dalam rangka menutup jalan kesyirikan. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta'alla melimpahkan kesejahteraan serta keselamatan kepada beliau dan keluarganya. Dan semoga Allah Shubhanahu wa ta'alla memberikan balasan kepada beliau dengan balasan yang baik dari apa yang telah di berikan seorang Nabi kepada umatnya, di mana beliau telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanat, menasehati umat, berjihad karena Allah Shubhanahu wa ta'alla dengan sebenar-benarnya, serta beribadah kepada -Nya hingga ajal menjemputnya".
Dan akhirnya inilah akhir dari apa yang telah diberikan taufik oleh Allah Ta'ala dalam mengumpulkan risalah ini. Dan segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta'alla yang dengan nikmat -Nya, amal sholeh menjadi sempurna dan kebaikan pun menjadi langgeng. Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala puji hanya bagi -Mu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak untuk di sembah selain Engkau, aku memohon ampunan dan bertaubat kepada -Mu. Sholawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad Salallhu 'alaihi wa sallam, Nabi yang umi, kepada keluarga serta sahabat beliau.
و صلى الله عليه وسلم على نبينا محمد النبي الأمي وعلى آله وصحبه وسلم
وآخر دعوانا أن الحمدلله رب العالمين.
[1] . Ibnu Katsir mengatakan: "Hadits ini terputus dari sisi ini, karena Umar, pelayan Ghufrah dengan kedha'ifannya tidak pernah menjalani hari-hari bersama Abu Bakar". Demikian juga apa yang di sebutkan oleh as-Suyuthi di dalam kitabnya Jaami'ul Kabiir 3/147/1-2.
[2] . Mu'afiri adalah selimut dari negeri Yaman yang di nisbahkan pada mu'afir, salah satu kabilah Yaman.
[3] . Dinukil oleh al-Munawi di dalam kitab Faidhul Qadiir 5/274.
[4] . HR Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanafnya 4/138, dan Abu Zur'ah di dalam Tariikhnya 66/121/2, dan Ibnu Abi Hatim di dalam al-Jarh wa Ta'dil 3/2/81-82. Dengan sanad yang Shahih.
[5] . HR Muslim no: 61, Abu Dawud no: 70, Nasa'i no: 285, Tirmidzi no: 153-154 dan selain mereka.
[6] . HR Ahmad 4/397 dengan sanad yang kuat.
[7] . Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/185, dan para perawinya tsiqah, termasuk rawinya Syaikhani.
[8] . Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/134 dengan sanad yang shahih.
[9] . Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/84/1. dengan sanad yang shahih.
[10] . Di riwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/83/2. Semua perawinya Tsiqoh, namun hadits ini munqathi (terputus) antara Nafi' dan Umar.
[11] . HR Ibnu Abi Syaibah 2/83/2, Ahmad 4/8.
[12] . Di riwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Ta'liqnya 2/98.
[13] . HR Abdurrazzaq 3/418/6129, Ibnu Abi Syaibah 4/135, ar-Rib'i dalam kitabnya Washaayal Ulama 141/2, Ibnu Sa'ad 4/338. dengan sanad yang Shahih.
[14] . Sanadnya Dha'if, akan tetapi hadits ini mempunyai beberapa jalan lain yang ada pada Ibnu Asakir, yang dengannya hadits ini naik menjadi Shahih.
[15] . HR Ibu Abi Syaibah dan rijalnya tsiqoh melainkan Tsa'labah dia adalah Ibnul Furat.
[16] . HR Ibnu Sa'ad 7/142.
[17] . HR ad-Dulabi 1/134-135, dan rijalnya tsiqoh selain Salim, di mana dia itu majhul, sebagaimana yang di katakan oleh adz-Dzahabi di dalam kitabnya al-Miizaan.
[18] . HR Ibnu Sa'ad 6/108, dengan sanad yang shahih.
[19] . Di riwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam Tafsirnya 4/275.
[20] . Buku Laisa minal Islam hal: 174, karya Ustad Muhammad al-Ghazali.